Alif Kamal*)

Negara ini hampir tak pernah sepi dengan isu kasus korupsi pejabat negara. Mulai dari level kepala desa sampai di tingkat paling atas semuanya tersangkut dengan kasus manipulasi anggaran. Ratusan anggota dpr/dprd, gubernur, bupati/walikota ataupun yang pernah menjabat sebagai gubernur, bupati/walikota dapat dipastikan pernah tersangkut dengan isu korupsi. Bahkan mantan Presiden Megawati dan SBY juga tidak luput dari isu korupsi yang melingkari pemerintahannya. Begitupula dengan menteri-menteri mereka.

Isu terakhir adalah kasus rekening gendut yang membelit mantan Gubernur Fauzi Bowo dan Gubernur yang sekarang masih menjabat di Sulawesi Tenggara yaitu Nur Alam. Bahkan untuk kasus Nur Alam oleh pihak Kejaksaan Agung sudah masuk dalam tahap penyelidikan, dan tim Kejagung telah mengirimkan tim khusus untuk mendatangi sebuah perusahaan internasional di Hongkong yang telah mentransfer uang sebesar Rp 45 miliar ke rekening Nur Alam.

Problem korupsi di negara ini memang sudah sangat komplek dan sistemik. Sistem ekonomi neoliberal yang menjadi jalan ekonomi oleh pemerintah kita menimbulkan banyaknya peluang tumbuh suburnya korupsi. Oleh karena Neoliberal, ekonomi nasional yang harusnya mandiri sebagaimana cita-cita dari Bung Karno menjadi hancur berantakan karena proses akumulasi dari modal internasional. Oleh karena Neoliberal pula sistem politik kita menjadi kacau balau. Karena Neoliberalisme menghendaki demokrasi yang liberal maka kontrol rakyat menjadi hilang dengan kata lain demokrasi liberal adalah demokrasi elite dan sarat dengan kepentingan bisnis.

Demokrasi Liberal sangatlah mahal. Satu contoh kasus misalnya dalam demokrasi liberal ini yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Seorang kandidat Kepala daerah dipaksa untuk mengeluarkan biaya politik sesuai dengan level jabatan yang diperebutkan. Makin tinggi jabatan yang diperebutkan maka makin mahal pula biaya politik yang dikeluarkan.

Kondisi ini memaksa setiap calon untuk mengumpulkan logistik sebanyak mungkin. Tidak hanya pada kandidatnya akan tetapi partai politiknyapun sebagai alat yang digunakan untuk bertarung dalam event pemilihan dipaksa untuk mengumpulkan uang. Dan korupsi adalah salah satu jalan paling cepat untuk mengumpulkan biaya-biaya politik itu.

Faktor diatas disinyalir yang menjadikan puluhan bahkan ratusan kepala daerah menjadi tersangka korupsi. Tak terkecuali Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Kasus ini menjadi batu ujian pertama bagi Jaksa Agung HM Prsetyo yang baru saja dilantik menjadi oleh Presiden Jokowi. Apakah kita akan kembali melihat "sinetron" tak berujung yang hanya membolak-balik data dan fakta dari kasus ini ataukah kita betul-betul melihat sikap profesionalitas dari HM Prasetyo.

Memberantas korupsi bukanlah hal gampang di tengah situasi ekonomi-politik seperti sekarang ini. Tanpa mengubah haluan ekonomi politik kita, dapat dipastikan pemberantasan korupsi hanyalah seperti pemadam kebakaran, bertindak ketika sudah terjadi kebakaran. Pemberantasan korupsi haruslah menempatkan partisipasi atau gerakan rakyat menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi. Pembenahan dalam sistem politik menjadi hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Selama partisipasi rakyat hanya menjadi pelengkap tanpa melibatkannya lebih dalam di kekuasaan negara, maka selama itu pula pemerintahan hanya akan menjadi kelompok dari birokrasi korup.

*)Deputi Politik PRD

BACA JUGA: