Oleh: Budi Afandi 
Pernah bekerja sebagai Jurnalis. Menulis Sastra dan kini bergiat di Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Pemerintahan Jokowi-JK menunjukkan hasratnya untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara. Hasrat itu terlihat dari  pernyataan Plt. Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan yang dilontarkan belum lama ini (4/10/2016) bertepatan dengan saat sejumlah media mengabarkan terjadinya mogok pekerja PT Freeport Indonesia (PFI).

Dalam kaitannya dengan perusahaan tambang dan ekspor (khususnya PFI), minimal ada enam regulasi penting harus dibicarakan. Pertama, UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan  Mineral dan Batubara; PP Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara; Permen ESDM Nomor 1 tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri; Permen ESDM Nomor 11 tahun 2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian; Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian; dan PP Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara

Plt. Menteri ESDM sendiri seperti dikutip media mengatakan, bahwa revisi PP Nomor 1/2014 nantinya akan berkeadilan sehingga tidak ada yang dirugikan. Pernyataan ini kiranya terasa lebih berkaitan dengan keluhan yang belakangan ini  kerap diributkan pengusaha pertambangan mengenai turunnya harga komoditas pertambangan.
Sudahkah pernyataan itu membingkai kerugian, keselamatan rakyat dan lingkungan akibat penghancuran oleh aktivitas pertambangan selama ini?

Revisi PP Nomor 1 tahun 2014 (jika benar dilakukan) tentu berpeluang berlaku bagi semua perusahaan pertambangan yang ada, dan berpeluang juga menjadi pelanggaran kelima yang akan dilakukan pemerintah terhadap mandat UU Minerba. Meski berlaku bagi semua perusahaan, ada beberapa hal yang membuat rencana pemerintah ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan kepentingan PFI.

Pertama, PFI secara terang-terangan telah menyatakan membutuhkan kepastian mengenai perpanjangan operasi pasca Kontrak-Karya (KK) yang akan berakhir pada 2021. Bahkan bos PFI, James R. Moffet, telah menemui menteri ESDM (kala itu) Sudirman Said dan Presiden Jokowi pada Juli 2015. Selain itu, PFI sudah pula menyatakan bahwa kepastian KK menjadi pertimbangan penting untuk melanjutkan pembangunan smelter (lihat: Koran Tempo Edisi Selasa 4 Oktober 2016, halaman 13). Dari hal-hal itu kiranya kita patut menduga bahwa yang menggerakkan PFI untuk membangun smelter bukanlah kepatuhan kepada aturan yang ada di Indonesia.

Kedua, fakta bahwa PFI sudah mengantongi perpanjangan izin ekspor konsentrat kelima hingga 11 Januari 2017 yang memberikan kuota ekspor konsentrat tembaga sebanyak 1,4 juta ton.

Namun demikian, apa yang akan terjadi pasca 12 Januari 2017 adalah sesuatu yang masih abu-abu bagi Freeport dan Pemerintah Indonesia.

Ketiga, fakta bahwa KK Freeport akan berakhir pada 2021 dan baru bisa dinegosiasikan paling cepat dua tahun dan paling lambat enam bulan, sebelum masa berakhirnya KK. Dalam kondisi ini, permohonan PFI akan diajukan paling cepat pada 2019 atau bertepatan dengan tahun Pilpres.

Kita mengetahui, rencana pemerintah merevisi UU Minerba sudah bergulir sejak lama dan mendapatkan penolakan substansi dari kalangan masyarakat sipil. Penolakan substansi yang dimaksudkan adalah karena adanya hal-hal baru yang hendak dimasukkan dan berpotensi merugikan Indonesia, seperti mengenai penambangan bawah laut, termasuk pula mengenai relaksasi ekspor mineral mentah. Belakangan revisi UU Minerba mandeg dan tidak menunjukkan kemajuan sementara kebutuhan untuk mengakomodir kepentingan perusahaan pertambangan semakin mendesak. Bisa jadi hal itulah yang menjadi salah satu alasan pemerintah mencoba mengakomodasi kepentingan PFI melalui PP.

Sejatinya, sejumlah perubahan ketentuan di bawah UU Minerba adalah tindakan pemerintah menabrak aturan yang dibuatnya sendiri (khususnya UU Minerba). UU Minerba menghendaki adanya peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian (lihat pasal 102). Kemudian secara lebih khusus, pemegang KK wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang Minerba disahkan (lihat Pasal 170 UU Minerba). Ketentuan-ketentuan inilah yang pada dasarnya telah dikhianati sendiri oleh pemerintah. Karena sudah empat kali pemerintah mengeluarkan peraturan yang melanggar semangat UU Minerba (khususnya mengenai peningkatan nilai tambah melalui kewajiban pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan). Jika pemerintah kembali membuka keran ekspor mineral mentah, hal itu akan menjadi pelanggaran kelima.

Pergerakan Negosiasi Dalam Regulasi
Andai saja pemerintah punya gigi, maka pada 2014, Freeport dan pemegang KK harus sudah membangun fasilitas pemurnian sebagai bentuk ketaatan kepada peraturan yang ada di Indonesia, sebab UU Minerba sudah menyebutkan batas toleransinya secara jelas yakni "selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba disahkan"

Sayangnya, sebelum pemerintah menegakkan aturan itu, telah keluar gerbong pertama aturan yang menghianati UU Minerba, yakni PP Nomor 1/2014 dan Permen ESDM Nomor 1/2014 yang keduanya diundangkan pada 11 Januari 2014. Materi PP1/2014 yang secara khusus terkait dalam pembahasan ini adalah tentang dibolehkannya pemegang KK yang telah melakukan pemurnian untuk melakukan penjualan dalam jumlah tertentu ke luar negeri (lihat Pasal 112C ayat 3).

Hal ini kemudian diperkuat melalui Permen ESDM 1/2014 yang mengatur lebih detil "kebolehan" yang diberikan PP 1/2014, termasuk mengenai ketentuan waktu diperbolehkannya penjualan dalam jumlah tertentu selama 3 tahun sejak peraturan diundangkan, sehingga muncullah 12 Januari 2017 sebagai tanggal berakhirnya masa relaksasi ekspor. Dalam rentang waktu inilah (tiga tahun) Freeport mengajukan izin ekspor konsentrat serta perpanjangan izin ekspor kosentrat yang melibatkan mekanisme ‘rekomendasi perpanjangan izin ekspor’ dari Kementerian ESDM.

Kemudian pemerintah mengeluarkan juga Permen ESDM Nomor 11 tahun 2014 yang diundangkan pada 17 April 2014. Ketentuan ini mengatur berbagai syarat yang melonggarkan kewajiban perusahaan tambang dalam membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian yang seharusnya wajib selesai pada 2014. Pada ketentuan inilah muncul materi mengenai persyaratan kemajuan pembangunan smelter dalam rangka pemberian rekomendasi izin perpanjangan ekspor, di mana ditetapkan sebanyak 60% persen dari target setiap enam bulan (lihat Pasal 14 ayat 2).

Satu tahun menjelang berakhirnya masa perpanjangan "illegal" itu, tepatnya pada 2016, tetiba pemerintah menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang diundangkan pada 5 Februari 2016. Yang menarik dalam Permen ESDM Nomor 5 ini adalah, angka 60% masih disebutkan sebagai syarat perkembangan kemajuan pembangunan smelter (Pasal 10 ayat 2). Namun Pasal 10 ayat 3 memberi pengecualian, jika angka 60% tersebut tidak tercapai (ketentuan pengecualian ini sebelumnya tidak ada dalam Permen ESDM Nomor 11/2014) maka perpanjangan rekomendasi (ekspor) dapat diberikan dengan tingkat kemajuan pembangunan pemurnian dinilai sama dengan capaian pada periode sebelumnya.

Sementara perkembangan kemajuan pembangunan smelter PFI baru belasan persen saja. Dengan memperhatikan kronologis kejadian perubahan dan beberapa ketentuan yang berubah di atas, maka cukup terang benderang rasanya untuk mengidentifikasi siapakah yang sebenarnya diuntungkan oleh perubahan-perubahan regulasi pemerintah. Dua peraturan pertama yang terbit pada 2014 kiranya serupa "mantra" pembebasan bagi perusahaan (pemegang KK) dari kewajiban, "harus membangun smelter lima tahun sejak UU Minerba diundangkan"; termasuk kewajiban mengekspor mineral yang sudah diolah.

Regulasi selanjutnya, memperlihatkan bagaimana pemerintah sangat mengakomodir kebutuhan perusahaan (pemegang KK) agar dapat melakukan ekspor, meski tidak ada kemajuan dalam pembangunan smelternya.

Dari perjalanan-perjalanan tersebut kita juga dapat membaca melihat siapakah sebenarnya yang selama ini, telah dirugikan oleh tindakan pemerintah merevisi aturan-aturannya. Karenanya, sangat tidak masuk akal ketika Plt. Menteri ESDM mengajak masyarakat untuk iba kepada perusahaan hanya karena harga komoditas pertambangan sedang anjlok.

Jika pemerintah benar-benar melakukan revisi, penulis menduga hal itu adalah sinyalemen kepada Freeport yang sudah kebelet untuk segera mendapatkan kepastian mengenai nasib KK-nya. Paling tidak pemerintah sudah menunjukkan "niat baik" untuk membiarkan Freeport mengekspor konsentrat sampai pada berakhirnya masa KK yang sudah terang-terang mengingkari UU.

Pada akhirnya, ada satu peraturan lagi yang (mungkin) sedang diincar untuk segera diganti demi kepentingan Freeport, yakni PP Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan pada 14 Oktober 2014. Mengapa PP ini penting, karena PP inilah yang membuat pemerintah dan Freeport belum dapat melakukan negosiasi perpanjangan KK.

BACA JUGA: