Oleh: Dedi Mulyadi *)

Dalam pengelolaan kesehatan masyarakat kita mengenal istilah Puskesmas, yaitu fasilitas pelayanan bidang kesehatan yang berada pada level kecamatan, dengan fungsi untuk melayani masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan. Dari sisi struktur, Puskesmas memiliki cabang yang disebut dengan Puskesmas Pembantu (Pustu). Apabila kita mencermati kepanjangan Puskesmas adalah Pusat Kesehatan Masyarakat, tentunya kita akan berasumsi cukup luas. Kata pusat menunjukkan sentral dari sisi aktivitas manusia yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan.

Kesehatan adalah nilai tertinggi dalam siklus kehidupan setiap manusia. Lamun ceuk urang Sunda mah, sanajan harta lubak libuk teu kalebok, bru di juru bro di panto ngalayah di tengah imah (Kata orang Sunda, walaupun harta berlimpah di setiap penjuru hingga tidak termakan) tidak memiliki arti apabila kita mengalami gangguan kesehatan. Inilah yang terjadi saat ini. Kecukupan materi terhalang oleh berbagai larangan atas asupan makanan yang harus diterima oleh tubuh. Kita mampu beli gula, tapi tidak boleh makan gula. Beras banyak, tapi makan ditakar. Daging berlimpah, tapi kolesterol harus dikontrol. Garam banyak, tapi tekanan darah tinggi. Riweuh apanan (repot kan), kalau seperti ini, artinya betapa penting makna kesehatan bagi kebahagiaan seseorang.

Kata orang Sunda, sehat itu adalah ngeunah dahar, tibra hees (makan enak tanpa pantangan, tidur nyenyak tanpa halangan). Ngeunah nyandang, ngeunah nyanding, duka ari nyandung mah... (memiliki sesuatu, menggunakan sesuatu, entah kalau beristri lebih dari satu... tidak tahu, ah...) tanpa harus bayar uang ‘retribusi’ pun, urusannya tetap aja panjang.

Masyarakat adalah kumpulan manusia yang tinggal pada sebuah habitat yang kita kenal dengan istilah kampung, dusun, desa, kecamatan, kabupaten/kota bahkan negara. Orang Sunda membuat rumus bahwa hidup sehat itu adalah mereka yang mampu membentuk karakter dirinya, sehingga mengalami watak keseharian dengan karakter tiis ceuli, herang mata. Tiis ceuli, telinga dingin terhadap berbagai ucapan, pendengaran yang merusak tata pikir dan tata hatinya; herang mata, matanya selalu melihat keindahan yang bersifat menyenangkan seluruh emosi dan rasanya, terbebas dari yang pikasebeleun dan pikakeuheuleun (terbebas dari penglihatan yang mengakibatkan kebencian dan kekesalan).

PRINSIP URANG SUNDA - Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan lingkungannya. Gunung yang hijau, air jernih mengalir, angin berhembus perlahan, hujan jatuh membasahi seluruh permukaan alam yang menari bernyanyi tanpa henti. Keindahan tanpa batas. Ah, pokona mah endah weh... (Ah, pokoknya indah deh...). Dengan demikian, akan melahirkan masyarakat yang panjang umur, terbebas dari konflik, tidak mumet dalam politik, meletakkan diri pada kepasrahan yang menjadi garis perjalanan hidup manusia. Hirup ukur sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi, sarengkak saparipolah, sadaya kersaning Allah... (menerima seluruh ketentuan hidup yang didasarkan pada kepasrahan takdir Yang Maha Kuasa). Sehingga bagi orang Sunda, untuk setiap musibah, selalu ada kata ‘untung’. Orang jatuh dari pohon, untung teu potong sukuna (untuk tidak patah kakinya), untung teu maot (untung tidak meninggal). Jikapun jatuh sampai meninggal, untung maot, lamun hirup mah leuwih susah (untung meninggal, jikalau hidup tentu hidupnya lebih sulit).

Kalau melihat hal tersebut, pusat kesehatan itu ada pada setiap rasa manusia yang sangat dipengaruhi oleh apa yang didengar, apa yang dilihat, apa yang dihisap, dan apa yang disuap. Artinya, kesehatan sangat dipengaruhi oleh pendengaran, penglihatan, penghisapan, pengucapan, yang membentuk karakter manusia yang berpusat pada perut, hati, dan jantung serta otak. Dari situlah, kesehatan manusia akan mampu ditata dan dikendalikan.
Ketika pusat kesehatan diwujudkan dalam bentuk bangunan, yang memiliki derajat terendah dalam susunan struktur pelayanan publik di Dinas Kesehatan atau Kementerian Kesehatan, maka menjadi hal yang sangat aneh.

Kita memahami sepenuhnya, bahwa Puskesmas itu merupakan standar pelayanan minimal walaupun pada saat ini sudah banyak bermetamorfosis menjadi Puskesmas rawat inap yang memiliki fungsi pelayanan tidak hanya sekadar pelayanan dasar. Tetapi tetap saja dari sisi pendekatan bahasa dan pendekatan makna, kata Puskesmas tidak cocok untuk meletakkan fungsi dan peran derajat kesehatan masyarakat.

Asa ku aneh (terasa aneh) memang, kesehatan masyarakat dipusatkan pada sebuah bangunan yang diisi oleh tenaga medis, tenaga administrasi, obat, dan bangunan standar. Bahkan untuk daerah yang jangkauannya jauh dari pusat kota, tenaga medisnya jarang di tempat. Obatnya sering kosong, atau kalaupun ada, tidak sesuai dengan kebutuhan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sehingga seringkali ada keluhan, penyakitnya beda obatnya tetap sama, tapi jangan aneh, karena mungkin faktor keajaiban, banyak yang sembuh juga. Hebat kan? Apalagi untuk daerah tertentu, seringkali ada pasien pokona mah harus disuntik. Orang sunda menyebutnya dengan istilah ‘dijeksi’, sehingga tidak merasa berobat kalau tidak disuntik.

Di kampung saya, dikenal dengan istilah Mantri Suntik. Dan harus diingat, Mantri Suntik itu tidak semuanya berpendidikan medis, banyak yang tamatan SD, tapi karena pengalamannya di Puskesmas, akhirnya mampu membaca gejala penyakit pasien, saking berpengalamannya... terkadang ada yang lebih terkenal dibanding dokter sekalipun, karena selain murah, tokcer, cepat sembuh. Tapi itu jaman dulu, kalau sekarang bisa kena sanksi undang-undang bidang kesehatan atau istilah kerennya Malpraktek... gawat ah...

Yang namanya Puskesmas, bangunannya pun harganya murah. Apalagi standar harga bangunan dalam perencanaannya seringkali disamakan antara bahan bangunan di perkotaan dengan bahan bangunan di perdesaan, sehingga semakin jauh letaknya dari pusat kota, semakin buruk kualitasnya, ditambah biaya perawatan yang seringkali lupa dianggarkan. Bertambahlah penderitaan Bapak Puskesmas. Itulah yang harus kita pikirkan ke depan, bangunan pelayanan tidak mesti harus sama, sesuaikan saja dengan iklim dan alamnya, sehingga bahan bangunannya bisa menggunakan apa yang ada di tempatnya, tidak mesti selalu membawa barang impor dari kota. Pasti lebih murah dan lebih baik. Ini mah sekedar usulan, daripada disebut ‘pusat’ tapi pikawatireun (mengkhawatirkan). Itupun kalau usulannya mau dipakai. Kalaupun nggak, ya teu nanaon (tidak apa-apa).

MAKNA PUSAT - Lain cerita dengan ‘pusat’ Ibu Kota, Pimpinan Pusat, Pengurus Pusat, Pemerintah Pusat... Pokoknya yang namanya pusat rata-rata enak, dengan fasilitas serba ada, bahkan yang tidak dibutuhkan pun diaya-ayakeun (diada-adakan). Pokoknya mah yang pusat mah serba enak, ngahenang ngahening, saciduh metu saucap nyata (tenang saja, apa yang diinginkan akan terkabul/tersedia), sakti mandraguna, bisa menentukan apapun yang diinginkan. Karena itulah orang berlomba ingin ke pusat, kecuali ke Pusat Kesehatan Masyarakat, banyak yang tidak mau. Seminggu bertugas, langsung ilang. Tetapi perlu diingat, masih juga ada tenaga medis yang rela mendedikasikan dirinya di Puskesmas terpencil dan ini patut dihargai dengan gaji dan tunjangan yang memadai.

Akibat kesalahan kita dalam memahami Pusat Kesehatan Masyarakat, pemahamannya menjadi melulu menjadi pengobatan yang bersifat standar minimal, tidak menjadikan pusat kesehatan masyarakat menjadi pemahaman kesehatan universal, sangatlah pantas kalau kemudian tingkat kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi, penyakit dengan ancaman kematian tinggi sudah menyebar ke seluruh desa. Di desa sekarang ada kanker, stroke, gagal ginjal, diabetes, leukimia, bahkan sudah ada HIV.

Ditambah lagi, kita sudah menganggap kesehatan itu adalah berobat, kesehatan itu adalah operasi, kesehatan itu adalah alat pacu jantung, kesehatan itu adalah kemoterapi. Padahal, kata saya yang bodoh, kesehatan itu adalah hidup tanpa obat, hidup tanpa alat pacu jantung, hidup tanpa kemoterapi. Jadi yang mahal itu, bukan biaya hidup sehat, yang mahal itu justru biaya hidup untuk yang sakit. Idiom sehat itu mahal, harus dirubah menjadi sakit itu justru yang mahal. (Ada-ada saja...)

KEMBALI KE ALAM - Dunia ini adalah kumpulan kata-kata, walau ada istilah ‘apa artinya sebuah kata’, justru yang terjadi sebaliknya, setiap kata menunjukkan makna, kata yang penempatannya tidak tepat akan melahirkan makna yang salah. Memaknai sesuatu yang salah, akan melahirkan perilaku hidup yang sesat. Sesat bukan persoalan aliran agama, nih, tapi kita tersesat dalam pola hidup kita. Kesehatan terpusat pada hati dan pikiran, dari hati dan pikiran yang sehat, tidak akan pernah melakukan perbuatan untuk melawan keinginan alam besar dan alam kecil.

Alam besar adalah pusat yang menggerakkan, alam kecil adalah tanah, air, udara, matahari yang menjadi bagian dari diri kita. Pusat kesehatan dari sisi aspek lingkungan ada pada seluruh wilayah makro dan mikro kita. Kalau ingin sehat, bangunlah pagi-pagi, bukakan jendela rumah agar udara segar masuk ke kamar kita. Terus mandi di pancuran, airnya bening, belum tercemar. Sholat Subuh jangan lupa. Setelah itu, makan nasi hangat campur tutug oncom jeung uyah (oncom tumbuk dan garam), diasakan dina hawu (dimasak di atas perapian) bebas subsidi, nggak kaya elpiji, apalagi yang 3 kg, selain sering hilang di pasaran, suka ngabeledug (meledak) kalau salah cara menggunakannya.

Setelah itu ngambil pacul, pergi ke sawah, badan digerakkan, kalorinya dibakar sambil mendengarkan musik yang digerakkan oleh angin, daun, batang dan pohon ditambah alunan suara vokalis sawah dengan lagu yang ternama mideur deui, mideur deu, arang, arang, arang, kia, kia, kia.... Indah sekali, tanpa bayaran. Jam 10.00 kita makan lagi, terus kerja lagi sampai jam 12.00. Pulang dari sawah ngajinjing (menjinjing) belut, lalu Sholat Dzuhur, istirahat. Jam 14.00 kita ke kebun sampai jam 16.00, pulangnya bawa pisang, daun singkong, daun katuk, daun peuteuy (pete), daun jengkol ngora (muda), boros honje (susah nyari Bahasa Indonesianya), terong, cengek (cabe rawit), jahe, laja (lengkuas), daun gedang (daun pepaya)... Pokona mah sagala aya (pokoknya segala ada), hasil pertanian asli pilemburan (perdesaan) yang bebas pestisida.

Terus Sholat Ashar, habis sholat makan lagi jeung sambel belut, beuleum peuteuy dan daun jengkol ngora (dengan sambal belut, pete bakar), pamajikan daharna jeung sambel, urab daun gedang, daun sampeu, daun katuk, boros honje (istri makan dengan sambal, urap daun pepaya, daun singkong). Maghribnya menutup pintu dan jendela tanpa dikunci, Sholat Maghrib, baca Qur’an sampai Isya. 

Selepas Isya, tidur deh... nggak usah nonton TV, kulantaran teu boga (soalnya nggak punya). Sare kerek bari ngelay... (tidur ngorok sambil ngelay... bingung cari Bahasa Indonesianya). Tengah malam, bangun sholat tahajud, bukan karena ada keinginan, ieu mah ku kabiasaan we (karena terbiasa saja), masalah pahala nggak dipikirkan mau dapat berapa derajat, eta mah urusan Gusti Nu Maha Suci (itu urusan Tuhan Yang Maha Suci). Terus tidur lagi sampai subuh.

Ah, rarasaan nu kieu pusat kesehatan mah... (Ah, rasa-rasanya yang beginilah pusat kesehatan itu). Walaupun hal ini tidak mungkin ditemukan lagi, kecuali di kampung adat seperti di Baduy, tidak ada Puskesmas, tidak ada dokter, tidak ada perawat, tidak ada obat kimia, mereka umurnya tetap panjang-panjang, hidupnya bahagia tanpa konflik, bahkan tidak ada demokrasi pemilihan langsung, yang ada demokrasi alam yang diatur oleh siklus alam.

DAMPAK POLA HIDUP - Jangan-jangan Puskesmas itu di sini. Heup ah... Sudahlah... takut dianggap anti modern. Dinas Kesehatan atau Kementerian Kesehatan jangan lagi menjadi Bengkel atau Pemadam Bencana Gangguan Kesehatan Masyarakat akibat pola kebijakan pembangunan yang bertentangan dengan spirit alam, berdampak terbentuknya masyarakat yang berubah pola hidupnya demi mengejar trend yang terus berubah. Kelelahan pada model yang terus berubah, melahirkan masyarakat galau yang rentan penyakit. Hal itu diakibatkan oleh ketidakpercayaan kita terhadap keunggulan budaya yang kita miliki. Kita menjadi inferior terhadap perilaku leluhur kita yang mengajarkan perilaku hidup yang sehat dan pada akhirnya kita tumbuh menjadi obyek pasar, obat dan perlengkapan medis yang diimpor dengan harga mahal.

Yang lebih mengerikan lagi kalau kita menjadi obyek percobaan dari sebuah produk kapital medis. Ah, meni serem... Nu ieu mah tong kaalaman nya... (Ah, seramnya... yang ini jangan sampai teralami). Apabila realitasnya seperti ini, pusat kesehatan itu berada pada tanah, air, udara, dan matahari. Pada titik inilah kita harus gemar untuk menyerahkan diri secara total, agar tidak ada jarak antara kita dengan Dia. Tetapi ironinya, kita malah berbuat sebaliknya, merusak keberadaannya, atas nama peningkatan ekonomi dan kemakmuran, kemudian kita bangun bangunan semu atas nama kesehatan masyarakat dari mulai Rumah Sakit Kelas I di Pusat Ibu Kota Negara sampai pelayanan terendah yang bernama Puskesmas yang punya anak bernama Puskesmas Pembantu (Pustu).

Wah, jadi serius nih... Jadi, tidak ada salahnya kalau kita melakukan koreksi pada sistem tata pikir dan tata tindak kita tentang pemahaman kesehatan. Dari cerita tentang Puskesmas ini, kalimat ‘pusat kesehatan masyarakat’ bagaimana kalau kita ganti saja menjadi ‘balai gangguan kesehatan’ atau ‘rumah berobat’ atau istilah lain yang lebih jujur bahwa yang datang ke situ orang yang sakit dan butuh pelayanan tingkat pertama? Setuju nggak? Jawabannya, ya terserah, saya kan tidak punya kewenangan untuk mengganti kalimat. Saya kan bukan orang pusat.

Mudah-mudahan kalau diganti kalimatnya, nggak akan ada lagi orang yang datang, karena Puskesmasnya sudah dipindahkan oleh masyarakat ke dalam hati, pikiran dan pola hidupnya serta sudah diambil alih oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, sampai Pemerintah Desa untuk mengembangkan Pusat Kesehatan Masyarakat dalam setiap kebijakan pembangunannya. Bisa jadi nanti nggak ada lagi Kementerian Kesehatan, karena kesehatan menjadi milik semua kementerian.

Kalau seperti ini, Kementerian Kesehatan bisa hilang, karena sudah jadi milik dan spirit semua kementerian. Paling yang dibutuhkan nanti adalah Kementerian Pelayanan Gangguan Kesehatan yang mengelola tenaga medis, alat medis, bangunan medis dan asuransi masyarakat di bidang layanan pengobatan. Itupun kalau masih ada yang sakit. Kalau begini, banyak asuransi yang untung, karena tidak ada yang sakit dan jarang yang meninggal. Sugan.... (siapa tahu).

*) Penulis adalah Bupati Purwakarta

BACA JUGA: