Rudy Gani, Mahasiswa Magister Komunikasi Universitas Prof. Moestopo

Menghadapi situasi new normal akibat pandemi COVID-19, setidaknya kita bisa membagi manusia ke dalam tiga kategori.

Pertama, manusia yang patuh pada berbagai aturan serta protokol kesehatan.

Kedua, manusia yang setengah patuh.

Ketiga, manusia yang sama sekali tidak patuh pada aturan serta protokol kesehatan.

Kategori pertama adalah mereka yang taat pada aturan. Kelompok manusia ini adalah kelompok yang sadar akan bahaya COVID-19. Meskipun mereka melihat lingkungan sekitarnya cuek bahkan kadang meragukan bahaya. Kelompok ini tidak terpengaruh. Bahkan ketika menyadari lingkungan mereka yang cuek.

Mereka pun tak segan turun tangan menjadi bagian untuk memberi penyadaran. Mereka inilah kelompok yang maju di depan sebagai relawan, tenaga medis dan kelompok-kelompok pemberi bantuan. Mereka tidak gegabah dan terus menjaga lingkungan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Dalam konteks ini, mereka tak ubahnya seperti kaum pencerah dalam kisah nabi-nabi.

Kelompok kedua adalah mereka yang `pragmatis dibanding kelompok pertama. Bagi kelompok ini, kepatuhan pada aturan serta protokol kesehatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam keseharian mereka. Hanya saja, dalam situasi tertentu, mereka terkadang abai dan cuek pada aturan serta protokol kesehatan. Mengapa demikian? Jawabnya sederhana saja. Karena mereka memiliki keyakinan tidak tertular akibat penilaian yang dilakukan secara subjektif pada lingkungan sekitarnya.

Perilaku kelompok kedua ini ibarat anak bebek mengikuti emaknya. Jika mereka melihat orang-orang berkerumun, mereka pun ikutan. Jika mereka melihat orang lain tidak menggunakan masker dan mencuci tangan, mereka pun ikutan.

Bagi mereka, perilaku lingkungan adalah sebuah realitas kekiniaan yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Singkatnya, kalau orang lain begitu, saya pun demikian. Kalau orang lain melakukan ini, ya kenapa saya tidak melakukan juga. Ciri kelompok kedua inilah yang menjadikan mereka disebut sebagai manusia new normal pragmatis sebagaimana disebutkan di atas.

Kategori terakhir adalah mereka yang berbeda 180 derajat dengan kelompok pertama dan kedua. Jika kelompok pertama adalah manusia-manusia yang sangat ketat pada aturan dan protokol kesehatan, kelompok terakhir ini adalah kelompok yang `acuh` pada COVID-19. Hal ini dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran yang mereka yakini bahwa mereka tidak dapat tertular dan menulari orang lain. Mereka dengan yakinnya tidak akan terkena karena merasa diri mereka sehat-sehat saja.

Bahkan, keyakinan ini ditambahkan dengan fakta di lingkungan mereka belum ada satu pun warga yang terkena. Entah keluarga mereka, tetangga, rekan kerja dan lingkungan sekitarnya. Kelompok ini meyakini bahwa mereka `kebal` dari COVID-19. Karena itulah tidak ada hal yang mengharuskan mereka taat pada aturan. Sebab baginya berbagai peraturan tidak relevan pada kondisi mereka. Akhirnya mereka merasa tidak perlu mematuhi apalagi ditanggapi secara `serius`.

Bom Waktu

Ketiga kategori ini tentu saja menjadi cerminan kondisi aktual masyarakat Indonesia menjelang new normal. Persoalannya kemudian bagaimana bisa ketiga kategori ini muncul di tengah masyarakat kita? Padahal jika ditelisik lebih jauh, berbagai informasi serta pemberitaan mengenai COVID-19 sudah sangat gencar dan dominan selama beberapa bulan terakhir.

Lalu, apakah yang menyebabkan kategori itu bisa muncul di tengah-tengah kita?

Menurut penulis ada beberapa faktor. Salah satunya adalah inkonsistensi sebuah aturan serta respons masyarakat, terutama pemerintah dalam menghadapi COVID-19. Yang kedua, terpaan penerimaan informasi yang belum merata.

Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat yang belum mengetahui betul bahaya COVID-19 untuk diri mereka dan keluarganya. Sebab, tidak semua orang Indonesia memiliki akses informasi yang setara. Bahkan, menurut kajian sosiologi komunikasi terdapat perbedaan akses informasi antara masyarakat yang tinggal di desa dan masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Menurut kajian ini, masyarakat kota lebih `tercerahkan` sedangkan masyarakat desa `samar-samar` akan informasi.

Dampaknya tentu saja pada perbedaan perilaku antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Bias informasi menyebabkan berbedanya tanggapan serta perilaku antara manusia yang ada di desa dan manusia yang ada di kota.

Karena bias inilah penyebab munculnya ketiga kategori di atas. Sehingga, ada manusia yang sadar pada bahaya COVID-19, ada pula masyarakat yang setengah cuek tapi pada situasi tertentu patuh dan ada yang tidak peduli sama sekali pada bahayanya. Iniah fakta-fakta yang tidak bisa kita bantah. Lalu, bagaimana solusi terkait fakta- fakta tersebut?

New normal adalah sebuah konsep yang masih `jauh` dipahami masyarakat Indonesia. Sebab, kita masih memiliki PR adanya kesenjangan informasi antara masyarakat yang satu dengan yang lain.

Pemahaman terhadap new normal bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota besar mungkin tidak menjadi persoalan. Namun, masyarakat Indonesia bukan saja mereka yang tinggal di kota-kota besar. Hal ini perlu dipikirkan oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat bahwa masih ada kesenjangan informasi terkait konsep hidup new normal ini.

Jika tidak diselesaikan PR tersebut, `bom waktu` alias gelombang kedua COVID-19 terjadi. Jika beberapa bulan ke belakang pasien COVID-19 kebanyakan mereka yang tinggal di kota, jika tidak dicarikan solusi, pasien COVID-19 akan meledak di desa-desa.

Untuk itu diperlukan sebuah perencanaan yang matang dengan melibatkan para ahli di bidangnya masing-masing. Salah satunya pemerintah perlu melibatkan ahli komunikasi yang mampu `mempropagandakan` new normal kepada seluruh lapisan masyarakat baik di desa maupun kota.

Semoga.

BACA JUGA: