Oleh: A´an Efendi *)

Kesalahan atau mungkin ketidaksanggupan memaknai hukum rimba secara tepat telah menempatkannya pada derajat serendah-rendahnya. Ada kesamaan pandangan mulai dari yang elit sampai alit kalau hukum rimba itu jelek, kotor, hina dina, biadab, bengis, sadis, brutal, membahayakan, meresahkan, menakutkan, hukum yang urusannya hanya otot siapa yang kuat ia pemenangnya. Pokoknya hukum rimba itu buruk dengan ragam ungkapan penyebutannya.

Apa hukum rimba itu? The survival of the fittest, strongest or most cunning.  Ini jawaban dari https://en.m.wiktionary.org. Definisi ini cuma secuil dari sangat luasnya belantara hukum rimba. Harimau atau singa dengan cakar dan taring tajamnya mengalahkan yang lebih lemah seperti kambing hutan. Buaya bertubuh lebih besar dan gigi-gigi yang kuat dan tajam tidak akan tertandingi oleh rusa-rusa yang melepaskan dahaga di sungai markasnya. Kepala kambing tidak akan sanggup untuk menahan kepala sapi kalau mereka harus saling seruduk.

Tidak ada yang salah dari harimau yang memburu, mencakar, mencabik, mengoyak, dan menyantap seekor zebra. Harimau tidak sedang mempertontonkan aksi kebuasannya. Ini adalah proses alamiah yang harus terjadi. Food chain supaya keseimbangan ekosistem terjaga. Justru karena herbivora disantap harimau kesehatan lingkungan menjadi terjaga. Ketidakcukupan jumlah harimau untuk memakan mereka dapat menyebabkan overgrazing dan berbahaya bagi lahan, mengganggu keseimbangan lingkungan setempat. Ini informasi dari https://www.wwf.org. Ternyata harimau yang dicap buas justru memainkan peran mulia.

Kembali ke soal buas. Kalau ukuran hewan buas sekadar sebab memakan hewan lainnya bagaimana dengan cicak memakan nyamuk atau burung bersantap ulat. Ya, memang tidak ada yang namanya hewan buas karena itu hanya anggapan manusia saja yang melabeli hewan-hewan tertentu sebagai hewan buas. Harimau hanya menjalankan apa yang harus dijalani dalam hidupnya tanpa ada pilihan untuknya. Tidak akan dapat diubah harimau menyukai dedaunan.

Jangan berpikir pula menjadi harimau lebih enak ketimbang misalnya jadi ayam. Ditakdirkan menjadi harimau sangat merepotkan. Untuk makan saja harus mengeluarkan energi amat besar. Berlari mengejar dan bertarung lebih dahulu dengan calon mangsanya. Harimau yang makin lama usianya kian uzur akan kesulitan untuk mendapatkan makanan sesuai seleranya. Padahal sekali makan harimau menghabiskan 88 pon daging (https://www.worldwildlife.org). Ayam lebih mudah hidupnya daripada harimau. Cukup berputar-putar di sekitar pekarangan sudah menemukan bunga rumput atau ceceran beras atau biji jagung yang dapat dinikmatinya. Tidak perlu tenaga ekstra sebagaimana harimau. Ayo, lebih nikmat menjadi macan atau ayam?

Kerbau lapar tidak perlu berfikir hamparan rumput hijau di depannya milik siapa. Meskipun bukan kepunyaannya atau tuannya tetapi tetangganya rumput itu adalah makanannya. Ayam jantan yang syahwatnya sudah di ubun-ubun tidak perlu tahu kalau si betina ternyata induknya dan tidak perlu malu meski disaksikan ayam-ayam lain, bebek, atau bahkan manusia. Hukum perkawinan tidak diperlukan untuk ayam dan lainnya. Pun, kucing yang sudah kebelet buang hajat tidak butuh tempat khusus. Semua pelataran tanah adalah jambannya. Tidak peduli itu teras rumah atau halaman balai pertemuan warga. Kucing tidak perlu risau merasa bersalah kotorannya terinjak kaki manusia dan baunya menyengat hidung amat memuakkan. Tidak ada masalah sama sekali bagi kucing. Ini pun hukum rimba. Hukum rimba tidak melulu soal kuat-kuatan otot.

Tidak ada yang salah dari perilaku kerbau, ayam, dan kucing ini. Meminjam materi ceramah dai sejuta umat KH. Zainuddin MZ kalau hewan itu diberi otak tanpa akal tetapi hanya dibekali nafsu. Hewan tidak akan berfikir apa yang dilakukannya salah atau benar, pantas atau tidak pantas, melanggar moral atau hukum atau tidak.

Lalu di mana buruknya hukum rimba? Apa yang ditakuti dari berlakunya hukum rimba? Hukum rimba ada di seluruh hamparan bumi ini tanpa kesanggupan manusia untuk menolak, mengubah, atau melawannya. Kreatornya Tuhan langsung bukan buatan manusia. Dia yang mengatur harimau, singa, atau buaya harus menjadi predator hewan lainnya. Tuhan yang menjadikan kerbau, ayam atau kucing tidak berfikir untuk segala apa yang diperbuatnya. Mana ada hasil kerja Tuhan tidak baik. Memburuk-burukkan hukum rimba sama dengan bilang hukum buatan Tuhan itu jelek. Kok berani sekali manusia.

Hukum rimba macam apa yang ditakutkan manusia? Hukum rimba kalau warga kampung menangkap basah maling sepeda motor kemudian menggebukinya sampai babak belur atau membakarnya hidup-hidup. Hukum rimba di mana orang yang berkuasa, memiliki uang melimpah, atau banyak massa pendukungnya dengan sewenang-wenang mengintimidasi, menekan yang lebih lemah atau mendikte jalannya penegakan hukum.

Hukum rimba ketika hukum hanya berpihak pada pemodal tetapi tajam untuk masyarakat kecil. Di angkutan umum seorang ibu hamil tidak mendapatkan tempat duduk karena para laki-laki tidak mau memberikan kursinya dikatakan telah berlaku hukum rimba.

Bukan, sama sekali itu bukan hukum rimba. Itu pikiran picik dan salah besar memahami hukum rimba. Apa yang terjadi adalah manusia berperilaku sebagai komponen rimba. Itu kebuasaan sesungguhnya yang justru oleh manusia disematkan kepada penguhi rimba. Kebuasaan domain dan hanya dapat dipunyai manusia. Manusia di luar bekerjanya hukum rimba tetapi meniru mereka yang menjadi addressee hukum rimba.

Manusia bertindak seperti sekawanan buaya memperlakukan rusa yang meminum air di sungai yang didiaminya. Laksana Singa yang selalu menjadi sumber rasa takut bagi segerombolan kijang. Seperti para kambing yang tidak pernah peduli leher sejawatnya terlilit erat tali yang dapat membunuhnya. Manusia bertingkah laku seperti sapi tidak peduli rumput hijau milik siapa. Bajingan lebih berbahaya dari bajing sebagaimana buaya darat dan lintah darat lebih menakutkan dari buaya dan lintah. Siapa mereka? Manusia bukan?

Anehnya lagi manusia mencaci maki dan menolak mentah-mentah hukum rimba tetapi pada saat yang sama ada yang menjadi penikmat hukum rimba itu. Perilaku seks bebas dan kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) adalah contohnya. Untuk yang terakhir pun masih menyalahkan makhluk rimba karena lebih dikenal kumpul kebo. Mungkin tidak mau disebut perbuatan zina karena kesannya terlalu kasar.

Dalihnya bermacam-macam. Suka sama suka dan tidak ada yang terugikan, urusan pribadi, hak asasi manusia, dan lainnya. Hukum nampaknya mengamini alasan ini. Hukum sampai  sekarang tidak dapat menjangkau perilaku "penduduk" rimba yang dipraktikkan oleh manusia itu. Ah dasar manusia, hukum rimba dibenci tapi dinikmati.

*) Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jember

BACA JUGA: