A´an Efendi
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jember


Episode pagelaran korupsi masih terus berlanjut dan kian menampakkan keseruannya. Tahun 2017 yang akan segera mencapai ujungnya dihiasi kasus dugaan korupsi sang ketua parlemen sekaligus komandan tertinggi Partai Golkar, Setya Novanto yang begitu menyedot perhatian publik dengan perkiraan kerugian negara yang membelalakkan mata semua orang. Apakah kasus korupsi yang membelit Pak Nov itu menjadi penutup akhir tahun atau sisa waktu sebulan kurang ini masih akan kembali menyeruak ke tengah publik tersangka lain yang ikut terseret kasus korupsi E-KTP? Publik masih menunggu kelanjutan kasus yang disebut-sebut sebagai biang keladi susahnya memperoleh kartu identitas kependudukan itu.

Mengapa korupsi terus terjadi? Apa yang salah atau kurang dari cara mengelola negara ini? Di luar pemerintah ada DPR(D) dengan fungsi kontrolnya mengawasi jalannya pemerintahan nasional-lokal tapi korupsi tetap tak terbendung. Pengawas dengan yang diawasi bermain mata. Memilukan juga memalukan. Dari dalam pemerintah ada satuan-satuan pengawas internal memeloti aktivitas penyelenggaraan pemerintahan toh korupsi tetap masih berlangsung.

Undang-undang anti korupsi telah dibuat dilengkapi ancaman hukuman yang tidak main-main tetapi masih belum sanggup menangkal supaya niatan korupsi urung. Bahkan hukum anti korupsi PBB pun telah didatangkan ke dalam hukum nasional tetapi lagi-lagi korupsi tetap melenggang tanpa rasa segan.

Sejak 2002 silam telah berdiri badan khusus untuk mengurusi masalah perkorupsian bernama KPK tetapi lacur sampai kini korupsi pun tetap berjalan. Rentetan operasi tangkap tangan tidak mampu menakut-nakuti calon-calon pelaku korupsi baru. Memakai rompi oranye belum cukup membuat malu bahkan masih punya nyali untuk tersenyum dan melambaikan tangan layaknya tanpa beban. Badan anti rasuah yang full power itu pun tidak pernah menetapkan target kapan korupsi harus tuntas. Sekedar tukang gerebek sana-sini yang nyatanya tidak ampuh melumpuhkan korupsi.

Pelaku korupsi korupsi banyak yang diseret ke pengadilan dan berlanjut dijebloskan ke penjara tetapi korupsi tidak reda dan masih merajalela. Mendekam dalam penjara seakan telah dianggap sebagai risiko belaka kalau lagi apes korupsinya harus ketahuan penegak hukum. Penjara tak membuat jera sehingga ada yang berurusan kembali dengan kasus korupsi setelah bebas dari dalam jeruji besi.

Pada saat usaha membumihanguskan korupsi masih terpaku menggunakan alat dan hukumnya negara dan itu pun belum menuai hasil memuaskan kini Polri menyiapkan ‘alat gebuk’ baru bagi para penikmat uang negara dengan cara tidak halal. Destasemen anti korupsi namanya. Entah korp apalagi yang akan dibentuk jika nanti ternyata pasukan khusus anti korupsi itu pun kesulitan untuk membuat korupsi angkat kaki.

Pemberantasan korupsi tidak dapat hanya dengan mengandalkan hukum produksi negara. Kesalahan fatal kita adalah terlalu mengunggul-unggulkan bahkan mensupremasikan hukum tetapi lupa pada yang lebih penting dari itu yaitu moral/akhlak. Negara pun secara gamblang menunjukkan identitasnya sebagai negara hukum.  

Hukum ada atau tidak ada tidak terlalu penting bagi orang bermoral baik. Orang berakhlak baik tidak akan mencuri meskipun tidak ada KUHP yang melarang pencurian. Tetap membayar barang yang dibeli sekalipun tidak ada pasal KUHPerdata kalau kewajiban pembeli itu membayar barang yang dibeli. Tidak repot-repot membuat kontrak karena akan memenuhi apa yang dijanjikan. Moral dapat menyalahkan pemimpin tidak korupsi tetapi bermewah-mewahan di tengah miskin rakyatnya tetapi itu tidak dapat dilakukan hukum.

Hukum tidak dapat menyalahkan pemimpin yang mengingkari janjinya tetapi moral dapat melakukannya. Orang membunuh atau mencuri salah secara hukum salah juga secara moral. Hukum daya jangkaunya terbatas tidak seluas moral. Hukum ada di bawah moral. Moral superior dibandingkan hukum. Titik intinya mau dibuat seribu undang-undang korupsi plus badan-badan anti korupsi pun tidak akan banyak berguna kalau moral manusianya telah buruk.

Kata Plato: "good people do not need laws to tell them to act responsibly, while bad people will find a way around the laws". Memberantas korupsi hanya bersenjata hukum tetapi meninggalkan moral seperti memperbaiki rumah reot pada atap atau dinding-dindingnya tetapi tidak pernah pada pondasinya. Tidak menyentuh jantung masalahnya. Pemberantasan korupsi tidak boleh juga tidak melibatkan rakyat untuk ikut menghukum pelaku korupsi. Tidak cukup hanya negara yang menghukum koruptor.

Melepaskan negara menjadi penghukum tunggal tanpa sokongan hukuman dari rakyat adalah suatu kesalahan. Hukuman negara itu lemah karena pakai hitung-hitungan matematika. Kadar salahmu segini hukumanmu segini. Hukuman negara memiliki waktu terbatas. Hukuman usai maka salahnya juga selesai. Hukuman alat tebus kesalahan. Hukuman negara yang disasar perbuatannya bukan subyeknya.

Rakyat memiliki hukuman sosial kepada siapa pun pelanggar moral atau hukum atau dua-duanya. Ini yang tidak dimiliki hukuman hukum karena targetnya cuma pelanggar hukum. Untuk koruptor hukuman sosial yang paling mudah adalah tidak memilihnya kembali untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Tentu masih ingat kasus operasi tangkap tangan di parlemen lokal Jawa Timur di mana salah satu pelakunya sebelumnya juga pernah masuk penjara. Ini terjadi karena hanya hukuman negara yang bekerja tanpa rakyat menjatuhkan hukuman sosialnya.

Berbeda dengan hukuman negara, hukuman sosial untuk manusianya. Sanksi sosial mencatat manusia ini brengsek, tidak beradab, tidak bermoral, suka bohong, tukang tipu atau lainnya. Orang seperti itu tidak boleh memimpin rapat, tidak layak jadi ketua RT, RW, tidak pantas menjadi pemimpin. Sanksi sosial memiliki ‘daya ledak’ lebih dahsyat daripada sanksi hukum. Memberangus korupsi dengan sanksi hukum tanpa sanksi sosial seperti menebaskan golok ke musuh tetapi tidak dengan bagian bilah yang tajam. Tidak mematikan hanya membuat lebam.

Penting dan tidak boleh terlupakan juga dalam pemberantasan korupsi adalah presisi mengkonsepkan korupsi sebagai kejahatan. Ini penting untuk menentukan sikap dan persepsi terhadap korupsi. Korupsi itu kejahatan luar biasa. Ini letak salah pengkonsepan kejahatan korupsi. Luar biasa itu memiliki makna dalam ruang lingkup sesuatu yang baik. Misalnya, pemandangan alam Indonesia luar biasa indahnya atau penyanyi bersuara merdu itu mendapatkan sambutan luar biasa dari penonton. Tidak perlu kita mengambil alih kalau korupsi itu extraordinary crime. Extraordinary berarti strange and wonderful. Padanannya amazing, fantastic, marvelous, dan lainnya. Extraordinary pun sesuatu yang baik.

Paling tidak jangan mengkonsepkan kejahatan korupsi dalam makna yang bias kalau ada yang punya argumentasi lain ‘luar biasa’ itu menunjukkan sesuatu yang buruk. Pilih konsep yang tidak tafsir makna. Korupsi kejahatan biadab atau bengis lebih pas. Sikap dan persepsi masyarakat menjadi jelas kalau kebiadaban atau kebengisan tidak pantas ada harus dienyahkan di mana pun itu. Tidak ada yang menoleransi tindakan biadab dan bengis.

Pun, eufemisme tidak perlu diberikan kepada pelaku korupsi. Mereka jangan lagi diberi gelar koruptor tapi maling, perampok, atau bandit uang negara. Meskipun sebenarnya para maling, perampok, atau bandit dapat protes karena mereka lebih bermartabat dibandingkan pengkorupsi uang negara.

Lihat saja di televisi anda mereka tidak pernah tersenyum atau melambaikan tangan tetapi selalu menunduk menyembunyikan mukanya tidak ingin orang tahu kalau mereka penjahat karena itu teramat memalukan. Sembari menunggu ditemukan titel yang pas, sementara waktu gelar maling, perampok, atau bandit dapat dipinjam. Sekali lagi korupsi itu kejahatan biadab atau bengis bukan kejahatan luar biasa.

BACA JUGA: