Oleh: Aan Andrianih, SH.MH., Perancang Peraturan Perundang-Undangan bidang Kesra di Badan Keahlian DPR RI

Akhir-akhir ini beredar isu mengenai akan dihapuskannya pendidikan agama dari kurikulum sekolah dan akan menggantinya dengan pendidikan keagamaan di madrasah diniyah, masjid, pura, atau gereja. Hal ini memunculkan reaksi yang beragam dari masyarakat, karena isue agama merupakan isue yang menyangkut SARA yang sangat sensitif di masyarakat yang majemuk dan multikultural di indonesia.

Pendidikan keagamaan berdasarkan PP nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.

Pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perguruan-perguruan keagamaan sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan.

Pendidikan keagamaan juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Sebagian masyarakat mengatasinya dengan tambahan pendidikan agama di rumah, rumah ibadah, atau di perkumpulan-perkumpulan yang kemudian berkembang menjadi satuan atau program pendidikan keagamaan formal, nonformal atau informal.

Secara historis, keberadaan pendidikan keagamaan berbasis masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan. Namun demikian masih menyisakan permasalahan dimana pada kenyataan terdapat kesenjangan sumber daya yang besar antar pendidikan keagamaan dengan pendidikan nasional/umum.

Sedangkan sebagai salah satu komponen sistem pendidikan nasional, pendidikan keagamaan perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk Pemerintah dan pemerintah daerah. Namun demikian dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menjabarkan kedudukan pendidikan keagamaan di dalam peraturan perundang-undangan terkait pendidikan Keagamaan.

Pembahasan

Penyelenggaraan pendidikan keagamaan pada umumnya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat dari pemeluk agama yang bersangkutan. Fungsi pendidikan keagamaan adalah untuk membantu peserta didik agar mampu memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya.

Di samping itu, pendidikan keagamaan juga berfungsi untuk menghasikan ahli ilmu agama. Karena penyelenggaraan pendidikan keagamaan dilakukan oleh masyarakat, maka proses pembelajaran, kurikulum, dan sumber daya manusia yang dimilikinya menjadi sangat beragam dan tidak tunggal, ada institusi pendidikan keagamaan yang proses pembelajarannya sudah tertata baik, ada pula yang belum. Ada institusi pendidikan keagamaan yang sarana dan prasarana pendidikannya yang sudah layak, ada juga yang belum layak bagi proses pembelajaran.

Kondisi pendidikan keagamaan yang demikian, tidak saja terjadi pada pendidikan keagamaan yang ada dalam agama Islam, seperti diniyah dan pesantren, tetapi juga dialami oleh pendidikan keagamaan dalam agama-agama di luar Islam. Dalam agama Hindu, ada pendidikan keagamaan yang disebut pasraman, yakni lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu. Pasraman merupakan lembaga pendidikan alternatif bagi pendidikan agama Hindu di sekolah formal.

Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sementara di Pasraman, agama Hindu diajarkan tidak terbatas pada ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata hidup yanng lebih baik. Pasraman diselenggarakan untuk membentuk manusia berbudi luhur, susila dan bijaksana. Namun Pasraman yang ideal seperti itu belum dapat diselenggarakan. Begitu juga pendidikan keagamaan dalam agama Budha, Katolik, Kristen dan Khonghucu.

Pendidikan Keagamaan Berdasarkan UUD 1945

Secara konstitusional, pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Penerjemahan "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang selanjutnya di tuangkan di dalam batang tubuhnya dalam Pasal 31 Ayat (1) yang menegaskan: "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan".

Pada Ayat (2) disebutkan: "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Pada Ayat (3) disebutkan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang."

Ayat (4): "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional."

Kemudian Ayat (5): "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."

Berdasarkan ketentuan di dalam UUD 1945 tersebut negara telah menjamin warga negaranya dalam hal pendidikan, baik formal, informal maupun nonformal yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hal itu di jamin pula dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Salah satu pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia yang masuk di dalamnya pendidikan keagamaan sebagai salah satu pendidikan yang berbasis masyarakat.

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Selain di atur di dalam UUD 1945, Pendidikan di atur pula dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di dalam UU tersebut telah tersurat prinsip penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Begitu pula dalam bab tentang kurikulum, diarahkan untuk memperhatikan peningkatan iman dan takwa serta peningkatan ahlak mulia.

Dari rumusan ini menunjukkan bahwa agama menduduki posisi yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Terkait dengan Pendidikan Keagamaan tercantum pada Pasal 30 Ayat (4), Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

PP 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan

Beragamnya bentuk pendidikan keagamaan atau bentuk lain yang sejenis menunjukan betapa pentingnya pendidikan keagamaan di Indonesia. Dan untuk memperjelas kedudukannya maka di di susun Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. PP tersebut mengatur mengenai Pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu yang di selenggarakan kelompok masyarakat dari pemeluk agama yang bersangkutan.

Fungsi pendidikan keagamaan adalah untuk membantu peserta didik agar mampu memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya. Di samping itu, pendidikan keagamaan juga berfungsi untuk menghasikan ahli ilmu agama. Karena penyelenggaraan pendidikan keagamaan dilakukan oleh masyarakat, maka proses pembelajaran, kurikulum, dan sumber daya manusia yang dimilikinya menjadi sangat beragam dan tidak tunggal/seragam.

Karena beragam dan tidak sama maka penyelenggaraan pendidikan keagamaan memiliki proses dan sistem pembelajaran yang berbeda pula sehingga mengakibatkan ada institusi pendidikan keagamaan yang proses pembelajarannya sudah tertata baik, ada pula yang belum. Ada institusi pendidikan keagamaan yang sarana dan prasarana pendidikannya yang sudah layak, ada juga yang belum layak bagi proses pembelajaran.

Selain Peraturan pemerintah masih banyak peraturan lain terkait pendidikan keagamaan yang telah ada yaitu PMA 7/2012 Ttg Pendidikan Keagamaan Kristen/ Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2016,PMA 1/2013 Tentang Sekolah Menengah Agama Katolik yang diperbaharui dengan PMA 54/2014, PMA 13/2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam, PMA 18/2014 Tentang Satuan Pendidikan Mu’adalah pada Pondok Pesantren, PMA 39/ 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Buddha, PMA 56/2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Hindu.

Meskipun telah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pendidikan keagamaan dari mulai UUD 1945 sampai dengan Peraturan Menteri Agama, namun demikian pendidikan keagamaan masih perlu pembinaan dan penataan yang lebih baik lagi agar dapat mengurangi kesenjangan yang ada antara pendidikan keagamaan dan pendidikan pada umumnya.

Untuk mencapai fungsi dan tujuan ideal pendidikan keagamaan, perlu dilakukan tata kelola, perumusan tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan sarana dan prasana pendidikan. Tata kelola pendidikan keagamaan yang selama ini dilakukan masyarakat masih memerlukan campur tangan negara sebagai salah satu bentuk tanggungjawab negara terhadap ketersediaan pendidikan keagamaan.

BACA JUGA: