Oleh: Mardisontori, LLM, Perancang Peraturan Perundang-Undangan, Badan Keahlian DPR RI

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Perppu Perpajakan) ditetapkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Mei 2017 dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada tanggal yang sama. Berdasarkan ketentuan dalam Perppu ini dinyatakan, Perppu ini langsung berlaku saat diundangkan.

Perppu Perpajakan ini dikeluarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, emerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional dan untuk menyejahterakan dan memakmurkan rakyat secara merata dan berkeadilan, maka Pemerintah membutuhkan pendanaan terutama yang berasal dari pajak, sehingga untuk mencapai penerimaan pajak tersebut diperlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan.

Kedua, saat ini masih terdapat keterbatasan akses bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan yang diatur dalam undang-undang di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan kendala bagi otoritas perpajakan dalam penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty).

Pertimbangan ketiga yaitu terkait keikutsertaan Indonesia dengan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of financial account information) dan harus segera membentuk peraturan setingkat undang-undang sebelum tanggal 30 Juni 2017 mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Pertimbangan keempat yaitu konsekuensi ketika Indonesia tidak patuh terhadap batas waktu yang sudah ditentukan akan berdampak sebagai negara yang dinyatakan sebagai negara yang gagal untuk memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment). Hal ini akan mengakibatkan kerugian yang serius bagi Indonesia, diantaranya, menurunnya kepercayaan investor, menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G-20, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penempatan dana illegal.

Pemerintah beralasan bahwa karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan, maka Pemerintah perlu menetapkan Perppu Perpajakan ini. Namun, bagaimana definisi “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sehingga Perppu dapat diterbitkan dan bagaimana mekanisme Perppu berdasarkan peraturan perundang-undangan?

Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa dan Mekanisme Perppu

Pasal 22 Ayat (1) UUD 45 menyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Dari bunyi pasal di atas diketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan Perppu adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Subjektivitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” menjadi dasar diterbitkannya Perppu.

Kedudukan Perppu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie: Pasal 22 UUD 45 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 tersebut memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perppu (Jimly Asshiddiqie, 2010).

Ukuran objektif penerbitan Perppu dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai indikator adanya "kegentingan yang memaksa" bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu:

a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; dan
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Perppu Perpajakan

Pada saat tanggal 8 Mei 2017 Perppu ini diundangkan, DPR dalam masa reses (masa tidak bersidang) atau masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksakan kunjungan kerja. Selanjutnya dalam sidang berikutnya Presiden mengajukan RUU tentang Penetapan Perppu Perpajakan ini ke DPR pada tanggal 20 Mei 2017 untuk dibahas bersama DPR untuk mendapatkan persetujuan. Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan.

Pengajuan Perppu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perppu menjadi Undang-Undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945 dan Ketentuan Pasal 52 UU No 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu. Dalam hal Perppu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, maka Perppu tersebut ditetapkan menjadi undang-undang.

Dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perppu tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam hal Perppu harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku, maka kewajiban DPR atau Presiden untuk mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu tersebut. Dalam RUU tentang Pencabutan Perppu juga mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu. RUU tentang Pencabutan Perppu ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu dalam rapat paripurna yang sama.

Pasal 71 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) menyatakan bahwa pembahasan RUU tentang penetapan Perppu dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU pada umumnya. Namun, pembahasan RUU tentang pencabutan Perppu dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan RUU pada umumnya. Ketentuan mengenai mekanisme khusus dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:

1) RUU tentang pencabutan Perppu diajukan oleh DPR atau Presiden;
2) RUU tentang pencabutan Perppu diajukan pada saat rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang diajukan oleh Presiden; dan
3) Pengambilan keputusan persetujuan terhadap RUU tentang pencabutan Perppu tersebut dilaksanakan dalam rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Perppu tersebut.

Secara teknis peraturan perundang-undangan, UU tentang Penetapan Perppu menjadi UU pada dasarnya hanya terdiri dari 2 (dua) pasal, yaitu:

a. Pasal 1 memuat Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perppu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang-Undang penetapan tersebut.
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. (lampiran Nomor 239 UU No 12 Tahun 2011 tentang PPP)

Kesimpulan

Perppu Perpajakan yang sudah ditetapkan oleh Presiden sudah berlaku saat diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (8 Mei 2017). Selanjutnya Presiden sudah mengajukan RUU tetang Penetapan Perppu Perpajakan ini untuk dibahas DPR guna mendapatkan Persetujuan (20 Mei 2017).

Berdasarkan Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 Persetujuan harus didapatkan pada masa persidangan berikutnya, artinya persetujuan dari DPR dilakukan pada masa sidang DPR ini juga (sampai dengan tanggal 27 Juli 2017) dengan mekanisme yang sudah diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 Tentang PPP.

BACA JUGA: