Kerukunan umat beragama di Indonesia akhir-akhir ini sedang  mendapatkan ujian berat terkait isu penodaan agama. Berdasarkan hasil riset dari tahun 1965-2017, Setara Institute menemukan 97 kasus penodaan agama. Dari 97 kasus penodaan agama tersebut, sebanyak 88 kasus penodaan agama terjadi setelah masa reformasi. Toleransi sudah menjadi barang yang sangat mahal untuk didapatkan saat ini. Satu peristiwa saja dapat menyulut peristiwa yang lebih besar lagi. Karena itu, peningkatan keimanan dan ketakwaan, serta toleransi bagi umat beragama harus senantiasa dipupuk dan ditingkatkan, agar tidak terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.

Masyarakat internasional memiliki pandangan tersendiri mengenai isu penodaan agama. Sebagian pendapat masyarakat mengatakan bahwa pernyataan penodaan/penistaan terhadap agama adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Mereka berpendapat bahwa yang seharusnya dilarang bukanlah penodaan/penistaan agama melainkan penistaan terhadap manusia. Kelompok ini berpendapat bahwa menodai agama hanyalah menodai sesuatu benda di luar manusia, karenanya tak perlu berpengaruh terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.

Adapun yang lainnya berpendapat bahwa penodaan agama adalah bagian dari penodaan/penistaan terhadap manusia, karena penodaan/penistaan agama tidak dapat dilepaskan dari penodaan/penistaan terhadap manusia pemeluk agama itu sendiri. Di sinilah letak perbedaannya. Sesungguhnya kita bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang religius cenderung memilih pendapat kedua.

Bagi kultur masyarakat Indonesia yang agamis, agama merupakan suatu bentuk keyakinan yang bukan hanya dimiliki manusia melainkan juga dimuliakan dan disucikan oleh penganutnya. Oleh karena itu, penodaan/penistaan agama adalah dengan sendirinya menjadi penodaan/penistaan terhadap manusia pemeluk agama itu. Karena itu pula maka masalah penodaan/penistaan agama secara langsung menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga negara perlu turun tangan dan memberikan rambu-rambunya.

Di Indonesia sendiri telah ada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang memuat di dalamnya larangan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di  Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Dimana jika melakukan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut maka ancaman hukumannya paling lama lima tahun penjara, sejalan dengan yang termaktub di dalam Pasal 156a KUH Pidana yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama merupakan upaya negara atau Pemerintah untuk mencegah terjadinya benturan antarumat beragama dan memelihara ketenteraman serta ketertiban masyarakat yang dapat terganggu karena adanya polarisasi dan pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat adanya penyebaran paham keagamaan yang menyimpang dengan agama yang diakui oleh Negara, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu (Konfusius). Ini tidak berarti agama-agama lain seperti Yahudi, Zarazustrian, Shinto dan Thaoism dilarang di Indonesia. Agama-agama ini tetap dijamin keberadaannya sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

UU ini sangat diperlukan untuk memelihara persatuan nasional dan persatuan bangsa. Tentu saja, tugas pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta pemeliharaan persatuan dan kesatuan nasional adalah tugas dan kewajiban negara yang sah dan legal, sehingga meskipun Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, terkesan memasuki wilayah privat dari warga negara, namun karena tujuannya untuk melindungi keamanan dan ketertiban agar tidak terjadi penodaan dan/atau kebencian antarumat beragama maka negara berhak untuk memasuki ruangan privat tersebut demi keamanan dan kenyamanan tiap pemeluk agama yang ada. UU PNPS ini pun dibuat agar tak ada agama apa pun yang disimpangi sehingga bisa mencegah kerawanan sosial. Bisa dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini sebagai tindakan preventif negara akan kasus-kasus penodaan yang dapat menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.

Ada beberapa kasus penodaan agama yang telah dijerat dengan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, diantaranya putusan Pengadilan dalam kasus Arswendo Atmowiloto, kasus Saleh di Situbondo (1996, dikenai Pasal 156a), kasus Mas’ud Simanungkalit (2003, dikenai Pasal 156a), kasus Mangapin Sibuea, pimpinan Sekte Pondok Nabi Bandung (2004, dikenai Pasal 156a), kasus Yusman Roy (2005, dikenai Pasal 335 dan 157 KUHP), putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.677/PID.B/ 2006/PN.JKT.PST, tanggal 29 Juni 2006 dalam perkara Lia Eden, kasus Abdurrahman yang mengaku Imam Mahdi, kasus penistaan kitab suci di Malang (2006, dikenai Pasal 156a), dan terakhir kasus yang ramai dan memunculkan banyak pertentangan yang dijatuhkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang dinilai terbukti melanggar Pasal 156a KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.

Kebebasan Beragama
Pada hakikatnya kebebasan beragama di Indonesia telah dilindungi oleh konstitusi yaitu di dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Begitu pula dengan Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa "setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.” Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Namun demikian Hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah yang masuk dalam kategori HAM tersebut tetap dibatasi dengan adanya Pasal 28J UUD 1945, Pasal 28 J ayat mengatur bahwa (1) "setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain.” Dan ayat (2) mengatur "pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang." Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.

Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, merupakan pembatasan hak
beragama yang dilindungi konstitusi agar tidak saling melanggar hak beragama orang lain, baik dengan menodai ataupun menyalahgunakan keyakinan agama lain yang berbeda. Di sinilah fungsi undang-undang sebagai pelindung.

Selain di Indonesia ada beberapa negara yang memiliki UU Penodaan Agama diantaranya:

Pakistan
Diantara negara berpenduduk mayoritas muslim, Republik Islam Pakistan merupakan negara dengan hukum anti-penodaan terketat. Pakistan menggunakan KUHP-nya untuk melarang dan menghukum perbuatan penodaan agama. Pasal 295 KUHP Pakistan, misalnya, melarang merusak atau menodai rumah ibadat atau tempat-tempat yang disakralkan; Pasal 295-A melarang menyakiti perasaan beragama; Pasal 295-B menghukum orang yang menodai Al-Quran dengan hukuman seumur hidup; Pasal 295-C menghukum mati atau hukuman mati dengan denda, bagi ucapan yang menghina Nabi Muhammad; Pasal 298-B dan 298-C melarang penganut Ahmadiyyah mengaku diri Muslim atau mengajak kaum Muslim masuk Ahmadiyah.

Selandia Baru
Di Selandia Baru, dalam Pasal 123 UU Hukum Pidana tahun 1961 dimungkinkan untuk menghukum 1 tahun penjara kepada siapa saja yang mempublikasikan pencemaran atau penodaan agama. John Glover (penerbit The surat kabar Maoriland Worker), yang menerbitkan dua puisi karya Siegfried Sassoon, berjudul Stand-to: Good Friday Morning diadili pada tahun 1922 karena dinilai menodai agama Kristen, namun penuntutannya gagal. Pada tahun 1998 dan 2006 Kerajaan tidak menuntut ke pengadilan dua kasus penodaan agama. Sekarang penuntutan seperti itu tidak lagi menggunakan aturan penodaan agama, melainkan larangan menyatakan pidato kebencian yang diatur dalam UU HAM 1993.

Malaysia
Pasal 295-298A Hukum Pidana Malaysia memberikan ancaman hukuman penjara selama-lamanya tiga tahun atau denda sampai 1.000 Ringgit kepada siapa yang terlibat perbuatan penodaan agama. Biasanya penodaan itu ditujukan terhadap agama Islam, tetapi secara teoritik dapat juga ditujukan kepada agama lain.

AAN ANDRIANIH, S.H., M.H.
Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kesra di Badan Keahlian  DPR RI

BACA JUGA: