Oleh: A’an Efendi
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Jember

Saat mengajar, sering saya berkelakar kepada mahasiswa, kalau profesi paling berani dan nekat itu dosen. Bagaimana tidak, literatur yang ‘dijamah’ tidak pernah bertambah tapi selalu punya nyali untuk tampil menyodorkan materi kuliah di ruang kelas. Buku pegangannya selalu sama dari waktu ke waktu tanpa peduli kalau ilmu yang digelutinya terus bergerak dan berkembang sedemikian cepat. Mahasiswa silih berganti, jenjang pendidikan mereka pun telah naik lebih tinggi tapi engkau masih tetap seperti yang dulu. Sunyi dalam aktivitas menulis namun tak pernah kekurangan keberanian untuk mengajari mahasiswa menulis, baik itu membimbing skripsi, tesis, bahkan disertasi.

Kepada mahasiswa, guyonan pun saya teruskan. Bagaimana jika kalian belajar berenang sementara pengajarnya tidak pernah belajar dan bisa berenang? Jangan-jangan mati tenggelam di kolam renang. Apa yang terjadi? Mudah-mudahan mereka sekadar belum punya waktu senggang untuk membaca dan menulis, bukan miskin referensi, atau nol kemampuan menulis. Mudah-mudahkan kesibukan belaka yang menjadi penghalang bagi mereka. Dan, setelah itu semua berlalu akan segera menambah isi rak bukunya, lembar-lembar yang dilahapnya, serta yang pasti menuangkan pikiran dan gagasannya dalam tulisan.

Meminjam istilah klasik dalam hukum, patut diduga mungkin kondisi itu pula yang menjadi biang keladi mengapa banyak mahasiswa ‘berperilaku menyimpang’. Mereka tidak menyukai apa yang seharusnya dihobikan: berkawan dengan buku. Pulsa lebih penting dibeli daripada harus berbelanja buku-buku bacaan, lebih takut ditinggal pacar daripada ketinggalan wawasan. Telepon genggam baru nan canggih lebih bergengsi dibandingkan memiliki buku-buku teks perkuliahan. Kantin kampus pun lebih nikmat disinggahi daripada harus ke perpustakaan. Berbincang tanpa arah dan tujuan lebih mengasyikkan ketimbang harus membuka lembaran-lembaran penambah wawasan dan pengetahuan. Nampaknya masih jauh untuk berharap para mahasiswa bersemboyankan ‘nggak ada buku nggak asyik’ yang menggusur ‘nggak ada lu nggak asyik’. Akibatnya, buku-buku itu dibiarkan sendirian berteman debu dan kesunyian. Perpustakaan tak lebih cuma aksesoris pelengkap kampus. Adanya sama dengan tiadanya.

Perkembangan teknologi internet yang demikian luar biasa yang seharusnya itu menyajikan hidangan referensi untuk memudahkan kegiatan tulis menulis justru menjadi lahan kecurangan baru. Tugas-tugas kampus acapkali tak lebih hanya salinan berita atau karya milik orang lain. Itu perbuatan wagu, curang, dan melanggar hukum namun dilakukan tanpa rasa ragu dan malu. Tidak seratus persen salah dibebankan di pundak mereka tetapi karena tidak ada teladan yang dapat ditiru. Bapak-ibu akademis mereka baru mampu memberi contoh belum menjadi contoh. Baru mampu menyuguhkan saran dan sanggahan belum menyajikan bahan rujukan.

Sadar atau tidak, dosen yang enggan bersentuhan dengan kegiatan tulis-menulis telah membungkus rapat-rapat namanya sendiri. Mengurung kemegisterannya, kedoktorannya, bahkan keprofesorannya dalam dinginnya dinding ruang kelas. Kedosenan dan kepakarannya tak lebih selebar gedung fakultas. Namanya tak mampu membumbung tinggi terhalang ‘pagar’ universitas. Tanpa tulisan pula namanya akan cepat hilang dari peredaran dan segera terlupakan.

Tanya kepada mahasiswa hukum di seluruh Indonesia apa mengenal Aquinas, Hobbes, Locke, Montesquie, Bentham, Kelsen, Austin, Prof. Wirjono, Prof. Subekti, atau yang lainnya? Yang suka bergumul dengan buku pasti tahu. Ratusan dan puluhan tahun silam sudah jasad orang-orang besar itu terkubur dalam bumi tetapi namanya sampai kini masih terus diingat, disebut, dan diperbincangkan. Mengapa? Karena semuanya semasa hidup mengabadikan pikiran dan gagasannya dalam tulisan yang bahkan sampai kini karyanya masih menjadi sumber acuan proses belajar mengajar hukum. Orangnya boleh saja mati tapi karyanya akan terus hidup dan dipelajari.

Tunggu, jangan salah paham. Tidak bermaksud saya mengatakan kalau dosen yang menulis lebih pandai dari yang tidak menulis. Tidak sama sekali. Bisa jadi dosen yang tidak menulis itu jauh lebih smart dibandingkan mereka yang gemar menulis. Hanya saja dari mana orang akan tahu ia seorang pandai kalau tak pernah menyebarkan kepandaiannya lewat tulisan? Suara manusia itu sangat terbatas wilayah edarnya dan akan segera cepat lenyap serta hilang dari memori ingatan. Berbeda dengan tulisan yang dapat berselancar ke mana saja tanpa terhalang teritorial kampus bahkan negara kalau tulisan itu ‘dibukuelektronikkan’ atau ‘dijurnalonlinekan’. Tulisan itu juga abadi yang dapat dibuka kembali kapan saja untuk dinikmati para pembacanya.

Memulai menulis tidaklah sulit hanya butuh kesungguhan. Bukan untuk terus diangankan tapi perlu dilakukan. Tindakan nyata itu yang dibutuhkan. Pun, tidak ada kata terlambat untuk mengawali kebaikan. Bukankah dosen baru dapat naik pangkatnya kalau punya publikasi? Sesungguhnya itu menjadi pertanda kalau semua dosen memiliki kecakapan untuk menelorkan tulisan. Punya modal cuma diendapkan tak akan membuahkan keuntungan.

Agama pun telah berpesan kalau menulis itu sangat-sangat dianjurkan. Simak Rasululloh SAW yang mewanti-wanti kepada umatnya: ikatlah ilmu dengan tulisan. Ingat pula Imam Al Ghazali yang menyerukan: bila kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah. Maka tulislah yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti, demikian Ali bin Abi Thalib seorang cendekiawan pada masa Rasululloh SAW mengingatkan kita. Patut diperhatikan pula apa yang diucapkan penulis kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang berucap: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Tidak cukupkah itu semua membangkitkan gairahmu untuk menulis? Bersyukur dan bergembiralah anda yang mencintai dunia tulis menulis karena itu berarti anda telah berbuat yang bermanfaat bagi diri anda sendiri dan orang banyak.

Dosen dengan buku dan menulis itu sangat dekat. Jangan jadi penulis tiga kali seumur hidup hanya saat membuat, skripsi, tesis, dan disertasi. Bahkan harus hilang satu kalau tidak sempat mengenyam bangku perkuliahan doktoral. Jadikan karya-karya itu sebagai momentum untuk menghasilkan tulisan yang lebih banyak dan bagus lagi kualitasnya. Bukankah seharusnya tiap kali naik derajat gelar akademisnya akan meningkat pula mutu tulisan berikutnya.

Semua berpulang kepada yang bersangkutan apakah ingin menjadi butiran debu yang lekas hilang tersapu angin atau menjadi orang yang patut diingat dan dikenang karena meninggalkan kebaikan ilmu yang bermanfaat. Bukan pilihan yang sulit kan?

BACA JUGA: