Oleh: Saiful Anam 
Sekretaris Jenderal Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI), Kandidat Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia

Pada suatu hari saat bersantai di teras rumah, saya ditanya oleh seorang tetangga di depan rumah saya. Dia bertanya: "Pak apabila saya memohon suatu keputusan atas suatu hal kepada Pejabat Pemerintahan, akan tetapi sampai dengan 40 hari sejak dimohonkan belum ada respons oleh Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan, apa yang harus saya lakukan?"

Sepintas pertanyaan itu agak mudah untuk saya jawab, karena saya ingat betul dalam hukum administrasi dikenal dengan ajaran "Fiktif Negatif" yang berarti apabila Pejabat Pemerintahan diam atau tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan oleh subjek hukum, maka hal yang demikian sama halnya dengan Pejabat Pemerintahan tersebut dianggap telah menolak untuk mengeluarkan keputusan atau telah dianggap mengeluarkan keputusan penolakan atas pemohonan yang diajukan oleh pemohon. Hal yang demikian diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Terhadap Keputusan Fiktif Negatif tersebut, berdasar Yurisprudensi MA melalui Putusan No. 95/K/TUN/2000 tanggal putusan 11 Mei 2001, maka pemohon dapat dapat mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap keputusan penolakan (keputusan fiktif negatif) yang dilakukan oleh Tergugat adalah 90 hari dihitung setelah lewatnya batas waktu 4 bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan keberatan dari Penggugat.

Namun hal itu berbeda apabila kita memahami secara seksama melalui Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dimana juga mengatur secara tentang makna sikap diam pejabat Pemerintahan. Yang mana makna tersebut sangatlah jauh berseberangan dengan makna diam pejabat pemerintahan sebagaimana tertuang Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Makna Diam Pejabat Pemerintahan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengandung makna apabila subjek hukum melakukan permohonan, akan tetapi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menganut ajaran “Fiktif Positif”, yang berarti apabila Pejabat Pemerintahan diam atau tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan oleh subjek hukum, maka hal yang demikian sama halnya dengan Pejabat Pemerintahan tersebut dianggap telah menyetujui untuk mengeluarkan keputusan.

Terhadap Objek Fiktif Positif tersebut, menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan, juga dapat diajukan permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, dan pengadilan tata usaha negara wajib memutus atas permohonan tersebut paling lama 21 (dua puluh satu hari) sejak permohonan diajukan, serta pejabat pemerintahan wajib melaksanakan Putusan Pengadilan paling lama 5 (hari) sejak putusan pengadilan ditetapkan.

Perbedaan-perbedaan itulah tentu membuat bingung masyarakat. Apakah memang dalam penentuan diamnya pejabat pemerintahan menganut ajaran "Fiktif Negatif" sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ataukah menganut ajaran "Fiktif Positif" sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Hal ini menjadi sangat penting sekali, mengingat kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan merupakan bagian dari tujuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yakni salah satunya adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Dampak yang timbul atas disharmonisasi norma antara ajaran "Fiktif Negatif" sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan ajaran "Fiktif Positif" sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dalam upaya mendapatkan hak pelayanan dari dan oleh Pejabat Pemerintahan.

Secara ilmu perundang-undangan dapat saja menggunakan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Atau asas hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama.

Akan tetapi hal tersebut tidak cukup, mengingat dari kedua pengaturan makna diam pejabat Pemerintahan baik dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maupun Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan akan dijadikan dasar yang paling menguntungkan bagi pejabat pemerintahan untuk tidak melaksanakan kewajibannya untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau tindakan yang semestinya menjadi kewajibannya atas dasar disharmonisasi norma hukum yang terjadi atas Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Untuk itu diperlukan harmonisasi norma hukum dan konsistensi hukum dalam upaya pengaturan makna diam Pejabat Pemerintahan, sehingga kepastian hukum masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan yang baik oleh dan dari Pejabat Pemerintahan dapat tercapai secara optimal, sebagaimana tujuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Meskipun menurut hemat saya memang idealnya Indonesia mengarah dan menggunakan secara konsisten ajaran "Fiktif Positif" agar pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas, fungsi dan kedudukannya cenderung tidak sewenang-wenang dan dapat merespons dengan cepat permohonan yang dimohonkan oleh subjek hukum apakah dikabul atau sebaliknya ditolak.

Dengan demikian, diharapkan akan tercipta kepastian bagi pemohon pelayanan, yang pada akhirnya penyelenggaraan tujuan Pemerintahan yang baik (Good Governance) dapat tercapai dengan maksimal.

BACA JUGA: