Oleh: Taswa Witular (Kang Away)*

Secara tidak sengaja penulis masuk pada sebuah halaman online yang memberitakan kegiatan SBY tahun 2014 lalu. Menurut SBY, sebagaimana dirilis oleh media online tersebut, produksi pangan yang cukup merupakan sasaran utama dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Berita ini mengingatkan penulis pada realitas ketidakberdayaan petani saat ini. Apakah ini kesalahan kebijakan dimasa pasca reformasi, atau mungkin ini buah dari masa orde baru yang konon giat berswasembada pangan?

Gagal panen, puso, kekeringan, kelangkaan pupuk, dipersakit dengan impor beras berdalih program beras untuk kaum miskin. Kontradiktif dengan apa yang didengungkan oleh pemerintah sendiri, akan melarang impor beras dengan dasar ketersediaan masih memadai. Petani dipukul telak karena harga merosot sehingga pendapatannya menurun. Tidak saja pada beras, pemerintah pun bergairah untuk impor gula, susu, dan garam. Ya, garam!

Impor hanya satu contoh keberpihakan pemerintah terhadap sektor industri, bukan pada sektor pertanian. Di lain sisi, dengan alasan efisiensi rantai tata niaga, pemerintah menciptakan lembaga-lembaga pemasaran baru. Alhasil, hanya memporakporandakan kelembagaan pengelolaan pertanian. Berdasar referensi, penulis melihat sejak tahun ‘80an kebijakan pertanian cenderung distorsif.

Bulog dalam perkembangannya berubah menjadi lembaga yang sangat berorientasi pada keuntungan dan monopoli. Memberi keuntungan bukan pada masyarakat luas. Intervensi dalam mengontrol harga gabah berbuah pahit, petani sulit  meningkatkan pendapatannya. Bulog tidak terbuka, publik kesulitan mengontrol. Demikian halnya KUD, dalam kenyataannya anggota dan pengurus bersifat eksklusif serta tidak mewadahi. Harga pupuk di KUD bisa lebih mahal dari kios lain, belum lagi pembelian yang dilakukan KUD atas gabah dilakukan kepada tengkulak sementara itu persyaratan kredit yang sulit menambah deret catatan buruk KUD.

Orde Baru telah menciptakan pangan bukan sekedar komoditas ekonomi, namun pula sebagai komoditas politik. Munculnya program Revolusi hijau barangkali bisa menepis anggapan negatif. Benar bahwa Soeharto mengucurkan subsidi yang sangat besar untuk hal ini. Benar bahwa saat itu mampu berswasembada beras. Namun benarkah revolusi hijau member dampak yang signifikan atau setidaknya memberi perbaikan pada taraf hidup petani?

Kenyataan bahwa kini petani bergantung pada bibit tertentu, meninggalkan bibit lokal. Data menunjukan, varietas padi kita menurun. Bukan saja varietas padi, keragaman sumber pangan kita pun terkikis sebagai akibat angin revolusi hijau yang menjadikan padi sebagai satu-satunya sumber pangan. Berefek tidak baik tentunya dan sangat terasa ketika tiba-tiba Indonesia mengalami krisis ekonomi, di beberapa daerah nyaris terkena kelaparan padahal bila membuka referensi daerah tersebut dulunya penghasil sagu. Pestisida atau herbrisida pun turut memusnahkan organisme.

Petani kecil kehilangan tanah, petani kaya makin kaya. Revolusi hijau secara sistematis membunuh, akhirnya petani kecil menempatkan diri sebagai buruh tani yang tentunya bukan harapan mereka dalam mensejahterakan anak-istrinya. Barangkali catatan ini belum bisa merontokan kegagalan revolusi hijau dengan keberhasilannya berswasembada. Lantas bagaimana jika kita melihat hasil penelitian terkait ini? Bahwa swasembada beras diekori oleh meningkatnya petani miskin, adalah kesimpulan penelitian.

Pertanyaannya, siapa penikmatnya? Jawabannya adalah kaum industrialis. Jikapun ada kenaikan harga gabah, itu tidak sebanding dengan peningkatan produk industri seperti elektro. Secara perlahan masyarakat memasuki gerbang kapitalis yang mensyaratkan modal serta berorientasi produksi. Bentuk sosial masyarakat berubah, mereka yang awalnya hidup dengan sistem komunal, erat bergotongroyong, menjelma menjadi pemihak ekonomi rasional.

Dalam pada itu, investor berbondong-bondong akibat penjualan tenaga buruh yang murah. Terbacalah revolusi hijau hanya sebuah alat politik peredam perlawanan dari mereka yang menyadari efek negatif kebijakan pertanian (semula pertanian tradisional menjadi pertanian modern) dengan akibat hilangnya pekerjaan, hilangnya lapangan usaha dan rendahnya pendapatan.

Kebijakan pembangunan pertanian lainnya seperti Kredit Usaha Tani, simpan pinjam, menambah ketidakberdayaan petani asli. Mereka terkalahkan petani kaya karena akses terbatas. Kebijakan inipun jika dipelajari lebih jauh ternyata mengajari petani menjadi manajer, bukan sebagai petani. Mereka kenyataanya hanya terampil saat menanam padi, tidak mampu mengembangkan diri menjadi penanam tanaman bernilai ekonomi lainnya. Dimana sisi pembangunan pertaniannya? Petani asli justru semakin termarjinalkan.

Memasuki era baru setelah orde baru tumbang, petani semakin tercekik dengan kehadiran IMF. Sektor manufaktur dan modern menjadi pilihan untuk mesin pokok pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertanian hanya mendapat prioritas kedua, anggarannya pun kian menurun. Indonesia menjadi Negara yang sangat ramah impor, menjadi Negara berkembang yang sangat liberal.

Pemerintah memandulkan diri dengan membiarkan IMF mendikte kebijakan (khususnya pertanian). Impor melambung sampai-sampai petani pun dihadiahi pacul luar negeri, sebaliknya dengan ekspor komoditas pertanian. Penulis khawatir, kebijakan ini suatu hari akan menyingkirkan produk pangan asli Indonesia. Bagaimana tidak, keragaman sumber daya bahan, kelembagaan, budaya pangan lokal tampak terabaikan.

Penghapusan subsidi pupuk dan pestisida membuat petani miskin sulit membeli. Sisi lain modernisasi dan kapitalisasi membawa berkah menyempitnya lahan pertanian yang beralih fungsi. Kepemilikan lahan menjadi terkonsentrasi. Atas nama kepentingan bersama, pemerintah ganas melakukan pengadaan tanah dalam skala besar.

Kewenangan membuat undang-undang memang bukan pada petani, meski mereka jumlahnya besar. Menyuarakan aspirasinya pun mereka tidak berdaya, kecuali ada yang peduli. Mereka hanya mampu sebatas melawan secara amatir. Perpres No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksana Pembangunan Bagi Kepentingan Umum, membuktikan keberpihakan pemerintah bukan pada rakyat kecil.

Nasi sudah menjadi bubur, tak enak jikapun disulap kembali nasi. Maka sudah saatnya kita berperan aktif dalam meramu bubur agar tidak beracun dan enak dihidangkan. Otonomi daerah menjadi angin segar sekaligus bisa menjadikan rakyatnya semakin menderita. Salah satu upaya yang bisa ditempuh pemerintah daerah dalam menunjukan keberpihakannya kepada rakyat kecil saat ini, dengan realitas seperti ini, adalah memperkuat nilai tawar daerah dihadapan pemerintah pusat sehingga tekanan kebijakan pemerintah pusat mampu berbanding lurus dengan kompensasi yang didapat.

Sebagai contoh, jika lahan pertanian tidak bisa dipertahankan maka Subang sebagai daerah penghasil beras nasional harus menciptakan dialog seputar timbal balik. Subang boleh kehilangan padi 5 ton pertahun tapi sumber dana yang terkucur pasca itu sebandingkah?

*) Penulis adalah pemerhati sosial politik, dikenal sebagai konsultan politik

BACA JUGA: