Oleh: Said Abdullah

Dua minggu terakhir kenaikan harga beras terjadi di berbagai daerah terutama di Pulau Jawa. Walaupun pemerintah telah menegaskan bahwa stok cadangan pangan pemerintah cukup namun tetap saja belum mampu meredam hal tersebut. Pun demikian dengan operasi pasar yang dilakukan juga belum menunjukkan hasilnya. Beras langka dipasaran sehingga harga melonjak naik cukup signifikan.  

Fenomena kenaikan harga sebenarnya bukanlah hal yang aneh. Hukum pasar sederhana menyatakan bahwa suplai yang cukup akan mampu menjaga harga pada titik kesetimbangan. Demikian sebaliknya, suplai yang terbatas sementara permintaannya meningkat maka harga pasti naik. Pertanyaannya apakah situasi ini menjadi wajar ketika neraca produksi dalam trend positif?

Data BPS menunjukkan sejak tahun 2012 produksi padi nasional relatif tumbuh. Jika pada tahun 2012 produksi padi nasional mencapai 69.056.126 ton, maka pada tahun 2013 naik menjadi 70.866.571 ton. Walaupun tahun 2014 produksi berkurang sedikit namun masih tetap seperti tahun sebelumnya, yaitu 70.607.231 ton.

Dengan produksi yang meningkat, cadangan pangan pemerintah yang dikelola Bulog juga relatif baik. Hingga Februari 2015 cadangan pangan bulog mencapai 1,4 juta ton. Memang tidak cukup ideal, namun stok itu dipandang cukup hingga masa panen raya tiba, yaitu Maret-April.

Lalu apa yang menyebabkan terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga beras? Menarik untuk melihat dari sisi distribusi. Jika dari sisi stok cukup maka asumsinya terjadi masalah pada distribusi. Dengan demikian dapat diduga kuat terjadi penghambatan-pengacauan proses distribusi oleh penguasa jalur distribusi dipasar dalam hal ini pelaku pasar terutama spekulan atau pedagang besar.

Pelaku pasar ini sangat mungkin melakukan hal ini mengingat kemampuan permodalan, sarana penyimpanan dan distribusi yang cukup memadai. Pelaku pasar ini kemudian dikenal dengan sebutan mafia beras. Lantas untuk apa para penguasa pasar beras ini melakukan hal tersebut?

Berkaca pada pengalaman panjang persoalan beras selama ini, dapat dipastikan yang diburu lebih dari sekadar mendapatkan kenaikan harga yang saat ini terjadi. Tujuan akhir dari situasi ini bisa jadi pada kepentingan ekonomi yang lebih besar dan atau kepentingan politis. Untuk hal yang terakhir kita menjadi mafhum mengingat beras merupakan komoditas politis bagi bangsa ini.

Guncangan sedikit saja pada beras, maka situasi politik akan terganggu. Asumsi ini bisa benar jika melihat pemerintahan yang seumur jagung. bisa jadi ini menjadi senjata yang dipakai untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintahan saat ini.

Di luar soal politis, kepentingan ekonomi besar juga sangat kuat sebagai tujuan akhir dari kenaikan harga ini. Impor merupakan target akhir dari para mafia ini. Maklum saja keuntungan dari impor jauh lebih gurih dibandingkan kenaikan keuntungan keinaikan harga yang terjadi saat ini. Jika diasumsikan keuntungan yang didapat dari impor beras Rp500 saja per kg, dengan volume impor yang sangat besar, keuntungan segunung pasti didapat.

Apalagi saat ini disparitas harga beras dunia dan Indonesia yang cukup lebar. Dengan selisih 2-4 ribu rupiah per kilogram maka nilai keuntungan yang didapat sangat menggiurkan. Dari hitungan sementara sekurangnya dibutuhkan 300-500 ribu ton untuk menutup kelangkaan beras saat ini. Jika keuntungan Rp500 per kilogram, maka tak kurang Rp150-250 miliar rupiah keuntungan bakal didapat.

Menciptakan kelangkaan suplai yang diikuti kenaikan harga merupakan pola yang umum dipakai para spekulan untuk memunculkan kebijakan impor. Dengan harga yang tinggi akan memaksa pemerintah mengambil kebijakan membuka keran impor jika tak ingin stabilitasnya terganggu. Selain mempermainkan suplai yang menyebabkan kenaikan harga, modus lain yang dilakukan adalah menciptakan kesenjangan atau gap antara permintaan dan ketersediaan, memainkan mekansime pengaturan kuota ekspor dan pembebasan bea masuk. Dengan modus seperti itu, menjadi wajar jika kemudian tudingan situasi kekinian muncul karena ulah para mafia beras.   

Kisruh harga beras saat ini tak hanya menunjukkan fakta keberadaan dan kuatnya peran spekulan, mafia beras, namun juga kelemahan pemerintah. Pemerintah seharusnya memiliki peran yang cukup kuat untuk mengelola pangan masyarakat. Dalam kasus ini setidaknya ada tiga kelemahan pemerintah.

Pertama, ketidakmampuan bereaksi cepat menstabilkan harga. Kenaikan harga beras tidak berlangsung dalam waktu cepat dan tiba-tiba. Dalam pengamatan setidaknya lebih dari dua minggu situasi ini muncul. Namun reaksi yang ditunjukan pemerintah cenderung lambat. Ketika situasi sudah sulit dikendalikan, barulah ada inisiatif dalam bentuk operasi pasar.

Padahal, Undang-Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 Pasal 13 dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.

Kedua, ketidakmampuan menjaga stok. Jika benar bahwa stok cadangan beras cukup harusnya kelangkaan tidak perlu terjadi. Situasi ini lalu menimbulkan pertanyaan apakah benar data yang disampaikan soal cadangan pangan yang cukup. UU Pangan menyebutkan, cadangan pangan berupa cadangan pangan pemerintah, daerah dan masyarakat. Jika mengurus cadangan pangan pemerintah saja sulit dilakukan, lalu bagaimana dengan pengelolaan cadangan masyarakat.

Dan yang ketiga, ketidakmampuan mengontrol pasar dalam hal ini jalur distribusi perdagangan beras. Pemerintah seyogyanya menjadi regulator atas distribusi beras. Dengan kekuasaannya, pemerintah dapat dan wajib membuat proses distribusi beras merata dan seluruh masyarakat memiliki akses yang cukup. Pasal 51, UU Pangan menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan. Dengan pengaturan perdagangan pangan ini maka setiap orang dapat terpenuhi hak nya untuk mendapatkan akses pangan sepanjang waktu.

Diluar itu semua, persoalan mendasar lahirnya kisruh ini adalah pada aspek kelembagaan. UU Pangan Pasal 126 menyatakan bahwa  dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kelembagaan pangan setingkat  badan ini mutlak segera dibentuk dan dijalankan untuk mengatur persoalan pangan.

Kelembagaan pangan yang ada saat ini semisal Bulog, Dewan Ketahanan Pangan, atau Badan Ketahanan Pangan dinilai tidak cukup kuat untuk mengatur dan menjalankan pembangunan pangan. Dewan dan Badan Ketahanan Pangan tidak memiliki kemampuan untuk mengkoordinasi dan “memaksa” para pihak untuk melakukan bergerak bersama membangun pangan yang kuat.

Sementara Bulog, tak memiliki kekuatan politis karena hanya sebagai operator. Dengan karakter seperti itu, maka menjadi wajar ketika terjadi kisruh seperti ini tak bisa segera teratasi dan terbangunnya sistem pangan yang kuat. Oleh karenanya kedepan pemerintah perlu segera melaksakanakan amanat undang-undang tersebut sehingga perilaku culas para mafia seperti saat ini dapat dihindari.

*) Penulis adalah Manajer Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) 

BACA JUGA: