Inti iman ialah menaruh kepercayaan pada Allah dan berbuat baik (amal) terhadap sesama. Menaruh kepercayaan berarti merelakan diri kepada Allah serta bersikap rela menerima semua ketentuan-ketentuan-Nya (radliyatan mardliyyah). Sikap seperti ini bersenyawa dengan pengertian Islam, yakni sikap pasrah kepada Allah. Kata "islam" merupakan mashdar atau kata kerja berbentuk benda yang menunjukkan aktivitas, sehingga menjadi Islam berarti memasrahkan diri kepada Allah.

Salah satu wujud kepatuhan atau kerelaan kita pada ketentuan Allah adalah berbuat baik terhadap sesama. Berbuat baik merupakan perintah Tuhan yang disampaikan kepada manusia secara tersurat maupun tersirat. Perintah tersurat terakumulasi dalam pesan-pesan (risalah) yang dibawa oleh Nabi berupa kitab suci. Pesan-pesan itu menjadi panduan moral dalam melakukan hubungan horizontal antar sesama manusia. Sementara, perintah tersirat dapat diketahui secara intuitif melalui dorongan hati nurani di dasar eksistensial kedirian kita.

Dalam al-Qur’an, kata iman seringkali disandingkan dengan amal shalih sebagai sesuatu yang saling bertalian. Misalnya ayat, "Demi waktu! Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan, dan saling menasehati untuk kebenaran, dan saling menasehati untuk kesabaran dan ketabahan," (QS. 103: 1-3). Atau ayat, "Dan orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai dan mereka kekal selamanya..." (QS. 4: 122).

Kriteria amal saleh dalam kitab suci dijelaskan menggunakan narasi yang berbeda-beda. Kadang berbentuk larangan, anjuran, ganjaran, metafor, perumpamaan, dan lain-lain. Namun pada prinsipnya, amal saleh adalah amal yang tidak bertentangan dengan hati nurani. Rasulullah SAW. bersabda, "Kebaikan ialah sesuatu yang membuat kamu tenteram dalam hati, sedangkan dosa ialah sesuatu yang terbetik dalam hatimu dan kamu gelisah, meskipun orang banyak mendukungmu".

Perbuatan seperti menolong orang yang sedang kena musibah, membantu saudara yang sedang kesulitan, saling menasehati dan mengingatkan untuk kebaikan merupakan sederet perbuatan yang tidak bertentangan dengan hati nurani. Segera setelah melakukannya, kita akan mendapat ketenteraman. Namun sebaliknya, perbuatan membunuh, mencuri, mencelakai, mengambil hak orang lain, dan sejenisnya akan membuat hati kita gelisah karena dihantui rasa takut dan bersalah.

Oleh karena itu, berbuat baik dalam kehidupan sosial sangat ditekankan. Al-Qur´an memberi jaminan berupa reward dan punishment. Jaminan itu dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas setiap tindakan. Bahkan bentuk pertanggungjawabannya tidak hanya sebatas di dunia—melalui sanksi-sanksi hukum—melainkan juga di akhirat di mana Tuhan bertindak sebagai Hakim Yang Maha Adil.

Orang yang benar-benar beriman dan bertakwa pada Allah pasti enggan melakukan kejahatan. Di samping bertolak belakang dengan suara hati, ia juga takut murka dan adzab Allah menimpanya. Ia percaya bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, sedang kehidupan akhirat kekal adanya. Dunia hanya tempat persinggahan sesaat. Fase kehidupan sesungguhnya justru di akhirat kelak.

Secara lahir, indikasi orang beriman dapat dilihat dari perilaku hidup sehari-hari. Meski iman termasuk perkara batin dan bersifat personal, perilaku dapat menjadi cerminan tingkat keimanan seseorang. Perilaku orang beriman tidak bertentangan dengan suara hati serta nilai-nilai yang diyakini. Apa yang dilakukan sejurus dengan apa yang diyakini sebagai baik dan benar.

Pertama, punya kepedulian sosial. Orang beriman selalu tergerak hatinya saat melihat penderitaan orang lain. Tak peduli teman dekat atau jauh, saudara satu agama, ras, suku, etnis atau bukan, kedua tangannya terbuka memberi pertolongan. Kepeduliannya terus mengalir sesuai kemampuan, baik di kala sempit maupun lapang. Bahkan ketika tak ada lagi cara yang dapat dilakukan, kepedulian tetap ia tunjukkan dengan keprihatinan cukup mendalam.

Ada kisah menarik dari seorang sufi, Syeiks Sariy Syaqathy (wafat tahun 253 H/967 M), yang menyesal akibat perkataannya yang tidak memedulikan penderitaan orang lain. Ia berkata:  "Tiga puluh tahun aku beristighfar memohon ampun kepada Allah atas ucapan al-hamdulillah sekali". "Lho, bagaimana itu?," tanya seseorang yang mendengarnya. Syeikh menjawab: "Begini, terjadi kebakaran di Baghdad, lalu ada orang yang datang menemuiku dan mengabarkan bahwa tokoku selamat, tidak ikut terbakar. Mendengar kabar itu, secara spontan aku mengucap al-hamdulillah. Ucapan itulah yang kusesali selama 30 tahun. Dengan ucapan itu, aku merasa hanya mementingkan diri sendiri dan melupakan orang lain yang tokonya terbakar," katanya.

Syeikh Sariy menyesali ucapan syukur “al-hamdulillah” selama 30 tahun. Ucapan itu menunjukkan bahwa perhatiannya pada diri sendiri masih sangat tebal. Begitu tebalnya hingga menindih kepekaan perhatiannya pada sesama. Ia kemudian sadar alangkah degilnya orang yang mensyukuri keselamatan harta benda pada saat keselamatan sesama ludes terbakar. Alangkah teganya orang yang sanggup menyatakan kegembiraan di saat musibah menimpa sebagian besar saudara-sudaranya.

Jika kita bandingkan dengan melihat keadaan sekitar, maraknya bencana sosial belum sepenuhnya mengundang kepedulian. Seringkali bencana dijadikan ajang menyalahkan orang lain. Bencana tidak lagi dilihat sebagai musibah kemanusiaan, melainkan sebagai kesempatan melemparkan tuduhan-tuduhan miring, membuat lelucon sindiran, memojokkan pihak terkait, dan sebagainya. Lebih parah lagi, orang yang berjibaku memberi bantuan justru dituduh sebagai pencitraan dan mencari popularitas. Sungguh miris.

Padahal, semestinya bencana menjadi ajang untuk berlomba-lomba melakukan kebaikan. Tak perlu saling menyalahkan apalagi mencari motif di balik kebaikan seseorang. Tugas kita bukan mengadili setiap kebaikan tetapi bagaimana mempererat solidaritas sosial. Dan, sesungguhnya bencana paling besar adalah ketika kita menbenci kebaikan orang di saat kita sendiri tidak mampu mendatangkannya.

Kedua, saling mengingatkan. Orang beriman menyadari bahwa tidak ada manusia sempurna. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan bukan untuk disombongkan apalagi ditujukan untuk menghina kekurangan orang lain. Demikian pula kekurangan tidak lantas menjadikannya inferior sehingga menggadaikan harkat dan martabat diri.

Konsekuensi kesadaran tersebut membuat kita terbuka atas pelbagai koreksi dan masukan. Kita juga akan selalu siap mempertanggugngjawabkan semua tindakan. Sebab, tidak mungkin kita menjadi pribadi bertanggungjawab jika mengklaim diri paling benar atau paling sempurna. Sikap semacam ini hanya menjerumuskan kita ke dalam totalitarianisme, yakni jurang di mana kita buta terhadap kearifan serta tidak menghargai harkat dan martabat orang lain.

Koreksi dan masukan sebagai mekanisme saling mengingatkan (tawashaw bi al-haqq) sangat berguna agar kita jadi pribadi yang tidak egois. Kemampuan yang kita miliki bisa ditingkatkan sementara kekurangan dapat kita sempurnakan. Koreksi memberi peluang pada kita untuk senantiasa memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Dan, jika mekanisme ini dikembangkan dalam hidup bermasyarakat, maka tatanan sosial yang terbentuk akan dipenuhi keramahan, keterbukaan, keberkahan, ketenteraman serta selamat dari kecenderungan tiranik (tughyan/thaghut)

H.Veri Muhlis Arifuzzaman
Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam

BACA JUGA: