Oleh: Ubaidillah *)

Pada Rabu, 11 Mei 2016, jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan penyegelan pulau buatan hasil reklamasi, yaitu Pulau C, D dan G. Penyegelan merupakan wujud pemberlakuan sanksi administratif berupa penghentian sementara aktivitas pembangunan.

Penghentian sementara yang dimaksud adalah untuk memberikan kesempatan selama 120 hari kepada pengembang untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya, dimana untuk Pulau C dan D dengan SK.354/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 Tentang Pengenaan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Berupa Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan. Sedangkan Pulau G dengan SK.355/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Berupa Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan, serta SK.356/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 tentang Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan Pulau 2b (C), Pulau 2a (d) dan Pulau G serta Pembatalan Rencana Reklamasi Pulau 1 (E) di Pantai Utara Jakarta.

Penyegelan pulau buatan hasil reklamasi oleh Menteri LHK melalui surat keputusan Menteri LHK dipimpin langsung oleh Direktur Jenderal Bidang Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, dan Direktur Jenderal Planologi Tata Ruang KLHK San Afri Awang.

Dalam keterangan resminya, KLHK menyampaikan bahwa latar belakang dikeluarkannya tiga surat keputusan Menteri LHK ini adalah karena persoalan reklamasi pantai utara Jakarta memerlukan penanganan yang khusus dari KLHK karena telah menjadi masalah serius, dimana telah dilakukan pemeriksaan dokumen Amdal dan pemeriksaan lapangan, serta telah terjadi pelanggaran izin. Ada sebelas poin yang harus dipenuhi pengembang jika ingin melanjutkan kegiatan reklamasi di tiga pulau ini.

Kewajiban sebelas poin yang harus dipenuhi pengembang yang diminta oleh KLHK seharusnya disampaikan dengan jelas ke publik agar masyarakat juga dapat turut berpartisipasi dalam upaya pengawasan. Selain sebelas poin yang harus dijelaskan, KLHK juga harus menyampaikan ke publik terkait peraturan undang-undang apa yang telah dilanggar oleh pengembang reklamasi, sehingga masyarakat juga akan paham dan tidak terbawa opini yang berkembang yang berpotensi menyesatkan.

DASAR HUKUM PENYEGELAN - Penyegelan pulau reklamasi yang dilakukan KLHK mengundang tanda tanya besar, terkait dasar hukum dan wewenang KLHK melakukan tindakan tersebut dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri. Sebab selama ini Pemprov DKI Jakarta bersikukuh bahwa kebijakan reklamasi dan pemberian izin sepenuhnya menjadi wewenang Pemprov DKI Jakarta dan memastikan untuk reklamasi pantai Jakarta telah didelegasikan kepada Gubernur DKI Jakarta.

Jika reklamasi memang terbukti terdapat pelanggaran sebagaimana yang dituduhkan maka yang menindak melakukan upaya hukum penyegelan adalah yang memberikan izin dan memiliki wewenang yakni Pemprov DKI Jakarta. Dalam hal ini KLHK telah melakukan kebijakan yang memicu kontroversi yakni menyegel pulau reklamasi dengan tanpa dasar hukum, padahal sebagaimana pada umumnya, surat segel disertakan pula dasar hukum peraturan perundang-undangan apa yang diberlakukan. Surat keputusan pemberlakuan segel oleh KLHK ini bisa menambah polemik baru dan berpotensi mendapat gugatan dari pengembang.

Apa yang dilakukan KLHK menjadi terkesan blunder, dimana reklamasi menurut Pemprov DKI Jakarta adalah menjadi urusan dan wewenang Pemprov DKI Jakarta, namun kemudian serta merta KLHK menyegel pulau reklamasi tanpa dasar hukum. Terlebih lagi Pemprov DKI Jakarta belakangan juga sepaham dengan pemerintah pusat bahwa reklamasi telah melanggar aturan. Jika Pemprov DKI Jakarta telah sepaham dan berkeyakinan bahwa reklamasi telah melanggar, mestinya Pemprov DKI Jakarta yang memberikan sanksi terhadap pengembang reklamasi yang melanggar.

Di sisi lain, jika KLHK berkeyakinan bahwa reklamasi adalah merupakan hal yang menjadi wewenang pusat (KLHK) sehingga berkepentingan untuk memberi sanksi terhadap pengembang reklamasi yang melanggar, semestinya sejak awal sebelum polemik skandal reklamasi berkepanjangan KLHK mengambil alih seluruh kebijakan reklamasi di pesisir dan teluk Jakarta untuk dikaji secara menyeluruh bekerjasama dengan kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hasil kajian menyeluruh memungkinkan untuk mendesain ulang dengan mengedepankan apa urgensi reklamasi pulau di teluk Jakarta dan mempertimbangkan seluruh aspek potensi terdampak besar. Jika hasil kajian menyeluruh tidak menjawab persoalan maka pemerintah pusat mesti tegas untuk menghentikan reklamasi secara permanen bukan sementara.

PENGGUGAT INTERVENSI - Proyek reklamasi pantai Jakarta dalam sejarahnya, pada tahun 2003 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menerbitkan surat Keputusan Menteri Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta (KepmenLH.14/2003). Dengan kata lain izin kajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang diterbitkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menjawab semua persoalan lingkungan alias tidak layak Amdal, dan ditegaskan pula bahwa proyek tersebut merupakan wilayah strategis nasional dan menyangkut tiga Provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten), karenanya KLH berkeyakinan bahwa reklamasi teluk Jakarta menjadi wewenang Pemerintah Pusat (KLH).

Atas KepmenLH.14/2003 tersebut para swasta pengembang reklamasi dengan didukung oleh Pemprov DKI Jakarta kemudian menggugat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara.75/G.TUN/ 2003/PTUN-JKT. Dalam putusan persidangan PTUN tingkat pertama dan kedua dimenangkan oleh pihak pengembang reklamasi.

Atas putusan PTUN yang memenangkan pengembang reklamasi, KLH bersama tergugat intervensi (Walhi cs) melakukan upaya perlawanan hukum dan mengajukan banding, dan dalam proses banding pada tingkat kasasi akhirnya Mahkamah Agung (MA) memenangkan KLH. Dalam putusannya MA menilai bahwa reklamasi dan revitalisasi pantai utara Jakarta tidak layak atau ilegal.

Namun pada tahun 2011 upaya hukum permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh pengembang reklamasi pada akhirnya mengubah keberpihakan MA dengan mengabulkan permohonan PK melalui Putusan Peninjauan Kembali No.12 PK/TUN/2011 tentang Ketidaklayakan KepmenLH.14/2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta.

Sejarah perjalanan proyek reklamasi teluk Jakarta tersebut harus mendapat perhatian dan pembelajaran oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini. Selain persoalan-persoalan lingkungan yang telah berdampak besar, KLHK juga mesti menyoroti reklamasi yang sedang digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Jakarta.

Sebagaimana diketahui skandal reklamasi yang kini menjadi polemik kembali berawal dari izin reklamasi yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok telah memberikan izin pelaksanaan reklamasi kepada pengembang Pulau G, F, I dan K. Izin tersebut adalah; SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238/2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo, SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci, dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.

SK.Gub Pulau F, I dan K dikeluarkan saat gugatan terhadap SK.Gub Pulau G masih berlangsung, dimana SK.Gub untuk Pulau F dan I diterbitkan pada 22 Oktober 2015, dan SK.Gub untuk Pulau K dikeluarkan pada 17 November 2015. Ahok tetap menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi untuk Pulau F, I dan K di saat proses gugatan masyarakat terhadap izin reklamasi Pulau G masih berjalan di PTUN Jakarta.

Melihat sejarah perjalanan proyek reklamasi sebelumnya dan perkembangan skandal reklamasi saat ini, hendaknya pemerintah pusat dalam hal ini KLHK turut melakukan intervensi hukum dengan memposisikan sebagai penggugat intervensi terhadap gugatan yang dilakukan oleh Koalisi Selamatkan Jakarta. Upaya hukum KLHK sebagai penggugat intervensi akan memperjelas dan mempertegas keberpihakan KLHK terhadap lingkungan dan masyarakat terdampak, selain sejarah kesamaan visi Koalisi Selamatkan Jakarta yang pernah menjadi tergugat intervensi sebagai bentuk dukungan kepada KLH yang saat tahun 2003 digugat pengembang reklamasi.

PENYEGELAN OLEH KPK - Skandal reklamasi yang ramai belakangan ini dan berbuntut pada kejahatan korupsi telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Skandal reklamasi berawal dari ambisi PT. Agung Podomoro Land (APLN) yang ingin mempercepat pembuatan Pulau G namun melalui cara yang cenderung arogan dengan mengabaikan aturan atau prosedur yang brlaku.

Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2013 APLN telah memasarkan dan menjual properti ilegal konsep Pluit City di Pulau G hasil reklamasi. Pemasaran dan penjualan properti Pluit City dikatakan ilegal karena melanggar Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2008 tentang Properti (Pergub.88/2008). Pemasaran dan penjualan properti ilegal Pluit City yang terus berlanjut hingga kini adalah merupakan bentuk pembangkangan dan arogansi APLN kepada Negara dan sangat berpotensi merugikan masyarakat dan lingkungan.

Seiring masifnya pemasaran, pada 6 Oktober 2014, PT Muara Wisesa Samudra (MWS) yang merupakan anak perusahaan APLN diketahui mengajukan permohonan izin pelaksanaan pembuatan fisik Pulau G (Pluit City) kepada Gubernur DKI Jakarta. Sayangnya hanya selang dua bulan serta merta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengabulkan permohonan izin MWS tersebut dengan menerbitkan Keputusan Gubernur atau SK.Gub.2238/2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra (MWS) dengan mengabaikan aturan dan prosedur yang berlaku.

Parahnya lagi ternyata pada tahun 2015 Ahok terus mengobral izin pelaksanaan reklamasi pulau lainya (Pulau F, I, K). Izin tersebut yakni, SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo, SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I kepada PT Jaladri Kartika Pakci, dan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.

Perlu diketahui SK.Gub Pulau F, I dan K dikeluarkan saat gugatan masyarakat terhadap SK.Gub Pulau G masih berlangsung. Ini membuktikan bahwa Gubernur Ahok mengabaikan proses hukum yang sedang digugat masyarakat.

Skandal kejahatan korupsi reklamasi diyakini tidak hanya melibatkan unsur DPRD (legislatif) dan swasta pengembang reklamasi yang sudah ditangani oleh KPK, tetapi juga melibatkan Pemprov DKI Jakarta (eksekutif) sebagai eksekutor, pemilik kewenangan dan kebijakan, apalagi kontroversi izin pelaksanaan reklamasi yang menerbitkan adalah Gubernur.

Skandal korupsi reklamasi yang ditangani oleh KPK dalam perkembangannya adalah merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karenanya sudah sepatutnya seluruh permasalahan kasus reklamasi yang menangani adalah KPK, termasuk yang memberlakukan penyegelan pulau reklamasi semestinya adalah KPK, sebab penyegelan pulau reklamasi merupakan bagian rentetan dari kasus korupsi yang sedang ditangani oleh KPK.

Adapun keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap skandal reklamasi dapat memposisikan diri sebagai pendukung KPK dalam menuntaskan dan menyelesaikan kasus reklamasi yang ditangani.

Dukungan KLHK dan KKP dapat berupa suplai data dan menyerahkan hasil analisis dan kajian masing-masing kementerian termasuk sebagai ahli atau pakar jika dibutuhkan dalam persidangan. Hasil analisis dan kajian oleh KLHK dan KKP itulah nantinya akan diolah oleh KPK sebagai dasar tuntutan untuk menuntaskan dan menyelesaikan secara hukum skandal reklamasi yang ditanganinya.

*) Penulis adalah pengamat lingkungan perkotaan

BACA JUGA: