JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya untuk tidak lagi menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah di Papua. Untuk itu, Jokowi mengatakan mendukung penuh pendekatan adat.

Untuk memperkuat komitmennya itu, Presiden Joko Widodo menegaskan akan menghadiri
Musyawarah Lembaga Masyarakat Adat, Papua, yang akan digelar di Jayapura. Musyarawarah besar antar pemuka-pemuka adat Papua itu akan digelar akhir November ini.

"Dengan pendekatan tersebut pemerintah telah membuka ruang dialog bagi semua komponen masyarakat Papua, termasuk bagi Kelompok Sipil Bersenjata atau Organisasi Papua Merdeka (OPM)," kata Staf Khusus Presiden Lenis Kagoya di ruang kerjanya, Jumat (20/11), seperti dikutip setkab.go.id.

Lenis menilai, pendekatan adat yang melibatkan semua pihak itu, merupakan jalan terbaik untuk perdamaian di Papua. "Melalui pendekatan adat tersebut, berbagai persoalan pembangunan seperti masalah tanah hak ulayat, kegiatan ekonomi serta percepatan pembangunan lebih menyentuh kebutuhan masyarakat," tegasnya.

Langkah Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan masalah-masalah di Papua memang sedang mendapatkan perhatian khusus dari banyak pihak. Amnesty International--lembaga yang mengawasi pelaksanaan Hak Asasi Manusia di dunia-- menilai, Jokowi tengah mengembangkan pendekatan baru terhadap Papua.

Direktur Kampanye untuk Asia Tenggara Amnesty International Josef Roy Benedict mengatakan, Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang terlihat menunjukan tanda akan menjauhi kebijakan represif dari pemerintahan sebelumnya. Hal itu mulai terlihat dari kunjungan Jokowi ke Papua dan Papua Barat pada Mei lalu.

Dalam kesempatan itu, Jokowi memberikan amnesti dan membebaskan lima aktivis politik Papua yang dipenjara lewat peradilan yang fair. Jokowi juga membuat janji akan memberikan grasi atau amnesti bagi para aktivis politik lainnya yang dipenjara di berbagai tempat di Indonesia.

"Presiden juga mengumumkan bahwa pihak berwenang telah mencabut larangan bagi jurnalis asing untuk masuk ke Papua, bepergian secara bebas dan membuat laporan tentang kawasan tersebut," kata Josef dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (20/11).

Untuk pembebasan tahanan, Jokowi sudah membebaskan Apotnalogolik Lokobal (20 tahun penjara), Numbungga Telenggen (penjara seumur hidup), Kimanus Wenda (19 tahun penjara), Linus Hiluka (19 tahun penjara) dan Jefrai Murib (penjara seumur hidup). Para tahanan itu dihukum karena didakwa terlibat dalam pembobolan gudang senjata Kodim 1710/Wamena pada 2003.

Ini adalah upaya sepenuh hati pemerintah dalam rangka untuk menghentikan stigma konflik yang ada di Papua. Kita ingin menciptakan Papua sebagai negeri yang damai," ujar Presiden Jokowi ketika itu.

Kemudian, yang diberikan grasi oleh Presiden adalah Filep Karma. Dia adalah satu di antara sekitar 200 orang yang ikut ambil bagian dalam sebuah upacara secara damai di Abepura, provinsi Papua pada 1 Desember 2004.

Dalam peringatan deklarasi kemerdekaan Papua, bendera Bintang Kejora-- sebuah simbol yang dilarang akan kemerdekaan Papua-- dikibarkan. Polisi kemudian bergerak ke kerumunan massa, memukul orang-orang dengan tongkat.

Salah satu yang ditahan adalah Filep Karma yang kemudian didakwa dengan kejahatan "makar" di bawah Pasal 106 and 110 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ia kemudian divonis bersalah pada 26 Mei 2005 dan dihukum 15 tahun penjara.

Para tahanan politik ini memang kebanyakan dijerat dengan Pasal 106 KUHP yakni tindakan melawan atau menggulingkan pemerintahan yang sah atau lebih dikenal dengan istilah makar. Selain itu ada juga Pasal 160 KUHP tentang penindakan penghasutan, yang sering digunakan untuk menuntut segala bentuk perbedaan pendapat.

BELUM BEBAS SEPENUHNYA - Filep Karma sendiri akhirnya dibebaskan Kamis, (19/11) kemarin. Atas pembebasan itu pria bernama lengkap Filep Jacob Semuel Karma--lahir pada 15 Agustus 1959 di Biak-- lewat akun Facebook miliknya, mengucapkan rasa terima kasihnya kepada rakyat Papua. "Terima kasih buat Papua Itu Kita dalam solidaritas selama ini," kata Filep.

Filep juga berterimakasih kepada beberapa lembaga pejuang HAM seperti Amnesty International, Freedom Now, Human Rights Watch, West Papua Advocacy Team dan lainnya. Lembaga-lembaga tersebut selama ini memang mendukung pembebasan Filep dan tahanan politik lainnya. "Banyak sekali bantuan kalian kepada saya maupun rekan-rekan tapol lain," kata Filep.

Dalam menyambut pembebasannya, Filep Karma mengingatkan, saat ini masih ada 90 tahanan politik lain di Papua dan Kepulauan Maluku yang masih mendekam di penjara. "Saya akan solidaritas dengan mereka. Sekali lagi terima kasih," ujarnya.

Penahanan Filep sendiri dinilai Josef Benedict sebagai sesuatu yang keterlaluan. "Filep Karma menghabiskan waktu lebih dari satu dekade dalam hidupnya di penjara ketika seharusnya dia tidak boleh dipenjara bahkan untuk satu hari. Itu adalah sebuah dagelan keterlaluan dari sistem hukum dan dia seharusnya tidak pernah diadili di pengadilan," kata Josef Benedict.

"Setiap Warga Negara Indonesia seharusnya memiliki hak untuk mengekspresikan diri secara bebas (right to free expression) dan hak untuk berkumpul secara bebas (right to freely assemble), tetapi hak tersebut secara kejam ditolak untuk Filep Karma," ujarnya menambahkan.

Amnesty International sudah lama menganggap Filep Karma sebagai tahanan nurani (prisoner of conscience) dan berkampanye untuk pembebasannya. Pada tahun 2011 para pendukung organisasi ini di lebih dari 80 negara mengirimkan lebih dari 65.000 pesan dukungan kepadanya sebagai bagian dari kampanye tahunan "Menulis untuk Hak Asasi Manusia" (Write for Rights) dan menyerukan pembebasannya tanpa syarat.

Filep Karma secara konsisten menolak untuk menerima remisi yang ditawarkan oleh pemerintah. Dia mengatakan, hanya akan menerima pembebasan tanpa syarat dan bahwa seharusnya dia tidak pernah dipenjara sejak awal.

Amnesty International, kata Josef, percaya bahwa Filep ditangkap secara semena-mena karena dia mengunakan haknya untuk mengekspresikan diri secara bebas (right to free expression) dan untuk berkumpul secara bebas (right to freely assemble) sewaktu mengibarkan bendera dan menghadiri sebuah kegiatan politik.

"Kami berharap ini akan menjadi langkah pertama menuju pembebasan semua tahanan nurani yang dipenjara karena ekspresi politik mereka secara damai di Papua dan di daerah lain di Indonesia," kata Josef Benedict.

Amnesty International berharap pembebasan Filep Karma menjadi tanda otoritas akan menjauhi dari tindakan-tindakan represif yang sering digunakan oleh para pihak yang berwenang untuk membungkam perbedaan pendapat secara damai di wilayah Papua.

Di samping pembebasan semua tahanan nurani, pihak berwenang Indonesia harus membentuk sebuah mekanisme untuk menyelesaikan budaya impunitas di Papua. Selain itu juga menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan di masa lalu dan sekarang.

DANA OTONOMI KHUSUS - Kembali ke soal rencana kehadiran Jokowi di Papua, Staf Khusus Presiden Lenny Kogoya mengatakan, dirinya sejak diangkat pada 5 Mei 2015 lalu, telah menyusun konsep pembangunan Papua yang melibatkan masyarakat adat dalam tahapan pembangunan yang berkesinambungan.

Lenis menegaskan rekomendasi program yang ia susun tersebut tentunya berasal dari perspektif dan kebutuhan masyarakat adat. Ia memberi contoh keinginan masyarakat untuk menerima dana Otonomi Khusus (Otsus)

"Dana Otsus sudah 14 tahun berjalan, tinggal sisa 11 tahun lagi. Dana sisa ini, kalau bisa dibagi saja. Untuk agama diberikan 2 persen, jangan sampai mereka tidak dapat. Dua persen untuk adat, dimana ada adat dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang bisa membantu. Pejuang pepera (penentuan pendapat rakyat tahun 1969-red) juga dikasih uang Otsus itu, sehingga turut menikmati dana Otsus," saran Lenis.

Ia juga mendukung gagasan agar dana otsus juga bisa dibagikan kepada pengusaha asli Papua sebagai modal usaha. "Dua persen ditaruh di bank tanpa jaminan, sehingga orang asli Papua yang punya perusahaan harus dibantu, dilatih dan dibina. Pemerintah pegang 2 -10 orang pengusaha Papua, pasti bisa sukses," papar Lenis.

Mama-mama pedagang di pasar juga diharapkan bisa dibantu dengan dana otsus 2 persen,
melalui koperasi agar belajar berdagang yang baik. Lenis Kogoya juga mengusulkan agar dana Otsus juga bisa dibagikan kepada kelompok korban politik, tahanan politik dan yang menyerahkan diri, termasuk OPM.

"Mereka juga harus diberi uang Otsus itu, kasih keluarganya, tahanan politik yang keluar juga dikasih dan ada penyerahan diri juga diberikan uang itu, kasih dia punya rumah," ujarnya.

Ditambahkan, konsep itu harus dibangun, sehingga mereka merasa Papua merdeka dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. "Ini keluhan masyarakat selama saya keliling turun ke masyarakat," tuturnya.

BACA JUGA: