Oleh: Arif Usman*)

Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin melalui akun Twitter, @lukmansaifuddin menjelaskan alasan dan dasar pengakuan Bahai sebagai agama. Ada kurang lebih sepuluh alasan dan dasar pengakuan (agama) Bahai. Namun,Menteri Agama membantah jika kicuannya itu sebagai bentuk pemerintah telah meresmikan Bahai sebagai agama resmi di Indonesia. Menteri Agama membenarkan bila Bahai merupakan sebuah agama, bukan sekte dan sudah ada sejumlah penganut di Indonesia. Lalu apakah (agama) Bahai itu? Dan bagaimana kedudukan (agama) Bahai dalam perspektif yuridis?

(Agama) Bahai        

(Agama) Bahai adalah agama yang independen dan bersifat universal, bukan sekte dari agama lain. Pembawa Wahyu (agama) Bahai adalah Bahá’u’lláh, yang mengumumkan bahwa tujuan agama-Nya adalah untuk mewujudkan transformasi rohani dalam kehidupan manusia dan memperbarui lembaga-lembaga masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keesaan Tuhan, kesatuan agama, dan persatuan seluruh umat manusia.

Umat Bahai berkeyakinan bahwa agama harus menjadi sumber perdamaian dan keselarasan, baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun dunia. Umat Bahai telah dikenal sebagai sahabat bagi para penganut semua agama, karena melaksanakan keyakinan ini secara aktif. Ajaran-ajaran (agama) Bahai antara lain adalah keyakinan pada keesaan Tuhan, kebebasan beragama, kesatuan dalam keanekaragaman, serta menjalani kehidupan yang murni dan suci.

Selain itu, (agama) Bahai juga mengajarkan peningkatan kehidupan rohani, ekonomi, dan sosial-budaya; mewajibkan pendidikan bagi semua anak; menunjukkan kesetiaan pada pemerintah; serta menggunakan musyawarah sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Ajaran-ajaran tersebut ditujukan untuk kesatuan umat manusia demi terciptanya perdamaian dunia.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut, jumlah pemeluk (agama) Bahai di Banyuwangi 220 orang, Jakarta 100 orang, Medan 100 orang, Surabaya 98 orang, Palopo 80 orang, Bandung 50 orang, dan Malang 30 orang. Dari segi kuantitatif memang masih terbilang sedikit pemeluk (agama) Bahai.

Perspektif Yuridis    

Pada umumnya dikatakan bahwa Negara hukum adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) yang kekuasaannya tunduk pada hukum. Salah satu prinsip yang penting dalam Negara hukum adalah semua orang diperlakukan sama tanpa perbedaan yang didasarkan pada ras, agama, kedudukan social dan kekayaan. Agama di negara Indonesia adalah sebuah  pencarian yang belum selesai dan, mungkin, tak akan pernah selesai. Secara formal, menilik dokumen-dokumen terpenting yang menjadi dasar pembentukan negara Indonesia, agama memainkan peran yang amat penting.

Pancasila yang menjadi landasan konseptual kenegaraan Indonesia dimulai dengan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang dipahami sebagai “menjiwai sila sila lainnya”. Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menempatkan agama pada kedudukan dan peranan yang penting, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Pasal 29 UUD 1945 menentukan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 mengenai agama, Karena kebebasan untuk memeluk agama dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya dijamin oleh konstitusi, maka negara melalui Pemerintah berkewajiban untuk menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
 
Ketentuan-ketentuan mengenai hak kebebasan beragama yang tercantum di dalam konvensi-konvensi Internasional tercantum dalam Article 18 Universal Declaration of Human Rights (UDHR); Article 18, Article 26, Article 27 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); Pasal 5d point VII Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial yang telah diratifikasi dalam Undang-undang No. 29 Tahun 1999 yang menjamin Hak Atas Kebebasan Berpikir, Berperasaan dan Beragama dengan Bebas; Pasal 1, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6 Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Ketidaktoleransian dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan, yang diumumkan dengan Resolusi Majelis Umum 36/55 tanggal 25 November 1981 (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief 1981).



Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable, artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam konvensi hak asasi manusia sebagai hak yang tidak  bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer.

Selain itu Hak kebebasan beragama juga tidak bisa ditunda, tidak bisa dibatasi, dikurangi, dihambat, dan juga tidak bisa dicegah apalagi dirampas. Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non-derogable ini harus dilaksanakan dan  harus dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang  bagaimanapun. Kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act).

Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk di batasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Penundaan atas pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.

Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu: public safety; public order; public health, public morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik.

Atas dasar kebebasan beragama, negara harus bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah agama tertentu, dianggap bertentangan dengan konstitusi, hukum dan hak asasi manusia.

Upaya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia yang masyarakatnya dikenal sangat heterogen dalam hal agama dan keyakinan menjadi sangat relevan dan signifikan. Sebab, akan membawa kepada tumbuhnya rasa saling menghargai dan menghormati di antara warga negara yang berbeda agama, dan pada gilirannya membawa kepada timbulnya sikap toleransi dan cinta kasih di antara warga masyarakat.    

Kebebasan beragama dalam Universal Declaration Human Rights (UDHR) Article 18 dinyatakan sebagai berikut: "Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice worship and observance." (setiap orang berhak untuk bebas berfikir, bertobat dan beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam bentuk pengajaran, beribadah dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersamasama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun khusus).

Deklarasi universal hak-hak asasi manusia tahun 1948 ini disepakati oleh umat manusia sejagat pada tataran konsep. Penerapannya tidak dilaksanakan secara seragam di setiap negara.
Di Indonesia berlaku UU No.1/PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU PNPS ini merupakan produk Orde Lama, yang kemudian pada masa Orde baru dikukuhkan menjadi UU No.5 Tahun 1969.

Beberapa ketentuan penting yang dapat dikategorikan sebagai pembatasan yang bertujuan pada kerukunan beragama adalah sebagai berikut: "Larangan menafsirkan tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1). Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.


Kalau pelanggaran Pasal 1 tersebut dilakukan oleh organisai atau suatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang (Pasal 2). Kemungkinan pembatasan kebebasan beragama juga dibenarkan oleh Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU No 12 Tahun 2005 Pasal 18 Ayat (3), bahwa kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlakukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebabasan mendasar orang lain.

Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Declaration on the Ellimination of All Forms on Intolerance and Discrimination Based on religion and Belief) Tahun 1981 Pasal 1 Ayat (3) dinyatakan sebagai berikut: "Freedom to manifest one’s religion or belief may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the fundamental right and freedoms of others." (Kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilai-nilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain).

Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya juga sejalan dengan berbagai instrumen internasional yang telah diadopsi dan ditandatangani oleh PBB. Dalam hal ini maka apabila UU No. 1/PNPS/1965 itu dipandang sebagai salah satu pembatasan yang dilakukan dengan UU, maka hal itu sebenarnya adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena adanya peluang yang diberikan oleh pasal 28J UUD 1945 itu yang harus dibaca sebagai bagian tak terpisahkan dari pasal-pasal lainnya.

Dalam kaitan ini, yang perlu diperhatikan adalah butir 13 dari hasil kesepakatan Durban Review Conference, sebuah forum seminar resmi PBB yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan April 2009, yang menyatakan sebagai berikut: "Reaffirms that any advocacy of national,racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law;...." (menegaskan bahwa etiap anjuran kebencian karena rasa kebangsaan, ras, atau agama yang mendorong kepada  diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang dengan undang-undang;….dan seterusnya).

Kerukunan umat beragama dengan pemerintah dianggap penting dalam kaitannya dengan persatuan dan kesatuan nasional. Pemerintah mempunyai komitmen untuk tidak ikut campur dalam aspek-aspek teologis dan doktrin semua agama. Namun, demi persatuan dan kesatuan nasional, pemerintah dari waktu ke waktu dapat mengambil kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan tertentu untuk membangun kehidupan keagamaan yang lebih harmonis dan sehat.

Untuk memenuhi tujuan ini, diperlukan suasana saling percaya yang dibangun oleh umat beragama bekerja sama dengan pemerintah. Betapapun, kerukunan umat beragama dengan pemerintah selalu menyisakan disharmoni karena alasan yang berbeda. Umat beragama masih merasakan adanya pembatasan atas hak-hak dan kebebasannya untuk berdakwah. Sementàra, pihak pemerintah memandang perlu dilakukan pengaturan-pengaturan demi terciptanya ketertiban dan keamanan serta stabilitas nasional.

*) Penulis adalah Perancang Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Jenderal DPR-RI

BACA JUGA: