JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan nilai lindung (hedging) yang diterapkan Kementerian BUMN, ternyata memang menimbulkan kegamangan di beberapa BUMN khususnya yang bergerak di bisnis migas dan properti. Pasalnya, dalam menjalankan bisnisnya, BUMN ini mau tidak mau memang menggunakan mata uang dolar sebagai acuan nilai kontrak dan proyek.

Kegamangan menerapkan kebijakan yang sudah ditetapkan Menteri BUMN Dahlan Iskan ini misalnya, menimpa PT Wijaya Karya (WK), salah satu BUMN yang bergerak di bidang jasa konstruksi termasuk konstruksi kilang minyak dan gas. Dalam beberapa kontrak proyek, perusahaan pelat merah ini memang ada yang menggunakan mata uang rupiah, tetapi pendapatan yang diperoleh tetap saja dalam bentuk dolar AS.

Sekretaris Perusahaan PT WK Natal Argawan Pardede mengatakan kontrak konstruksi migas yang dimiliki perusahaan menghasilkan pendapatan berupa dolar AS dengan pengeluaran menggunakan rupiah ini menimbulkan dilema tersendiri. Pasalnya, karena mendapatkan uang hasil usaha dalam bentuk dolar AS, perusahaan tentu berharap nilai dolar AS kuat sehingga keuntungan berlipat.

Sementara dalam proyek dengan investasi dolar AS, di sektor konstruksi listrik, perusahaan, kata Natal, tentu berharap dolar AS lemah. "Kita lebih banyak dolar, jika menguat kita senang saja. Bisnis pun secara keseluruhan naik," kata Natal, Jakarta, Senin (15/7).

Meski begitu toh, WK tetap harus patuh pada aturan yang digariskan Dahlan. Natal mengatakan pada awalnya manajemen perusahaan takut untuk melakukan hedging pasalnya jika perusahaan mengalami kerugian maka takut dianggap sebagai kerugian negara. Untuk itu pemerintah diminta membentuk peraturan di bidang hedging.

Menurutnya dengan peraturan pemerintah di bidang hedging maka perusahaan akan memberlakukan natural hedging dalam menjalankan proyek-proyeknya. "Solusinya kita atur jadi natural hedging," kata Natal.

Problem serupa juga dialami oleh BUMN yang dalam bisnisnya menggunakan bahan baku yang di pasaran dijual menggunakan standard dolar AS. PLN misalnya, dalam membeli gas atau bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik, jelas akan menggunakan mata uang dolar.

Begitu pula dengan Pertamina. Wajar jika kedua perusahaan pelat merah itu meminta kejelasan jaminan agar ketika tejadi kerugian negara, BPK menganggap temuan itu sebagai kerugian negara yang membuat perusahan bisa berurusan dengan Kejaksaan atau KPK.

Dahlan Iskan sendiri mengakui memang ada beberapa perusahaan BUMN yang belum menerapkan hedging karena untuk memberlakukan hedging perlu biaya. Dia menjelaskan jika perusahaan melakukan hedging dalam jumlah triliunan rupiah, untuk keperluan subsidi terhadap selisih nilai tukar dolar AS dan rupiah.

Kata Dahlan, jika untuk keperluan subsidi maka yang perlu dipertanyakan siapakah yang membayar. Nah untuk urusan ini, Dahlan mengusulkan agar biaya untuk hedging ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena hal itulah yang diinginkan oleh perusahaan BUMN.

Pasalnya dalam biaya hedging yang dalam permasalahan adalah status hukum uang tersebut karena uang perusahaan apakah boleh untuk membayar biaya hedging yang seharusnya ditanggung oleh APBN. "Jadi ini masih menunggu keputusan Menteri Keuangan di rapat koordinasi berikutnya," kata Dahlan.

BACA JUGA: