JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menjalankan usahanya, terkadang memang mesti berurusan dengan aparat penegak hukum. Bukan hanya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saja BUMN mesti berurusan. Demi terciptanya good corporate governance di perusahaan dan persaingan usaha yang sehat, BUMN juga kerap harus berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Khusus dengan KPPU, BUMN memang kerap disorot karena dikhawatirkan menciptakan iklim persaingan usaha tidak sehat ketika melakukan sinergi antar sesama BUMN khususnya dalam pengadaan barang dan jasa. Ketua KPPU Nawir Messi meminta kepada pemerintah khususnya Kementerian BUMN untuk meninjau Peraturan Menteri BUMN No 5 Tahun 2008 tentang barang dan jasa, dimana dalam peraturan tersebut tercantum untuk pengadaan dapat untuk melakukan penunjukkan langsung terhadap sesama perusahaan BUMN.

Nawir meminta agar Kementerian BUMN dalam menerapkan pengadaan barang dan jasa tidak melupakan prinsip persaingan usaha. Nawir mengatakan desakan tersebut dilakukan setelah melihat banyaknya perusahaan BUMN yang melanggar prinsip persaingan usaha. "Artinya sudah banyaknya kasus monopoli yang melibatkan perusahaan-perusahaan BUMN," kata Nawir kepada Gresnews.com, Selasa (29/7).

Dia mencontohkan kasus-kasus monopoli yang melibatkan perusahaan BUMN diantaranya PT Pelindo II (Persero) dalam pengelolaan pelabuhan di Teluk Bayur dan PT Angkasara Pura II dengan PT Telkom (Tbk) dalam pelayanan e-pos di Bandara Soekarno Hatta. "Pelaksanaan sinergi BUMN diharapkan tidak menghambat pelaku usaha untuk masuk," kata Nawir.

Dalam kesempatan itu, Nawir juga memaparkan beberapa kasus yang melibatkan BUMN yang sudah diputus KPPU. Pertama, adalah kasus Pelindo II.

KPPU telah memutuskan PT Pelindo bersalah dalam perkara bongkar muat di Teluk Bayur, Sumatera Barat. Akibatnya perusahaan harus dikenakan denda sebesar Rp4 miliar dan harus disetor ke kas negara melalui bank pemerintah. Kasus perkara bongkar muat diendus oleh KPPU karena perusahaan yang ingin melakukan bongkar muat diharuskan menggunakan layanan perusahaan bongkar milik PT Pelindo II (Persero).

Kedua, ada kasus PT Angkasa Pura I (Persero). KPPU mengendus adanya dugaan praktek monopoli yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura I (Persero). Kasus tersebut diawali dengan adanya pemberlakuan operator ground handling khusus pesawat charter yang hanya dilakukan oleh satu perusahaan. Dugaan monopoli ini dilakukan oleh dua pihak yang melakukan perjanjian, yakni PT Angkasa Pura I (Persero) selaku pengelola bandara Ngurah Rai dan perusahaan ground handling tersebut.

KPPU memperoleh laporan adanya dugaan praktek monopoli yang dilakukan perusahaan berasal dari Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanudin yang mengeluhkan biaya ground handling sangatlah mahal untuk penerbangan carter di Bandara Ngurah Rai.

Ketiga, PT Angkasa Pura II (Persero). KPPU menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp3,4 miliar kepada PT Angkasa Pura II (Persero) karena telah terbukti melanggar pasal 15 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal itu diakibatkan karena adanya praktek monopoli perjanjian barang dan jasa layanan e-pos antara PT Angkasa Pura II /AP II (Persero) dengan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM).

KPPU menemukan bukti dari beberapa keterangan penyewa tenant di Bandara Soekarno Hatta, bukti tersebut dalam melakukan perjanjian terdapat klausul yang diharuskan menggunakan layanan e-pos. Dalam klausul tersebut juga tertulis jika para tenant tidak bersedia menggunakan layanan e-pos, maka PT Angkasa Pura II (Persero) berhak untuk memutuskan kerjasama secara sepihak dan berhak untuk tidak melakukan pemberitahuan kepada penyewa tenant.

Sementara itu, Kepala Biro Hukum Kementerian BUMN Hamra Samal mengatakan dibentuknya kebijakan sinergi BUMN bertujuan untuk menimbulkan efektivitas dan efisiensi. Disatu sisi dengan adanya sinergi BUMN dapat menghindari adanya tindak pidana korupsi.

Dia menjelaskan dengan adanya sinergi BUMN, masing-masing BUMN dalam menjalankan proyek dapat mengaudit pengeluaran dari perusahaan BUMN. Misalnya, perusahaan A bekerjasama dengan perusahaan B. Pada saat itu perusahaan A mengeluarkan uang sebesar Rp500 kepada perusahaan B untuk mengerjakan proyek.

Besaran uang tersebut harus sesuai dengan nilai proyek yang disepakati antar perusahaan. Suatu waktu ada penyimpangan perusahaan A bisa mengaudit perusahaan B."Kalau dengan swasta kita tidak bisa mengaudit," kata Hamra kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu. 

 
BACA JUGA: