JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masa kejayaan PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) semakin meredup. Perusahaan penerbangan plat merah ini banyak yang memvonis tak perlu lagi dihidupkan lantaran masalah yang membelit terjadi sejak beberapa dekade yang lalu. Mungkinkan Merpati kembali mengepakkan sayapnya kembali melayani masyarakat.

Berdasarkan penelusuran Gresnews.com, sudah sejak 2007 Merpati  melaksanakan program revitalisasi dan modernisasi armadanya. Semua dilakukan untuk memulihkan kondisi perusahaan yang secara keuangan karut marut.

Salah satu upaya perusahaan maskapai plat merah tersebut memulihkan kondisi adalah dengan memesan 14 pesawat Xian MA60 dari Xian Aircraft China. Perusahaan juga sempat menyewa satu pesawat ATR 72, namun kemudian dikembalikan karena dianggap tidak ekonomis.

Sayang usaha itu berantakan setelah pesawat MA60 jatuh diperairan Kaimana. Seluruh penumpang pesawat yang berjumlah 27 orang tewas. Kecelakaan tersebut menambah panjang daftar kecelakaan yang melibatkan armada perintis Merpati.

Imbasnya setelah kecelakaan di Kaimana banyak pihak mempertanyakan keputusan perusahaan untuk membeli pesawat tersebut. Bahkan muncul dugaan adanya mark up dan kolusi yang terjadi pada saat proses pembelian. Tentu saja gonjang ganjing tersebut membuat penumpang tak lagi berminat terbang dengan Merpati.

Tercatat, pemerintah juga turut membantu memulihkan Merpati. Pada 2012, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengangkat Rudy Setyopurnomo untuk membenahi Merpati. Pada saat dipegang oleh Rudy, beberapa kebijakan seperti menutup 20 rute yang merugi kemudian Merpati berencana mendatangkan 6 unit A320 sebagai langkah modernisasi armadanya. Beberapa kebijakan sudah dikeluarkan oleh Rudy, namun kondisi perusahaan tak kunjung membaik.

Dahlan pun menunjuk PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk menyelamatkan perusahaan sekaligus mengganti Direktur Utama Merpati yang baru yaitu Asep Eka Nugraha. Namun kondisi perusahaan bukan semakin membaik malah semakin buruk. Kondisi keuangan yang semakin memburuk membuat perusahaan menunggak biaya operasi Avtur, Pertamina pun menyetop penyaluran Avtur kepada Merpati.

Alhasil beberapa kota tujuan seperti Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta berhenti beroperasi.  Lalu, 2 unit armada ditarik oleh pemberi pinjaman karena perusahaan menungga pembayaran sewa pesawat satu B737-300 dan satu pesawat B737-400.

Hingga kini memasuki tahun 2014, kondisi Merpati belum juga  membaik. Perusahaan memberhentikan semua operasi penerbangannya sampai bulan Maret 2014. Merpati berhenti beroperasi lantaran tidak mampu membayar asuransi, fuel dan gaji kru serta pegawainya. Kini Merpati terbebani hutang yang mencapai Rp7,3 triliun.

Kerugian yang terus timbul pada Merpati membuat DPR melakukan investigasi untuk mencari akar masalah yang menimpa perusahaan. DPR pun memperoleh fakta dan temuan penyimpangan baik dari sisi internal dan eksternal yang dilakukan oleh manejemen. DPR menemukan fakta pengangkatan Direktur Produksi Haryo P Soerjokoesumo. Pada saat pengangkatan Haryo menggunakan titel Captain penerbang pada beberapa dokumen resmi perusahaan, sedangkan status Captain penerbang tidak bisa dibuktikan.

Sejak bulan Oktober 2013 sampai saat ini sudah tidak masuk dengan alasan sakit namun tidak disertakan dokumen yang menyatakan bahwa yang bersangkutan sedang sakit. Kemudian, fakta pengangkatan Direktur Niaga Andhika M, Direktur Teknik Wisudo dan Direktur Operasi Daryanto dengan menggunakan istilah Associate Director tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Namun Kementerian BUMN hanya mengangkat resmi tiga orang direksi yaitu, Asep Eka Nugraha sebagai Direktur utama, Haryo P Soejokusumo sebagai Direktur dan Daulat Musa sebagai Direktur.

DPR juga menemukan fakta tunjangan profesi pilot. Pada tahun 2013, perusahaan sedang dalam kondisi krisis dengan posisi negatif ekuitas perusahaan mencapai Rp5,2 triliun. Akan tetapi Asep selaku Direktur Utama meminta rapel tunjagan profesi sebagai Direktur Operasi periode Mei 2011 sampai Maret 2013 sebesar Rp616,16 juta, namun yang sudah dicairkan sebesar Rp300 juta pada tanggal 18 dan 21 Oktober 2013. Kemudian Abhy Widia sebagai Komisaris perusahan mendapatkan tambahan tunjangan profesi dengan besaran honorarium sebesar Rp27,5 juta.

Keduanya melanggar Peraturan Menteri Perhubungan No 28 Tahun 2013 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 121 sub 121.59. Kemudian fakta perihal pembayaran ke pihak peminjam yang lebih mengutamakan PB Leasing. Pembayaran ke PB Leasing sangat kontras dengan pembayaran ke pihak ILFC dengan periode yang sama yaitu Agustus 2013 sampai dengan bulan Oktober 2013 untuk sewa 4 pesawat B737-300 dan B737-400 berjumlah US$2,1 juta.

Perusahaan manajemen bertindak melampui kewenangan yang berakibat merugikan perusahaan. Perusahaan juga secara sepihak menyetujui menyewakan mesin CFM56-3 ke Trigana yang belum disetujui oleh jajaran direksi. Lalu menyewakan hanggar ke Lion Air dengan per harinya Rp1,5 juta untuk sekelas pesawat ATR dan Boeing. Hal tersebut tidak sepengetahuan Direktur Bidang Teknik, Wisudo.

Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) Asep Ekanugraha mengatakan perihal mesin pesawat Merpati yang disewakan kepada perusahaan penerbangan swasta sebenarnya sedang dalam proses perijinan kepada Kementerian BUMN. Lagipula dalam bisnis airlines, sewa menyewa mesin pesawat bisa dilakukan. Menurutnya siapapun bisa melakukan sewa menyewa mesin pesawat, baik pihak peminjam (lessor), enginering atau pemilik saham sekalipun.

Lagipula, Asep mengungkapkan dalam beberapa butir rapat panja Merpati juga mempersilahkan kepada perusahaan untuk melepas aset-aset perusahaan. Kendati demikian, Asep enggan mengungkapkan aset-aset perusahaan apa saja yang sudah dilepaskan dari milik perusahaan.

"Itu (mesin) sebenarnya lagi berproses ijinnya. Lagipula beberapa butir dalam diskusi, panja mempersilahkan agar ada aset yang dilepas," kata Asep kepada Gresnews.com, Sabtu (26/7).

BACA JUGA: