JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah dan Pertamina dituding telah melakukan manipulasi dalam penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, penetapan harga tersebut tidak ada tranparansi, bahkan diduga dapat menurunkan daya saing industri dengan menyesuaikan biaya produksi.

Ahmad mengatakan, penetapan harga premium harus dihitung seberapa besar harga pokok produksi dengan mengacu biaya crude oil. "Artinya sesuai dengan mutu dan sumbernya, baik pengolahan dan biaya secara keseluruhan, serta kewajaran dari profit margin dan biaya pokok impor produk BBM ditambah nilai wajar profit margin," kata Ahmad, di Jakarta, Kamis (2/10).

Menurutnya, selama ini penetapan harga pokok produksi premium selalu menggunakan acuan harga produksi BBM tetapi kualitasnya berbeda. Misalnya RON 88, dimana hanya Indonesia saja yang masih menggunakan jenis BBM tersebut. "Dengan pemerintah berencana menaikkan harga BBM, seharusnya pemerintah memperbaiki tingkat kualitas BBM," ujar Ahmad.

Dia menambahkan, jika pemerintah ingin mengambil untung dari sektor migas, pemerintah harus melakukan dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum. Misalnya menetapkan pajak emisi seperti emissions tax, carbon tax sebagai tambahan pajak BBM yang telah diterapkan selama ini.

Oleh karena itu, Ahmad menilai perlu adanya transparansi kebijakan penetapan harga BBM subsidi. Ahmad menduga ada manipulasi dalam penetapan harga BBM subsidi dimana Pertamina dan Pemerintah menggunakan acuan BBM yang kualitas lebih tinggi. "Harga BBM harus ditetapkan secara rasional dan realistis," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan tidak adanya transparansi pemerintah dengan Pertamina dalam penetapan harga BBM, sebenarnya terkendala tidak adanya transparansi dalam pembelian minyak oleh PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral).

"Artinya Petral harus membuka kepada masyarakat darimana perusahaan membeli BBM dan berapa harga yang dikeluarkan untuk membeli BBM. Kalaupun patokannya impor Singapura, seharusnya hal tersebut harus dibuka kepada publik," kata Mamit kepada Gresnews.com, Kamis (2/10).

Menurutnya masyarakat harus meminta pertanggung jawaban kepada Pertamina dan Pemerintah untuk melakukan transparansi. Transparansinya dalam bentuk asal BBM yang diperoleh, kemudian pembiayaan yang dikeluarkan oleh perusahaan, jenis BBM apa yang diperoleh, kemudian tempat melakukan pencampuran (blended) BBM.

"Kalau mau mengejar transparan, kita kejar yang namanya Petral dan anak-anak usahanya Petral. Transparansi harus dibuka oleh Pertamina dan Petral," kata Mamit.   

BACA JUGA: