JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) membeli 30 pesawat Airbus A350 XWB menuai polemik menyusul desakan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang meminta pembelian pesawat tersebut dibatalkan.

Rizal beralasan rencana Garuda mengembangkan penerbangan internasional Jakarta-Eropa dengan pembelian sejumlah pesawat modern itu potensial merugikan. Sebab, tingkat keterisian penumpang di jalur itu hanya 30 persen. Rizal mencontohkan maskapai ASEAN yang melayani Internasional ke Amerika dan Eropa adalah Singapore Airlines, itu pun kinerja keuangan juga memburuk.

Ia meminta pembelian pesawat itu batal juga karena pesawat itu hanya cocok dipakai untuk rute Internasional. Pengalaman menunjukkan Garuda selalu merugi ketika melayani rute tersebut. Apalagi untuk pengadaan pesawat tersebut Garuda harus berutang kepada China Aviation Bank sebesar US$44,5 miliar. Rizal meminta Garuda untuk mengembangkan pasar domestik dan Asia terlebih dahulu sebelum mengembangkan pasar Eropa dan Amerika.

Perdebatan antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait pembelian pesawat Airbus A350 itu memicu rontoknya saham Garuda di bursa efek.

Pengamat pasar modal David Cornelis menilai sentimen negatif tersebut datang dari pertentangan pendapat di jajaran menteri, sehingga pertentangan tersebut memicu stigma negatif di kalangan investor. Investor pun menjadi ragu untuk berinvestasi. Akibatnya saham Garuda mengalami penurunan hingga menembus titik terendah Rp387 per lembar, hampir sama pada bulan Oktober 2011 lalu.

Menurut David, seharusnya rencana pembelian pesawat adalah ranah Menteri BUMN dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Sementara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman seyogyanya bisa memberi masukan dalam rapat internal dan berkoordinasi.

Dia menjelaskan pembelian pesawat tersebut seharusnya dapat ditinjau oleh pemerintah dan pihak Garuda. Apakah proses pembeliannya sesuai atau tidak. Apalagi Garuda merupakan BUMN dan perusahaan terbuka, jadi banyak peraturan dan undang-undang dan kebijakan yang memagari transaksi pembelian pesawat agar dilakukan dengan wajar sesuai dengan kebijakan internal perusahaan juga dalam rangka revitalisasi dan ekspansi.

David menambahkan pembelian pesawat juga banyak sisi yang perlu ditinjau apakah solvabilitas perusahaan mampu untuk pembelian selama 2017 hingga 2023. Apakah mendapat pinjaman lunak dari sisi bunga maupun tenor dan tambahan persyaratan. Selain itu, dari sisi bisnis operasional apakah rute yang disasar efisien dan menguntungkan. Kemudian komparasi merek dan jenis pesawat.

"Seperti penghematan ongkos operasional, pengurangan bahan bakar, eliminasi perawatan, sekaligus efisiensi kuota angkut penumpang yang lebih banyak," kata David kepada Gresnews.com, Jakarta, Selasa (18/8).

TAK DAPAT DIKATAKAN MERUGIKAN NEGARA - Menanggapi kemungkinan kerugian negara di mana pembelian pesawat dilakukan saat terjadi pelemahan rupiah, David menilai pembelian pesawat tidak dapat merugikan negara jika sesuai dengan pagar hukum yang berlaku baik dari sisi Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian BUMN, Pasar Modal, Perusahaan dan pasar internasional hingga prinsip Good Corporate Governance dan juga penerbangan dunia.

Termasuk dalam hal proses pembelian melewati proses due diligence dan studi kelayakan baik secara produk maupun bisnis. Menurutnya, jika hal tersebut dipenuhi maka pengadaan dan pembelian pesawat dapat menyesuaikan dan diatur secara teknis bisnis. Selain itu pembelian juga disesuaikan dengan bunga, tenor, serta skema lindung nilai.

Menurutnya, hal itu perlu dilakukan karena pembelian pesawat kali ini merupakan transaksi terbesar atau rekor terbesar pembelian Garuda sehingga perusahaan tidak perlu tergesa-gesa dalam pembelian pesawat dan tidak mencemaskan investor.

"Adapun saham sudah tergelincir sebesar 12% sejak Mei lalu, dan sudah terperosok setengah harga lebih (53%) dari rekor tertinggi pada Juli 2012 lalu. Saat ini sudah cukup terdiskon harga sahamnya," kata David.

BANTAH ADA KORUPSI - Sementara itu, Vice President Corporate Communication PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) Beni Butar Butar juga membantah tudingan dugaan korupsi dan kerugian negara akibat pembelian pesawat A350. Menurutnya, usulan pembelian pesawat telah melalui rangkaian proses, diantaranya melalui bagian operasional dan keuangan.

Apalagi pembelian pesawat juga harus melihat rasio kebutuhan perusahaan dan jumlah personil. Apalagi perusahaan hingga saat ini masih dalam komparasi pengadaan pesawat, belum ada realisasi pembelian pesawat.

Menurutnya, saat ini perusahaan sedang fokus kepada bisnis perusahaan untuk melanjutkan peningkatan kinerja di semester II tahun 2015. Dia menambahkan pembelian pesawat bagi perusahaan masih terlalu dini karena perusahaan perlu mengkomparasikan baik dari sisi teknologi, perencanaan strategis, dan sisi efisiensi. Sebab industri pesawat memerlukan high skill, high teknologi, pembiayaan, profesionalitas dan industri penerbangan memiliki risiko tinggi.

Dia menjamin jika nanti perusahaan benar-benar merealisasikan pembelian pesawat, pembelian tersebut dapat dimonitor oleh masyarakat sebab perusahaan saat ini berstatus perusahaan publik. Dia juga menjamin dalam proses pembelian pesawat tidak ada unsur-unsur korupsi.

"Hingga saat ini belum ada dokumen pembelian pesawat. Bagi orang jujur itu nyaman bekerja di perusahaan publik karena publik harus tahu, lagi pula dalam setiap pembelian orang-orang yang terkait akan diperiksa," kata Beni kepada gresnews.com.

PEMBELIAN DINILAI SAH - Menanggapi polemik itu, mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara (Persero) Sardjono Jhony menilai pembelian pesawat yang dilakukan oleh Garuda sudah sah dan merupakan bagian dari aksi korporasi perusahaan. Apalagi Garuda merupakan perusahaan publik, di mana dalam setiap aksi korporasi oleh Direksi pasti seizin pemegang saham dan masuk rencana bisnis maupun Rencana Kerja Anggaran Perusahaan.

Selain itu pemerintah sebagai pemegang saham hanya mengawasi melalui peran komisaris. Sehingga dalam melakukan operasional harus memiliki kajian yang sangat rinci. Apalagi pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi diawasi oleh publik. Sehingga setiap keputusan didasari audit dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

"Masalah nanti pertanggungjawaban direksi diterima atau tidak itu urusan RUPS," kata Sardjono kepada gresnews.com.

Sebagai informasi, untuk pembelian 30 unit pesawat Airbus A350 dengan harga US$245 juta per unit dibutuhkan dana sebanyak Rp99 triliun. Rencananya pembiayaan melalui China Aviation Bank dan bukan menggunakan bank dalam negeri karena tidak bisa membiayai pinjaman jangka panjang, apalagi tingkat suku bunga yang tidak kompetitif.

Berdasarkan aturan Bank Indonesia tentang keterbatasan Legal Lending Limit membuat bank terbesar seperti Bank Mandiri maupun BRI tidak mampu menyediakan pembiayaan pembelian 30 pesawat Airbus.

TELAH TANDA TANGAN LOI - Seperti dilansir laman garuda-indonesia.com, PT Garuda, Senin (15/6), telah menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan Airbus untuk rencana pembelian 30 pesawat A350 XWB. Penandatanganan kerjasama tersebut dilaksanakan di tengah-tengah kegiatan pameran kedirgantaraan Paris Airshow 2015 di Paris, Perancis.

LOI ditandatangani Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo dan Direktur Utama Airbus Fabrice Bregier, disaksikan oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia Ignasius Jonan dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Perancis Hotmangaradja Pandjaitan.

Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo dalam kesempatan itu menyatakan seiring keberhasilan Garuda Indonesia melaksanakan revitalisasi operasi di Asia Pasifik maka Garuda akan mengembangkan jaringan penerbangan rute-rute jarak jauh. Alasan memilih Airbus sebagai armada Garuda karena pesawat tersebut efisien dalam hal bahan bakar, kemampuan jelajahnya maksimal dan kabin lebih luas, maka A350 XWB sangat cocok mendukung Garuda berebut pasar jarak jauh khususnya dari Asia.

BACA JUGA: