JAKARTA - Kementerian Hukum dan HAM telah menyerahkan Rancangan Peraturan Presiden (perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ke DPR untuk dilakukan pembahasan beberapa waktu lalu. Namun draf perpres tersebut mendapat sorotan lantaran isinya tak mengakomodir suara masyarakat sipil.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengaku telah membaca draf perpres tersebut.

"Kesan pertama saya, pemerintah tidak mengakomodir masukan masyarakat sipil beberapa waktu lalu pascapengesahan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang masif mendapat sorotan," katanya kepada Gresnews.com, Kamis (13/8/2020).

Menurutnya secara eksplisit, pemerintah seakan mengulang kesalahan sama lantaran potensi rancangan perpres akan menuai banyak sorotan juga besar. Sikap demikian justru memperlihatkan pemerintah mulai meletakkan partisipasi publik sebagai aspek formalitas dan prosedur belaka.

Ia menjelaskan perpres itu meniadakan dua pilar dalam pelibatan TNI mengatasi terorisme. Pertama terkait keputusan dan kebijakan politik negara.

Perpres tidak menyebutkan sama sekali bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Padahal, katanya, dalam Pasal 2 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Sementara itu secara eksplisit Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa pelibatan TNI dalam Operasi Militer Untuk Perang (OMUP) dan OMSP dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Selain itu Pasal 8 ayat (2) dalam perpres itu juga hanya menyebutkan bahwa penggunaan kekuatan TNI dalam penindakan hanya berdasarkan perintah presiden.

Sedangkan dalam Pasal 17 (2) UU TNI menyebutkan dalam hal pengerahan kekuatan TNI, presiden harus mendapat persetujuan DPR.

Kalaupun dalam keadaan mendesak, Pasal 18 (2) UU TNI juga sudah mengatur bahwa dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, presiden harus melaporkan kepada DPR.

"Dalam konteks ini, secara eksplisit terlihat bahwa Perpres ini melanggar Pasal 5 dan Pasal 7 (3) UU TNI yang jelas menyebut bahwa TNI dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara," katanya.

Kedua, terkait dengan kerangka criminal justice system. Kategori Terorisme yang termasuk ke dalam tindak pidana, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 poin 1 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, membuat mekanisme penanganannya tunduk kepada sistem peradilan umum, yang notabene wilayah sipil.

"Sehingga, ketika militer masuk kedalam ranah sipil sebagai pihak yang berstatus diperbantukan secara serta merta militer juga masuk kedalam wilayah hukum sipil," katanya.

Adapun tentang alasan logis perbantuan TNI bersifat preventif, yaitu mengantisipasi situasi yang berada diluar kemampuan kepolisian untuk menanganinya (beyond capability).

Pengaturan semacam sudah diatur dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a TAP MPR No. VII tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Aturan ini mengamanatkan bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum, seharusnya dapat dilaksanakan.

Terlebih, jika merujuk kepada Pasal 3 dan Pasal 4 perpres ini, ketidaktundukan militer dalam peradilan umum justru potensial membuat akuntabilitas pertanggungjawaban jika terjadi pelanggaran HAM semakin menguap.

"Pasal tersebut memberikan wilayah yang sangat luas dalam keterlibatan TNI, yakni kegiatan dan/atau operasi intelijen, territorial, informasi, dan operasi lainnya," ujarnya.

Bahkan pelaksanaan operasi territorial, sebagaimana diatur pada Pasal 4 (2), memberi legitimasi kepada TNI untuk terlibat lebih jauh dalam wilayah sipil, karena domainnya berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial.

Menurutnya pasal ini justru berpotensi menimbulkan tindakan represi aparat dan merenggut ruang kebebasan publik. Pasal ini mencerminkan bahwa negara, melalui aparatnya menaruh kecurigaan berlebihan kepada warga negara, sampai-sampai pembinaan bantuan kemanusiaan dan komunikasi sosial menjadi bagian dari penangkalan.

"Sehingga akan semakin aneh jika perpres ini tidak mengatur mekanisme criminal justice system," ujarnya.

Koordinator Lingkar Masyarakat Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menjelaskan pemberantasan terorisme ini dalam lingkup hukum sipil. Sehingga seharusnya cukup ditangani oleh Kepolisian.

"Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini harus ekstra hati-hati karena memasuki wilayah sipil," ujarnya saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (13/8/2020).

Menurutnya tugas utama dari TNI adalah pertahanan negara sehingga kurang tepat bisa dilibatkan dalam perkara sipil.

Ia juga menegaskan jangan sampai pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini justru membuat profesionalisme TNI menurun. Padahal selama ini profesionalisme TNI sudah mendapatkan pengakuan baik di dalam maupun di luar negeri.

"Jangan korbankan profesionalisme TNI," katanya.

Ray melanjutkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo ini rupanya beranggapan TNI selama ini seolah menganggur. Padahal sama sekali tidak, TNI bekerja selama 24 jam sehari yakni dalam bidang pertahanan negara.

Hal lainnya terkait pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme ini dapat menimbulkan ketidakharmonisan dengan Kepolisian. "Selama ini penanganan terorisme ada ditangan polisi," katanya.

Menurutnya jangan sampai terjadi ketidakharmonisan antaraparat negara. Semestinya dipertimbangkan bagaimana psikologi TNI bila berada di bawah komando Polisi dalam penanganan terorisme. (G-2)

 

BACA JUGA: