JAKARTA - Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih menuai polemik kendati Mendikbud Nadiem Makarim sudah menjelaskan tentang program ini ke DPR beberapa waktu lalu.

Anggota Komisi X DPR Fraksi Demokrat Bramantyo Suwondo menilai POP kurang tepat apabila dilaksanakan di tengah masa pandemi.

"Seharusnya dana untuk POP yang sebegitu besarnya dapat dialokasikan untuk menyelesaikan masalah pendidikan di tengah pandemi. Salah satunya untuk meningkatkan kualitas PJJ (Pendidikan Jarak Jauh)," ujar Bram dalam siaran pers, Sabtu (1/8/2020).

Menurutnya selama masa pandemi ini banyak siswa-siswi yang terkendala sekolahnya karena beragam permasalahan. Mulai dari harus berbagi gawai, tidak mampu membeli pulsa, hingga kesulitan mendapatkan sinyal.

Misalnya di Wonosobo, Jawa Tengah, ada siswa yang tidak bisa mengikuti PJJ karena rumahnya berada di pegunungan sehingga tidak mendapatkan sinyal. Akhirnya siswa tersebut terpaksa datang ke sekolah untuk mendapatkan materi dan soal ujian.

Ia mengutip survei Forum Anak Jawa Tengah, ada 20-25% pelajar tidak memiliki akses memadai untuk menunjang PJJ. Dalam kondisi seperti ini, Kemendikbud semestinya dapat bergerak cepat memberi bantuan berupa gawai dan pulsa bagi siswa, sekolah, dan tenaga pendidik yang menjalankan PJJ.

Tak hanya itu, dia berharap agar kebijakan yang diambil pemerintah terkait dunia pendidikan dapat disesuaikan dengan kondisi dan fakta yang ada di lapangan, serta didasari oleh empati.

Faktanya, saat ini guru dan siswa di Indonesia dihadapkan pada kondisi belajar yang sulit dan serba tidak pasti akibat pandemi.

Masih banyak siswa dan guru yang belum bisa menjalankan PJJ dengan efektif akibat keterbatasan gawai atau fasilitas pendukung lain.

"Semestinya pemerintah bersegera mencarikan solusi atas permasalahan ini agar hak pendidikan siswa dapat terpenuhi dengan baik, bukannya malah mengedepankan program baru yang tidak mencerminkan dinamika pendidikan terkini," ujarnya.

Ia menilai POP perlu dikaji ulang pelaksanaannya karena program ini telah memunculkan polemik di tengah masyarakat.

"Mundurnya organisasi-organisasi besar dari POP dikhawatirkan dapat berimbas buruk pada perkembangan dunia pendidikan Indonesia. Padahal, hingga saat ini masih banyak permasalahan di dunia pendidikan yang harus kita carikan solusinya. Terlebih, dunia pendidikan nasional juga sangat terdampak oleh pandemi COVID-19," imbuhnya.

Selain itu, Bram mengimbau Kemendikbud untuk memberikan penjelasan secara menyeluruh kepada Komisi X DPR terkait POP dan langkah yang akan diambil ke depan.

Menurutnya Komisi X perlu mengetahui hasil peninjauan ulang POP, perubahan alokasi anggaran, dan revisi program tersebut. Hasil evaluasi ulang POP juga sebaiknya dibuka ke publik, sehingga tidak terjadi polemik yang berkepanjangan.

Sebelumnya tiga organisasi menyatakan mundur dari program organisasi penggerak (POP) Kemendikbud. Ketiganya adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama dan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI)

Alasan Lembaga Pendidikan Ma`arif Nahdhatul Ulama (NU) keluar dari POP karena menganggap program itu tidak jelas.

"Intinya program ini nggak jelas dan konsepnya belum matang," kata Arifin Junaidi, Ketua LP Ma’arif NU, kepada Gresnews.com, Kamis, (30/7/2020).

Lanjut Arifin, organisasi yang dapat menerima bantuan dana POP kriterianya seperti apa itu tidak jelas.

"Ini yang ditetapkan itu kan organisasinya macam-macam sekali," jelasnya.

Misalnya, kata Arifin, ada forum, ada perkumpulan, ada keluarga alumni. Terus sebenarnya seperti apa kriteria organisasinya tersebut.

"Berarti nggak ada kan. Semua bisa," tuturnya.

Kemudian programnya macam-macam sekali yang ditawarkan. Ada metode English, wisata literasi, macam-macam sekali.  "Karena itu nggak ada kriteria kegiatan yang jelas yang bisa didanai," cetusnya.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan KPK juga akan memanggil Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait POP.

"Selanjutnya kami akan panggil tim Kemendikbud, apakah benar-benar ini membuat tidak efisien," ungkapnya melalui konferensi video, Rabu (29/7).

Hal tersebut, katanya, bakal dilakukan setelah pihaknya mengumpulkan laporan dan masukan dari pihak organisasi masyarakat.

Menurutnya hingga kini KPK masih mendalami perkara POP untuk memastikan tidak ada penyelewengan uang negara.

Selain itu, KPK juga ingin memastikan dana yang dianggarkan dalam POP tidak boros dan bisa digunakan secara efektif. Terlebih jumlah anggaran POP termasuk besar, yakni Rp595 miliar. (G-2)

BACA JUGA: