JAKARTA - Belakangan ini berbagai kasus yang cenderung antidemokrasi terus bermunculan, mulai dari ancaman pembunuhan para aktivis hingga ancaman pidana terhadap warga negara yang bersikap kritis terhadap pemerintah.

Kasus terbaru tentang guyonan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang polisi jujur yang diunggah Ismail Ahmad, warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, di Facebook pada Jumat (12/6/2020). Guyonan Gus Dur itu adalah: "Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng."

Namun, buntut dari unggahan itu, ia harus dipanggil ke Mapolres Sula untuk memberikan klarifikasi. Ia juga dikenai keharusan wajib lapor. Kewajiban itu sempat berjalan dua hari namun berhenti setelah Ismail menyampaikan permohonan maaf melalui media massa.

"Tindakan kepolisian dalam kasus (guyonan) Gus Dur itu memperlihatkan bahwa mereka tidak paham arti jaminan kemerdekaan berpendapat," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid kepada Gresnews.com, Sabtu (20/6/2020).

Usman melihat kasus itu sebagai bagian potret besar menurunnya kebebasan berekspresi dalam tahun-tahun terakhir ini.

Ia menjelaskan kasus lainnya seperti kritik dalam penanganan COVID-19 yang disampaikan Ravio Patra. Lalu ada kritik akademik dalam wacana pemecatan presiden di UGM, kritik penanganan insiden rasisme terhadap orang Papua. Begitu juga ketika Amnesty International, BEM UI dan Teknokrat Unila Lampung menggelar acara kritik terhadap UU Mineral dan Batu Bara. "Semuanya memperlihatkan gejala kemunduran demokrasi," ujarnya.

Kembali ke soal guyonan Gus Dur, Usman menegaskan peristiwa itu menunjukkan betapa aparat berwenang di Indonesia ini semakin antikritik.

"Padahal kritik sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dilindungi oleh konstitusi. Dan dalam konteks internasional, Indonesia berkewajiban melindungi hak untuk berpendapat di bawah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi," terangnya.

Usman menegaskan justru tindakan kepolisian yang memeriksa warga tersebut dan memerintahkannya untuk meminta maaf berpotensi melanggar konstitusi. Kalau sudah begitu, akuntabilitas kepolisian sebagai sebuah lembaga bisa dipertanyakan. "Jika kritik disikapi dengan tindakan seperti itu maka kepercayaan masyarakat pada kepolisian akan melemah dan terus menerus mengulangi kekeliruannya," pungkasnya.

Setelah menjadi sorotan nasional, Polres Kepulauan Sula (Kepsul), Maluku Utara akhirnya menghentikan penyelidikan terhadap Ismail Ahmad.

Ternyata, selain Ismail Ahmad, Polres Kepsul juga menghentikan penyidikan atas kasus dugaan penyebaran berita bohong pemilik akun Facebook berinisial RL.

"Terlapor berinsial IA diamankan ke Polres Kepsul, Jumat (12/6), terkait dengan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik melalui Facebook, kata Wakapolres Kepsul Kompol La Ode Arifin Buri melalui siaran pers, Kamis (18/6/2020).

RL diamankan polisi pada Rabu (10/6/2020) atas dugaan penyebaran berita bohong kepada masyarakat.

La Ode menjelaskan, berdasarkan pengakuan RL, unggahan di media sosial itu berdasarkan hasil penelitian lisan bersama teman-temannya. Dalam unggahannya, RL berkesimpulan COVID-19 adalah sebuah kebohongan.

Oleh karena itu, sambungnya, terlapor IA dijerat Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan RL disangkakan Pasal 45 A Ayat 1 UU ITE.

La Ode juga menjelaskan, penghentian penyelidikan atas kasus tersebut lantaran terlapor telah meminta maaf secara terbuka melalui konferensi pers di Polres Kepsul.

Kapolda Maluku Utara Irjen Rikwanto menyatakan, dirinya sudah memberikan teguran kepada Kapolres Kepsul AKBP Irvan dan anak buahnya.

Rikwanto menganggap apa yang dilakukan AKBP Irvan dan anak buahnya adalah tindakan yang kurang tepat. Hal itu didapat setelah dirinya mendalami kasus ini. Baik dari sisi kapolres, anggota yang memeriksa hingga objek yang dipermasalahkan.

Peringatan senada juga dilontarkan Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Awi Setiyono yang mengingatkan AKBP Irvan dan anak buahnya tidak bereaksi berlebihan terhadap suatu candaan yang dilakukan warganya.

Awi mengatakan warga tersebut telah menjelaskan bahwa candaan itu tidak dimaksudkan untuk menghina institusi atau pihak lain. Awi juga berpesan kepada jajaran Polres Kepulauan Sula agar tidak memaksakan pengenaan unsur pidana dalam kejadian ini. (G-2)

BACA JUGA: