JAKARTA - Koalisi Masyarakat Penggugat Harga BBM (KMPHB) melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo karena masih mahalnya harga BBM padahal harga minyak dunia turun.

Pengamat pertambangan dan migas Bisman Bachtiar mengatakan ada ketidakadilan lantaran selama tiga bulan ke belakang harga minyak dunia turun sampai di bawah US$30 per barel namun harga BBM dalam negeri tetap. "Padahal harga jual BBM yang digunakan saat ini ketika harga minyak dunia masih US$60 per barel," kata Bisman kepada Muhammad Shiddiq, reporter Gresnews.com, Kamis (11/6/2020).

Bisman menganggap masyarakat dirugikan karena harus membayar jauh lebih mahal dari harga semestinya. Oleh karena itu KMPHB memandang penting untuk menggugat Presiden Jokowi, didahului dengan memberikan somasi melalui Sekretariat Negara (Setneg).

"Somasi ini peringatan agar segera menurunkan harga BBM, apalagi di tengah kondisi COVID-19 ini, kondisi masyarakat yang sudah susah ditambah susah lagi karena harga BBM yang tidak turun," tandasnya.

Ia menjelaskan BBM merupakan komoditas penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sampai saat ini BBM menjadi sumber energi utama serta pengaruhnya sangat besar bagi perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu negara harus hadir untuk melindungi rakyat dengan harga BBM yang prorakyat.

"Negara atau badan usaha tidak boleh mengambil untung yang berlebihan dari rakyatnya atas harga jual BBM ini," tegas Bisman.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004 menegaskan kegiatan perdagangan BBM yang dimaksudkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 sehingga campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk melindungi rakyat. "Jadi tidak bisa harga BBM ini dijual seenaknya asal cari untung dan disamakan dengan komoditas lain," ujar Bisman.

Mantan anggota DPR Marwan Batubara---tergabung dalam koalisi---mengatakan ada berbagai alasan dari pemerintah tidak menurunkan harga BBM tetapi apa pun alasannya, faktanya pemerintah mempunyai aturan main tentang harga jual BBM, yakni perubahan harga BBM ditentukan oleh harga minyak dunia dan kurs Rp terhadap US$.

Ia menjelaskan Menteri ESDM Arifin Tasrif pada saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR beralasan harga BBM tidak turun karena harga minyak dunia belum stabil, berpotensi turun atau naik (4/5/2020). Pemerintah terus memantau dampak pemotongan produksi OPEC+ (OPEC dan Non-OPEC) dari Mei 2020, Desember 2020 hingga Januari 2021. Menteri ESDM saat itu berpendapat harga BBM di Indonesia salah satu yang termurah di ASEAN dan dunia karena itu pemerintah tidak merasa perlu menurunkan harga BBM.

Sementara itu, lanjut Marwan, Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengatakan harga belum turun karena Pertamina tak bisa memangkas belanja modal dan operasi. Biaya produksi dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan di luar negeri. Biaya produksi minyak Pertamina lebih tinggi 25% dibandingkan dengan harga minyak dunia. Pertamina harus menyerap 100% produksi domestik untuk mengurangi impor.

Jika Pertamina berhenti membeli crude domestik, kegiatan KKKS bisa berhenti, dan menimbulkan efek negatif terhadap bisnis migas nasional, termasuk adanya PHK.

Nicke mengatakan penyesuaian harga akan mudah jika Pertamina trading company. Ketika harga beli murah, BBM bisa langsung dijual murah. Namun karena mengoperasikan kilang berbiaya produksi lebih mahal, harga jual BBM tidak bisa otomatis turun.

Disebutkan harga impor BBM US$22,5 per barel sementara harga beli crude Maret 2020, US$24 per barel. Apalagi karena pandemi korona penjualan BBM turun 50% dibanding rata-rata harian.

Pertamina berpotensi kehilangan keuntungan hingga 51% atau sekitar US$1,12 miliar dari rencana kerja dan anggaran 2020. Target laba 2020 US$2,2 miliar dan pendapatan US$58,33 miliar. Selain itu profit bakal tergerus pula oleh selisih kurs.

Marwan menegaskan apa pun alasannya pemerintah sebenarnya telah lama mempunyai aturan main tentang harga jual BBM, yaitu puluhan peraturan presiden (Perpres), Permen ESDM dan Kepmen ESDM, yang terbit 2104 –2020. Perpres dimaksud adalah: No. 191/2014 dan No. 43/2018. Sedangkan peraturan menteri turunan Perpres adalah No. 39/2014, No. 4/2015, No. 39/2015, No. 27/2016, No. 21/2018, No. 34/2018 dan No. 40/2018. Sedangkan keputusan menteri (Kepmen) turunan Perpres: No. 19K/2019, No. 62K/2019, No. 187/2019, No. 62K/2020 dan No. 83K/2020.

"Hal-hal prinsip dari berbagai peraturan di atas adalah bahwa harga BBM terutama berubah karena perubahan harga minyak dunia dan kurs Rp terhadap US$," kata Marwan kepada Gresnews.com, Kamis (11/6/2020).

Formula BBM merujuk harga BBM di Singapura (Mean of Platts Singapore, MOPS) atau Argus periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya, sampai dengan tanggal 24 satu bulan sebelumnya, untuk penetapan bulan berjalan.

Ia menjelaskan sesuai Kepmen ESDM No. 62K/2020, formula harga jenis Bensin di bawah RON 95, Bensin RON 98, dan Minyak Solar CN 51, adalah: MOPS atau Argus + Rp1800/liter + Margin (10% dari harga dasar).

Sebagai contoh, dengan formula di atas, sesuai MOPS rata-rata 25 Februari sampai dengan 24 Maret 2020 dan kurs rupiah Rp15.300 per US$ maka diperoleh harga BBM yang berlaku 1 April 2020 untuk jenis Pertamax RON 92 sekitar Rp5.500 dan Pertalite RON 90 sekitar Rp5.250 per liter.

Faktanya harga resmi BBM di SPBU masing-masing adalah Rp9.000 dan Rp7.650. Dengan demikian, jika mengacu harga sesuai formula, konsumen BBM Pertamax membayar lebih mahal Rp2.000-Rp3.500 per liter.

Hal sama juga terjadi untuk BBM Tertentu (solar) dan Khusus Penugasan (Premium), namun dengan nilai kemahalan sekitar Rp1.250-Rp1.500 per liter. Untuk semua jenis BBM rerata nilai kemahalan diasumsikan Rp2.000 per liter.
 
Untuk harga BBM yang mulai berlaku 1 Mei 2020, nilai MOPS rata-rata 25 Maret sampai dengan 24 April 2020 dan kurs US$ lebih rendah dibanding April. Karena itu diasumsikan konsumen semua jenis BBM secara rerata membayar lebih mahal sekitar Rp2.500 per liter.
 
Jika selama pandemi korona konsumsi BBM untuk semua jenis BBM diasumsikan sekitar 100.000 kilo liter per hari, nilai kelebihan bayar untuk April 2020 adalah 100.000 kl x 30 hari x Rp2.000 = Rp6 triliun.

Untuk Mei 2020, nilai kelebihan bayar adalah 100.000 kl x 31 x Rp2.500 = Rp7,75 triliun. Sehingga selama April dan Mei 2020, konsumen BBM Indonesia diperkirakan membayar lebih mahal sekitar Rp13,75 triliun.

Sebagian rakyat mungkin mampu membayar harga BBM sesuai ketetapan pemerintah. Harga BBM di Indonesia mungkin juga relatif lebih murah dibandingkan dengan harga BBM di negara lain dan juga sudah cukup rendah dibandingkan dengan harga produk-barang lain, sehingga tidak turunnya harga BBM April dan Mei 2020 dapat dimaklumi.

"Namun karena berbagai alasan di bawah ini rakyat harus menggugat pemerintah dan menuntut ganti sebesar Rp13,75 triliun di atas," katanya.

Pertama, pemerintah telah menetapkan formula harga BBM, dan untuk BBM umum telah diterapkan secara rutin setiap bulan sejak 2014. Jika formula tidak diterapkan pada April dan Mei 2020, walau Menteri ESDM dan Dirut Pertamina memiliki 1.000 alasan sekali pun, hal tersebut tetap saja pelanggaran sangat nyata terhadap peraturan yang harus dipertanggungjawabkan.
 
Kedua, penyebab utama keuangan Pertamina bermasalah berpotensi gagal bayar adalah pemerintah yang bertindak melanggar berbagai aturan demi pencitraan politik sempit.

Harga BBM tidak disesuaikan sesuai formula Perpres/Pemen sejak April 2016 hingga Desember 2019. Demi pencitraan politik Jokowi ini Pertamina menanggung beban subsidi sekitar Rp 80 triliun. Meskipun kelak beban tersebut akan dibayar pemerintah, namun jadwalnya tidak jelas.
 
Ketiga, akibat kebijakan populis pemerintah, Pertamina juga menanggung utang obligasi minimal US$12,5 miliar yang harus dibayar bunga/kuponnya sekitar Rp10 triliun per tahun.

Keempat, Pertamina harus membeli crude produksi dalam negeri dengan harga berdasar formula Indonesia Crude Price (ICP) bernuansa moral hazard, karena lebih mahal sekitar US$13-15 per barel (Duri) dan US$ 8-9 per barel. Harga yang lebih mahal ini menjadi beban tambahan bagi Pertamina.

Kelima, keuangan Pertamina juga dibebani kebijakan yang melanggar aturan dan public service obligation (PSO) yang seharusnya ditanggung pemerintah tapi tidak tersedia di ABPN. Kebijakan tersebut antara lain signature bonus Blok Rokan, BBM satu harga, overkuota LPG 3kg, dan lain-lain.

Ia menegaskan apa pun alasannya harga BBM bulan Mei 2020 harus turun karena peraturan formula harga BBM masih berlaku. Jika kondisi keuangan Pertamina bermasalah, bukan konsumen BBM yang harus menanggung. (G-2)

BACA JUGA: