JAKARTA - Pada saat merebaknya pandemi COVID-19 seperti saat ini, pemerintah diminta untuk mewaspadai kemungkinan pelemahan nilai tukar rupiah berlangsung dalam waktu lama karena bisa berdampak pada sektor riil. Jika nilai tukar melemah, beban utang perusahaan-perusahaan yang dibayar dalam mata uang dolar akan menjadi lebih berat. 

Dalam waktu kurang dari sepekan terakhir, nilai tukar rupiah menembus Rp16.000/US$, per hari ini. Harga minyak dunia anjlok menjadi US$20 per barel dari posisi harga semula pada kisaran US$50 ribu per barel. Masyarakat diliputi kecemasan akan kemungkinan terjadinya krisis ekonomi.

Namun, Direktur Riset Center of Reform on Economics Indonesia (CORE Indonesia) Piter Abdullah Redjalam berpendapat kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan baik.

"Perekonomian kita nggak apa-apa. Baik-baik saja. Ya, yang harus dipisahkan begini, ya. Orang kalau (nilai tukar rupiah) Rp16.000 sudah beranggapan yang sangat negatif. Nggak juga. Harus dipisahkan antara sektor keuangan dan sektor riil. Itu sedikit terpisah," kata Piter kepada Gresnews.com, Kamis (19/3).

Dia mengatakan penyebab melambungnya nilai rupiah ialah kepanikan di pasar keuangan global akibat pandemi COVID-19 dan itu tidak mencerminkan kondisi di sektor riil sepenuhnya. Rupiah melemah itu sangat wajar. Sesuatu yang pasti terjadi. Hal yang perlu dikhawatirkan adalah lonjakan beban utang perusahaan swasta. "Kalau utang pemerintah, no problem," ujarnya.

Ia pun berpendapat kondisi sekarang belum bisa disamakan dengan keadaan krisis 1997-1998. Merosotnya nilai rupiah bukan disebabkan oleh krisis ekonomi seperti pada 1997 melainkan dipicu oleh pandemi COVID-19. "Jangan dilihat Rp16.000. Saat ini Rp16.000 itu naik dari Rp13.000, beda dengan tahun 1997. Tahun 1997 itu jadi Rp16.000 dari Rp2.000," jelasnya.

Mengenai penurunan harga minyak dunia, Piter mengatakan hal tersebut tentu berimbas pada perekonomian, baik imbas positif maupun negatif. Positifnya, posisi Indonesia sebagai pengimpor (net importir), dengan harga minyak turun, berarti beban subsidi pemerintah turun. "Tapi di sisi lain, kita kan masih ada ekspor minyaknya. Penerimaan dari ekspor kita berkurang. Itu saja," jelasnya.

Menyikapi berbagai persoalan tersebut, Piter menyarankan agar semua pihak berpikir positif dan jangan panik. Pemerintah sudah memiliki langkah-langkah untuk mengatasinya. Pelemahan nilai mata uang adalah sesuatu yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, namun dihadapi juga oleh hampir semua negara di dunia.

"Bencana ini bencana global. Semua harus solid dan kompak. Tidak menjadikan ini sebagai isu politik. Sekarang ini beredar, yang saya baca itu, sudah mengarah ke politik semua," tuturnya.

Saat ini, kata dia, pemerintah memang tak bisa berbuat banyak untuk menahan pelemahan rupiah, lantaran adanya sentimen kepanikan global. Namun, yang terpenting adalah pemerintah fokus menyelesaikan inti masalahnya, yakni penanganan COVID-19 di dalam negeri. "Selanjutnya memberikan stimulus ekonomi, bantuan kepada sektor dunia usaha, memberikan bantuan kepada UMKM, serta masyarakat miskin," kata Piter.

Pada saat berita ini diturunkan, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia adalah sebanyak 309. Dari jumlah itu, yang meninggal sebanyak 25 orang dan yang sembuh 15 orang. Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo telah mengumumkan hasil tes deteksi COVID-19, Kamis pagi di Istana Bogor, 19 Maret 2020. Dari hasil yang diterima, keduanya dinyatakan negatif.

Kemarin, Presiden datang seorang diri dengan pengawalan Paspampres disambut oleh Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso untuk mengecek ketersediaan pangan di Bulog. 

Presiden juga memerintahkan dilakukannya tes cepat (rapid test) dengan cakupan yang lebih luas untuk mendeteksi secara dini apakah seseorang terpapar virus korona penyebab COVID-19. Alat-alat tes atau pemeriksaan tersebut juga diharapkan dapat diperbanyak dengan segera dan tersedia secara luas di sejumlah fasilitas kesehatan.

Hal itu disampaikan Presiden saat memimpin rapat terbatas untuk membahas laporan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis, 19 Maret 2020.

“Saya minta alat-alat rapid test terus diperbanyak, juga memperbanyak tempat-tempat untuk melakukan tes, dan melibatkan rumah sakit baik milik pemerintah, BUMN, Pemda, TNI dan Polri, swasta, serta lembaga-lembaga riset dan pendidikan tinggi yang mendapat rekomendasi dari Kementerian Kesehatan,” ujarnya.

(G-2)

BACA JUGA: