JAKARTA - Ancaman krisis ekonomi membayangi Indonesia. Sejumlah kebijakan ditelurkan, mulai dari penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang menggunakan model omnibus law oleh pemerintah dan DPR hingga memberikan stimulus ekonomi. Celakanya, banyak kritik terlontar karena langkah-langkah tersebut dinilai tidak tepat sasaran dan justru merugikan para buruh, yang semua itu berpotensi memicu gejolak sosial. Perlu ada solusi yang jika diterapkan tidak memberikan dampak buruk bagi masyarakat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan Bank Indonesia (BI) bisa melakukan injeksi sistem keuangan dengan melepas simpanan perbankan untuk meningkatkan peredaran uang di masyarakat demi menjaga perekonomian Indonesia.

Menurut doktor lulusan Universitas Indonesia (2010) dengan disertasi berjudul Impact of Banking Integration on Competition and Fragility itu, simpanan yang dilepas tersebut dapat digunakan oleh perbankan untuk membeli surat utang negara (SUN) yang dikeluarkan pemerintah. Setelah memperoleh SUN, perbankan bisa menjual kembali surat berharga tersebut kepada BI. Dari aktivitas tersebut, perbankan bisa meningkatkan likuiditas, sehingga perbankan dapat mengucurkan kredit ke masyarakat.

"Itu yang dilakukan oleh Jepang, Inggris, Eropa, Amerika. Jumlahnya ribuan triliun," kata Piter kepada Gresnews.com dalam sebuah diskusi di Jakarta, pekan lalu.

Penulis Banking Crime and The Effectiveness of Banking Supervision: Combining Game Theory and Analytic Network Process (ANP) Approach itu menjelaskan, krisis keuangan mulai terjadi bila penerimaan pajak terus berkurang. Oleh sebab itu, diperlukan dana segar yang masuk. Apalagi kini pemerintah sedang membutuhkan dana untuk pembangunan ibu kota baru. Pemerintah bisa mengeluarkan surat berharga seperti surat utang untuk pembangunan ibu kota baru Rp400 triliun. Surat utang tersebut dibeli oleh BI dengan menggunakan dana simpanan perbankan.

"Dalam sekejap pemerintah punya uang Rp400 triliun, digunakan untuk membiayai ibu kota baru. Masuk ke perekonomian. Selesai, cepat, nggak usah pakai omnibus law," ujarnya.

Tapi masalahnya, kata dia, ada aturan bahwa BI tidak boleh membeli surat utang pemerintah di pasar primer, hanya boleh di pasar sekunder. Maka pembeliannya bisa dilakukan secara tidak langsung, melalui perbankan dengan mekanisme tertentu yang tentu sah secara hukum.

Menurut peraih gelar master di bidang pembangunan ekonomi International University of Japan itu, saat ini pemerintah seperti putus asa untuk mendapatkan investasi. Padahal, peluang di dalam negeri itu besar dan tidak perlu terlalu berharap dari investai asing. Karena bila porsi dana asing terlalu besar, itu justru berbahaya. Bila terjadi guncangan ekonomi maka dana asing tersebut akan keluar.

"Ini hal-hal yang sebenarnya banyak sekali yang bisa kita lakukan di dalam perekonomian kita. Tanpa kita harus ngemis-ngemis dari asing. Tapi pahami moneter kita, pahami keuangan kita," kata Piter, yang pernah bekerja selama 23 tahun di BI itu.

Selama ini, BI memberi insentif bagi perbankan ketika menaruh sebagian Dana Pihak Ketiga (DPK). Namun, Piter menganggap kebijakan itu mendistorsi sistem keuangan, karena bank cenderung menyimpang uangnya di BI ketimbang menyalurkannya ke dalam kredit. Alhasil, perbankan menjadi lebih fokus menggaet DPK dengan berlomba-lomba menawarkan suku bunga simpanan yang tinggi. Dampaknya pertumbuhan penyaluran kredit menjadi rendah. Di sisi lain, suku bunga simpanan yang tinggi juga mendorong kenaikan suku bunga kredit, dan berimbas pada kenaikan tingkat kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL).

Efeknya adalah perbankan Indonesia malah memperoleh pertumbuhan laba yang signifikan dengan menyimpan DPK di bank sentral serta berinvestasi di SUN. Padahal, menurutnya, perbankan seharusnya meraih laba dari penyaluran kredit. "Ini adalah situasi anomali," ungkap dia.

Piter lantas membandingkan langkah BI dengan otoritas moneter AS, The Fed, yang justru gencar menyuntik dana ke perbankan setempat melalui ekspansi dana diskonto. Akibatnya, bank memiliki alternatif pendanaan selain DPK dan tidak mematok suku bunga simpanan yang tinggi. Ketika The Fed memangkas suku bunga acuannya menjadi 2%, tak satu pun perbankan yang menawarkan bunga di atas 2%. Hal itu memicu nasabah melakukan ekspansi bisnis ketimbang menahan DPK demi mendapatkan keuntungan.

Dengan kata lain, The Fed berperan sebagai pemberi pinjaman, bukan menjadi wadah penyimpan uang perbankan seperti bank sentral (BI) di Indonesia. Maka tak heran bila bunga kredit perbankan di dalam negeri sulit turun meski BI memotong bunga acuan menjadi 4,75%.

Statistik BI menunjukkan, pertumbuhan kredit melambat dari 11,75% pada 2018 menjadi 6,08% pada 2019. Sedangkan pertumbuhan DPK pada 2019 mencapai 6,54% atau sedikit membaik dibandingkan dengan pertumbuhan pada 2018 sebesar 6,45%.

(G-2)

BACA JUGA: