JAKARTA - Pengelolaan Blok Rokan yang terletak di Provinsi Riau akan beralih ke PT Pertamina (Persero) pada Agustus 2021 setelah dikuasai oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) selama lebih dari setengah abad. Blok Rokan adalah penghasil minyak terbesar di Indonesia, dengan puncak produksi yang mencapai sekitar satu juta barel per hari (bph) pada 1980-an. Tapi saat ini produksi blok migas seluas 6.264 kilometer persegi tersebut hanya 160.000-an bph, dan berpotensi hanya menghasilkan minyak 140.000-an bph pada 2021.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menduga ada kelalaian dan pelanggaran peraturan oleh CPI dan pemerintah, terutama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Akibatnya tingkat produksi Blok Rokan akhirnya menurun lebih cepat dari pada tingkat penurunan alaminya, karena telah berumur "tua".

"Kondisi saat ini produksi migas nasional yang terus menurun pada 6-7 tahun terakhir, Indonesia harus mengimpor minyak (dan BBM) lebih banyak dari yang mampu diproduksi," kata Marwan kepada Gresnews.com, Sabtu (14/3).

Menurut dia, pada saat harga minyak dunia naik, meningkatnya impor minyak berdampak pada naiknya defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan (current account deficit). Itu sebabnya Presiden Joko Widodo sangat menaruh perhatian dan berulang-ulang mengingatkan isu defisit kepada jajaran kabinetnya dalam dua tahun terakhir.

Saat ini masalah defisit itu sedikit tertolong karena turunnya harga minyak dunia akibat membanjirnya pasokan dan melemahnya permintaan, terutama karena pandemi COVID-19. Khusus untuk Blok Rokan, siapa pihak yang pantas dituntut untuk bertanggung jawab?

Marwan menjelaskan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR (20/1/2020), Presiden CPI Albert Simanjuntak menerangkan CPI sudah tidak melakukan pengeboran lagi di Blok Rokan sejak 2019 karena menilai investasinya tidak ekonomis. Untuk mempertahankan tingkat produksi, Albert mengatakan ada tiga opsi yang dapat diambil.

Opsi pertama, CPI yang mendanai dan mengebor. Opsi kedua, CPI mengebor dan Pertamina yang mendanai. Opsi ketiga, Pertamina yang mengebor dan mendanai. Namun opsi pertama sudah tidak berlaku karena CPI telah menghentikan investasi, karena menganggapnya tidak ekonomis.

Saat RDP tersebut Albert mengaku telah melakukan proses rencana alih kelola Blok Rokan di bawah koordinasi SKK Migas. "Untuk itu telah dibentuk tim koordinasi, dan diakui proses tersebut sudah memiliki jadwal yang disepakati dan berjalan baik," ungkapnya.

Namun, ternyata hingga saat ini, ketiga opsi tersebut belum ada yang terlaksana. Dalam hal ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, (26/1/2020), Pemerintah terus mendorong proses transisi Blok Rokan dapat berjalan mulus supaya Pertamina segera berinvestasi, sehingga penurunan laju produksi dapat ditekan.

Guna mengantisipasi dan menjamin tingkat produksi terjaga, pemerintah memang telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM 26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Biaya Investasi pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 2 Permen ESDM 26/2017 menyatakan: (1) Kontraktor wajib menjaga kewajaran tingkat produksi migas sampai berakhirnya masa Kontrak Kerja Sama (KKS); (2) Dalam rangka menjaga tingkat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontraktor wajib melakukan investasi pada Wilayah Kerjanya.

Permen ESDM 26/2017 telah direvisi dengan Permen ESDM 24/2018 yang menjamin pengembalian investasi CPI segera dibayar Pertamina sebelum KKS berakhir. Pasal 8 Permen ESDM 24/2018 antara lain menyatakan bahwa kontraktor baru (maksudnya Pertamina) wajib melakukan penyelesaian atas nilai pengembalian Biaya Investasi yang dikeluarkan CPI paling lambat tujuh hari sebelum penandatanganan KKS oleh Pertamina.

Dia menegaskan hingga saat ini kesepakatan antara CPI dan Pertamina belum juga tercapai, sehingga produksi minyak berpotensi terus turun. "Dalam hal ini kita pantas mempertanyakan atau menggugat CPI dan SKK Migas bertanggung jawab atas potensi kegagalan lifting," katanya.

Terkait CPI, pertama, dinyatakan pada RDP Komisi VII DPR bahwa CPI siap bekerja sama dengan SKK Migas dan Pertamina untuk menciptakan alih kelola yang lancar. Namun, pada praktiknya, CPI tampaknya justru bersikap tidak kooperatif.

Kedua, CPI dapat dianggap membuat pernyataan yang tidak benar di hadapan DPR dengan menyebutkan bahwa investasi di Blok Rokan sudah tidak ekonomis, sehingga CPI tidak melakukan pengeboran. Namun pada saat yang sama CPI menghalangi Pertamina menjalankan opsi ketiga di mana Pertamina yang melakukan pengeboran sekaligus berinvestasi, dengan berbagai alasan yang lebih bersifat administratif.

Ketiga, CPI telah sengaja mengabaikan kewajiban, serta melecehkan peraturan dan kedaulatan negara dengan melanggar Pasal 2 Permen ESDM 26/2017. Peraturan tersebut mewajibkan Kontraktor KKS melakukan investasi guna menjaga tingkat produksi, karena pada prinsipnya seluruh investasi yang dilakukan akan segera dibayarkan kembali oleh Pertamina sebelum KKS berakhir, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Permen ESDM 24/2018.

Keempat, terkait dengan butir ketiga di atas, pada praktiknya CPI mengakui telah menghentikan pengeboran sejak 2019. Dalam hal ini, rencana tersebut mestinya telah termuat dalam Work Program and Budget (WP&B) yang disepakati dengan SKK Migas pada akhir 2018 atau awal 2019. Dengan kondisi seperti ini, tampak bahwa sebelum negosiasi alih-kelola berlangsung, CPI telah menunjukkan iktikad tidak baik tanpa peduli kepentingan nasional untuk mempertahankan produksi melalui pengelolaan Blok Rokan yang optimal. 

"Terkait dengan SKK Migas, kita perlu mengungkap dan menggugat berbagai kelalaian atau pelanggaran yang dilakukan, yang dapat dicurigai bernuansa moral hazard dalam pengelolaan Blok Rokan," duga Marwan.

SKK Migas telah lalai menjalankan tugas dan fungsi sesuai Permen ESDM 17/2017 yang antara lain memberikan persetujuan rencana WP&B, serta memantau dan melaporkan pelaksanaan KKS kepada Dewan Pengawas, agar produksi terjaga.   

Kedua, terkait dengan butir pertama, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) 9/2013, Menteri ESDM sebagai Kepala Dewan Pengawas SKK Migas juga dituntut ikut bertanggung jawab atas penurunan produksi tersebut, karena membiarkan sikap tidak kooperatif CPI dan kelalaian SKK Migas mengendalikan pelaksanaan KKS dan WP&B Blok Rokan.

Menteri ESDM Arifin Tasrif (dan yang sebelumnya Ignatius Jonan) tidak cukup hanya bersikap “mendorong” penyelesaian proses alih-kelola, tanpa menggunakan kekuasaan untuk memaksa dijalankannya peraturan. 

Ketiga, sebagai pengawas pelaksanaan WP&B berdasarkan SK Kepala SKK Migas 0154/SKKO/2015 tentang Pedoman Tata Kerja WP&B, SKK Migas telah lalai atau sengaja membiarkan CPI tidak melakukan pengeboran pada 2019, sehingga produksi terancam.

Marwan menduga ada dua kemungkinan sebagai sumber masalah yakni: 1) SKK Migas membiarkan CPI yang sejak semula tidak merencanakan pengeboran pada 2019, tanpa memaksa untuk melakukan revisi WP&B sesuai ketentuan PTK 0154/2015; dan 2) SKK Migas membiarkan saja CPI tidak merealisasikan pengeboran meskipun pada awalnya CPI telah membuat rencana dalam WP&B.

Keempat, berangkat dari pengalaman alih kelola Blok WMO dan Mahakam, tanpa adanya peraturan pendukung dan peran aktif SKK Migas maka produksi migas telah menurun drastis saat pengelolaan berpindah tangan.

Untuk kasus Blok Rokan, peraturan pendukung telah tersedia, yakni Permen ESDM 26/2017 dan 24/2018. Namun, karena ketidakpedulian SKK Migas, yang seharusnya berperan aktif dan antisipatif, malah terkesan enggan melakukan koreksi, penurunan produksi seperti kasus WMO dan Mahakam akan kembali terulang.

(G-2)

 

BACA JUGA: