JAKARTA - Harga minyak dunia turun dan berada pada angka US$30 (Rp431 ribu, kurs hari ini) per barel. Penurunan itu dipicu oleh strategi Arab Saudi untuk membanjiri pasar dengan minyak mentah demi merebut kembali pangsa pasar. Indonesia tentu terkena dampak yang tak bisa diremehkan, terlebih lagi kecemasan akibat bahaya virus korona masih membayangi, seiring bertambahnya warga yang diumumkan positif COVID-19.

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan anjloknya harga minyak dunia membuat harga komoditas seperti sawit dan batu bara juga menurun, lantaran harga minyak mentah sering kali menjadi acuan harga komoditas ekspor unggulan. "Ini sangat berbahaya untuk kinerja ekspor tahun 2020," kata Bhima kepada Gresnews.com, Rabu (11/3).

Menurut Associate pada Center of Innovation and Digital Economy INDEF itu, masalah wabah korona telah menghantam kinerja neraca dagang Indonesia dan bila ditambah dengan adanya perang harga minyak, bisa memicu resesi ekonomi. Kepanikan juga melanda pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga telah turun 6,9% dalam sepekan terakhir yang memicu investor asing melakukan aksi jual saham sebesar Rp1 triliun. Dana asing yang keluar membuat rupiah semakin tertekan sehingga rupiah diperkirakan melemah ke kisaran Rp14.500-Rp15.000 dalam jangka waktu pendek.

Ia menjelaskan dampak lainnya adalah pada penerimaan negara, baik Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun Pajak Penghasilan (Pph) Migas. Kedua jenis penerimaan negara itu akan menurun seiring harga minyak saat ini yang besarnya di bawah asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020.

Namun, lanjutnya, penurunan harga minyak tersebut ada juga dampak positifnya, yakni pada pengurangan beban subsidi BBM dalam APBN, meskipun dalam empat tahun terakhir, pemerintah sudah memangkas belanja subsidi BBM besar besaran. Bagi masyarakat, dengan harga minyak murah, otomatis BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Dex juga akan turun harganya.

Bhima menjelaskan agar perekonomian berjalan maka perlu ada evaluasi pertumbuhan ekonomi. Asumsi pertumbuhan pada semester I ini pada kisaran 4,5%-4,8% tapi tak menutup kemungkinan secara full year berada di bawah 4,5%

Harga minyak dunia anjlok sebesar 27% pada Senin (9/3) menjadi US$33,09 per barel, yang terjadi setelah Arab Saudi mengejutkan pasar dengan menyatakan perang harga dengan Rusia yang pernah menjadi sekutunya. Sementara itu pada Minggu (9/3) malam, harga minyak mengalami penurunan di level terendah sejak 1991.

Melansir CNN (9/3), harga minyak AS jatuh sebanyak 27% ke level terendah selama empat tahun menjadi US$30 per barel, yang disebutkan terjadi karena Arab Saudi bersiap membanjiri pasar dengan minyak mentah dalam upaya untuk merebut kembali pangsa pasar.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama jajaran terkait membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2021 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2021 dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, pada Senin, 9 Maret 2020.

Dikutip dari presidenri.go.id, Presiden Jokowi, dalam arahannya, meminta agar kebijakan fiskal untuk tahun 2021 mendatang dirancang untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional yang mampu mengatasi berbagai risiko yang muncul sekaligus melindungi ekonomi negara dari gejolak dan ketidakpastian ekonomi global, termasuk akibat merebaknya virus korona. Untuk itu, sejumlah risiko ketidakpastian tersebut harus dikalkulasi dalam proses perancangan sekaligus melakukan mitigasi terhadapnya.

“Saya minta sekali lagi untuk dikalkulasi secara detail mengenai risiko pelemahan ekonomi global termasuk akibat dari merebaknya virus korona yang terjadi di awal tahun ini dan kemungkinan dampak ekonomi lanjutan di tahun 2021. Langkah-langkah mitigasi yang kita kerjakan tahun 2020 ini harus diperkuat lagi untuk tahun 2021,” ujar Presiden Jokowi.

Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan penurunan volume perdagangan global, Presiden Jokowi mengatakan pemerintah harus tetap optimistis. Apalagi ekonomi Indonesia pada 2019 masih mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,02% di tengah situasi dan kondisi tersebut.

(G-2)

 

BACA JUGA: