JAKARTA - Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor ore atau bijih nikel sejak 1 Januari 2020. Tujuannya adalah agar perusahaan smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang) di dalam negeri mendapatkan pasokan bijih nikel dari para penambang. Namun, kenyataannya, pada saat ini tidak ada kesesuaian harga antara para penambang nikel dan perusahaan smelter yang menyerap hasil bijih nikel.

Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengatakan pembangunan smelter sangat penting bagi industri nikel di Indonesia untuk mengelola bahan tambang dan dimurnikan, sehingga nikel bisa diolah menjadi bahan baku industri. "Namun pembangunan smelter masih terhambat berbagai macam hal," kata Irwandy kepada Gresnews.com seusai sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ia menjelaskan saat ini sebanyak 21 smelter telah selesai dibangun, sedangkan 27 smelter lainnya diharapkan selesai dibangun pada 2021. Namun hal itu belum dapat diketahui pasti karena banyak hambatan yang terjadi mulai dari masalah finansial, energi, pasokan listrik, pembebasan lahan, peraturan daerah, dan sebagainya.

Masalah lainnya adalah dampak dari larangan ekspor nikel ke luar negeri yang sangat mempengaruhi industri nikel. Penetapan harga nikel menjadi kendala bagi pengusaha tambang dan smelter. Mereka merasa harga nikel tidak menentu sehingga para pengusaha tambang dan smelter nikel saling berbenturan.

Sebelumnya, sejak September 2019, pemerintah secara resmi mengumumkan percepatan larangan ekspor ore nikel, lebih cepat dari jadwal semula pada 2022. Bersamaan dengan itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan bahwa ore nikel yang selama ini diekspor akan diserap smelter dalam negeri dengan harga maksimal US$30 per metrik ton.

Saat itu, para penambang sempat menolak percepatan larangan tersebut. Pemerintah pun mengumpulkan para penambang dan perusahaan smelter. Salah satunya Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang mengumpulkan kedua pihak pada 12 November 2019. Bahlil mengumumkan kedua pihak sepakat dengan larangan itu.

Namun masalah baru muncul ketika smelter hanya menerima bijih nikel dengan kadar 1,8%, sedangkan surveyor yang dimiliki smelter menilai kadar bijih nikel penambang memiliki kandungan rendah atau 1,7% ke bawah. Akibatnya, ada 3,8 juta bijih nikel 1,7% yang tak bisa diekspor karena dilarang dan tak bisa diserap smelter karena memiliki kandungan rendah.

Irwandy menyatakan Kementerian ESDM akan mencari jalan penyelesaian masalah itu. "Jadi prinsip keadilan itu tetap dianut, baik antara pengusaha smelter maupun pengusaha nikel. Mereka yang arogan, tentunya akan berhadapan dengan kementerian ESDM. Jadi ini perhatian utama," tuturnya.

Sementara itu Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto mempertanyakan bagaimana bisa larang ekspor yang awalnya 2022 dimajukan ke 2020. Itu membuktikan pemerintah tidak konsisten.

"Keluarnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang penjualan nikel dengan kadar di bawah 1,7% ke luar negeri paling lama 31 Desember 2019 ternyata bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 bahwa ekspor itu dalam jumlah tertentu paling lama sampai 11 Januari 2022," katanya.

Sugeng menekankan, pemerintah, asosiasi, dan DPR harus sama-sama mencari jalan keluar. Solusi tersebut harus memenuhi empat aspek, yaitu kepastian dalam hukum, kepastian dalam usaha, harus ada keadilan, serta harus berkelanjutan.

Dalam hal nikel, Sugeng yakin bahwa persoalan tersebut tidak hanya harus diselesaikan secara pendekatan ekonomi saja tetapi perlu juga menggunakan pendekatan politik. "Saya merasa di kasus nikel ini ada abuse of power dan layak dibentuk Pansus (Panitia Khusus)," ujar Sugeng.

(G-2)

BACA JUGA: