Herlambang P Wiratraman, Universitas Airlangga dan Amira Paripurna, Universitas Airlangga

Indonesia saat ini sangat membutuhkan investor luar negeri untuk membeli dan membangun asetnya melalui penanaman modal asing (PMA) guna mengembangkan industri dan menyerap tenaga kerja Indonesia.

Salah satu upaya pemerintah untuk menarik investor luar adalah melalui rencana pengesahan Omnibus Law atau yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang (UU) Sapu Jagat.

UU Sapu Jagat diharapkan dapat berperan efektif membabat aturan tumpang tindih dalam sistem perundangan-undangan yang dapat membuat investor enggan datang.

Salah satu bentuk UU Sapu Jagat yang akan dikeluarkan untuk menarik investor luar adalah UU Cipta Kerja (sebelumnya ‘Cipta Lapangan Kerja’). UU yang draftnya sudah beredar di masyarakat ini berusaha memperbaiki aturan ketenagakerjaan dengan menyederhanakan regulasi terutama untuk memenuhi target investasi luar negeri yang jumlahnya tidak pernah tercapai sejak 2018. Pada 2018, realisasi PMA hanya 82,3% dari target dan setelahnya target tidak pernah tercapai.

Namun penelitian World Economic Forum (WEF) tahun 2017 menunjukkan bahwa aturan ketenagakerjaan bukan merupakan faktor utama yang membuat para investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia.

Korupsi dan birokrasi yang mengganggu

Penelitian WEF tersebut menunjukkan terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia.

Dari 16 faktor di atas, korupsi menjadi kendala utama yang disusul oleh inefisiensi birokrasi, infrastruktur tidak memadai, kebijakan dan ketidakstabilan pemerintah.

Lantas bagaimana dengan aturan tenaga kerja?

Peraturan ketenagakerjaan hanya berada dalam posisi ke-13 sebagai faktor yang mempengaruhi enggan tidaknya investor menanamkan modalnya di Indonesia.

Namun langkah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini justru sebaliknya.

Pemerintah malah mengutamakan perubahan pada regulasi ketenagakerjaan melalui UU Sapu Jagat Cipta Kerja, dan secara perlahan menyulitkan proses pemberantasan korupsi dengan melemahkan posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perubahan regulasi ketenagakerjaan yang pernah dilakukan pada tahun 2015 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 pun tidak terbukti memperbaiki iklim investasi.

Bisa dilihat bahwa investasi asing pada kuartal satu 2016 sebesar Rp 96,1 triliun atau turun dari kuartal keempat tahun sebelumnya yang mencapai Rp 99,2 triliun, penurunan pertama kali dalam lima tahun.

PP Nomor 78 Tahun 2015 yang meniadakan hak berunding buruh dalam penentuan upah justru mempengaruhi hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja dan terbukti tidak efektif.

Aksi-aksi buruh tetap berlangsung, seruan mogok kerja terus menerus dilakukan. Konsekuensinya pemerintah akan merugi, serta menimbulkan keresahan publik yang berkepanjangan, baik bagi buruh maupun iklim usaha.

Hal yang sama kemungkinan akan terulang lagi dengan UU Sapu Jagat Cipta Kerja. Alih-alih meningkatkan investasi, kontroversi UU tersebut malah akan memperburuk iklim usaha di Indonesia.

Masalah lain

Dalam proses penyusunan UU, Indonesia memang masih memiliki masalah besar terkait aksesibilitas publik terhadap proses yang terjadi.

Demo buruh pada 20 Januari 2020 yang lalu untuk menanggapi draft UU Sapu Jagat Cipta Lapangan Kerja bisa dilihat sebagai salah satu implikasi dari ketidakjelasan aksesibilitas dalam mekanisme rancangan legislatif di Indonesia.

Lalu muncul banyaknya multitafsir dalam pasal-pasal yang ada dan belum lagi masalah pelaksanaan.

Berkurangnya hak-hak buruh

Diperkirakan hingga lima tahun ke depan akan ada sejumlah perubahan undang-undang (deregulasi) di bidang perburuhan untuk mencapai stabilitas perekonomian. Hal ini karena politik hukum perburuhan di Indonesia memang berorientasi untuk mendorong iklim investasi kondusif, kepentingan korporasi, serta mendukung penanaman modal.

Deregulasi aturan ketenagakerjaan melalui pengesahan UU Cipta Kerja sebenarnya tak mengubah soal paradigma pembaruan hukum neo-liberal yang lebih menitikberatkan kepentingan pasar.

Akibatnya hak-hak buruh akan semakin tidak dipedulikan seperti terkait besaran pemberian pesangon.

Bram Adimas Wasito ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel iniThe Conversation

Herlambang P Wiratraman, Researcher at the Centre of Human Rights Law Studies, Universitas Airlangga dan Amira Paripurna, , Universitas Airlangga

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

BACA JUGA: