JAKARTA - Kasus penjebakan seorang perempuan yang dilacurkan (pedila) di Padang, Sumatera Barat, oleh politisi Partai Gerindra Andre Rosiade dinilai oleh pendamping Jaringan Peduli Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Dinna Wisnu sebagai tindakan yang keji.

Bahkan Dinna mengategorikan perbuatan itu sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO), lantaran pekerjaan NN sebagai dikendalikan oleh mereka yang biasa disebut mucikari. Karena merupakan TPPO, seharusnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan berada di garda terdepan melakukan tugasnya. Namun kementerian itu malah `diam` kendati kasus itu sudah ramai dibicarakan oleh publik. "Karena itu kami harus bicara dan sesalkan betul kenapa gugus tugas bukan menjadi yang terdepan bicara soal ini. Makanya kami ambil inisiatif sebagai Jaringan yang tiap hari memantau seperti ini," kata Dinna kepada Gresnews.com, Jumat (14/2).

Lambannya penanganan kasus yang terindikasi TPPO itu menjadi indikasi kurang efektifnya Gugus Tugas TPPO (Perpres 69/2008) di bawah Ketua Harian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. "Kami mendesak pemerintah pusat melalui Gugus Tugas TPPO menjelaskan tentang grand strategy pemberantasan TPPO, khususnya terkait koreksi atas pandangan yang keliru terhadap fenomena pekerja seksual di Indonesia," ujarnya.

Ia menjelaskan perempuan dan anak yang dilacurkan adalah salah satu wujud kemiskinan struktural dan kejahatan sistematis, baik di dalam negeri maupun lintas negara, yang membuat perempuan dan anak-anak rentan dikelabui, dibujuk, dipaksa dan terpaksa, ataupun atas kesadaran dan kerelaannya melakukan kegiatan itu. Dari kasus-kasus dan studi yang ada, perempuan dan anak-anak ini terjebak dalam jaringan kejahatan kemanusiaan yang keji, dan bukannya menjajakan diri, apalagi mengatur penjajaan dirinya.

Menurutnya kejahatan TPPO ini dikategorikan kejahatan berat kemanusiaan (serious and grave violation of human rights), sehingga segenap pejabat negara, anggota partai, parlemen serta aparat di Indonesia wajib bersikap dan bertutur sesuai kepatutan dalam berhadapan dengan masalah kekejian kemanusiaan ini. Setidaknya ada tiga aspek kejahatan TPPO yakni tindakan yakni, pertama, rekrutmen korban (pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, penerimaan orang).

Kedua adalah alat yakni ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, memberi bayaran pada orang yang punya kendali atas kehendak korban. Ketiga, tujuan eksploitasi termasuk pelacuran, kerja paksa, perbudakan atau serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik secara seksual atau organ reproduksi hingga tindak pengambilan organ tubuh korban.

Bahkan ketika perempuan dan anak akhirnya bersedia atau sepakat untuk dieksploitasi secara seksual, peraturan yang berlaku menyatakan bahwa mereka adalah korban, dan karenanya tidak bisa dikriminalisasi. Pada Pasal 26 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dijelaskan bahwa kerelaan korban tidak menghilangkan status tersangka dan penjatuhan sanksi pada pihak-pihak yang terlibat. Untuk itu tindakan penggerebekan dan kriminalisasi terhadap pedila adalah pelanggaran atas aturan-aturan yang berlaku di Indonesia tentang TPPO.

(G-2)

BACA JUGA: