JAKARTA - Perlindungan hak atas kebebasan berekspresi pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo masih mengkhawatirkan. Economist Intelligence Unit (EIU) merilis indeks demokrasi tahun 2019, Indonesia berada di angka 6.48 dan termasuk dalam demokrasi yang cacat (flawed democracy). 

Deputi Direktur Advokasi Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM) Andi Muttaqien mengatakan salah satu penyebab rendahnya indeks adalah pembatasan dan tindakan represif dalam bentuk pelarangan atas kebebasan berkumpul dan berekspresi. Pembatasan kebebasan sipil terhadap demonstrasi Mahasiswa, kriminalisasi aktivis, petani dan mahasiswa hingga pembatasan kebebasan berekspresi terhadap ekspresi politik Orang Asli Papua (OAP).

"Presiden Joko Widodo seharusnya memerintahkan Kementrian/Lembaga terkait Papua agar memiliki perhatian dalam menjaga dan menghormati hak kebebasan berekspresi di Papua, juga menghentikan dan atau mencabut segala dakwaan dan atau tuntutan terhadap Tapol Papua, baik yang dikenakan pasal-pasal makar maupun UU ITE," kata Andi dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Sabtu (01/2).

Menurutnya, pembatasan terhadap ekspresi politik OAP menimbulkan anggapan bahwa Pemerintah Indonesia menempatkan OAP sebagai “warga kelas dua” yang tidak memiliki hak untuk mengungkapkan ekspresi dan pandangan politiknya. Isu dan persoalan hak asasi manusia di Papua yang berlangsung berpuluh-puluh tahun sampai saat ini dibiarkan dan tidak pernah diselesaikan.

"Gunakan pendekatan dialogis dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap aktivis Papua," imbuhnya.

Pemerintah pusat justru membiarkan OAP hidup menjadi minoritas dan terpinggirkan di wilayahnya sendiri. Aparat keamanan bertindak represif terhadap segala bentuk ekspresi politik OAP dengan menstigma mereka sebagai separatis.

Berdasarkan pemantauan dan dokumentasi yang dilakukan ELSAM, kuartal keempat (Agustus-Desember) 2019, tindakan kriminalisasi terhadap aktivis politik Papua melonjak drastis. Aparat keamanan semakin massif melakukan penangkapan terhadap aksi-aksi yang dilakukan OAP.

Sebagian besar tindakan penangkapan tersebut berakhir dengan penangkapan dan penahanan. Data menunjukkan per tanggal 28 Januari 2020, ada 109 tapol Papua yang masih mendekam di Penjara.

Sebelumnya, Papuan Behind Bars menyebutkan pada 2018 ada 26 tapol yang ditahan di Papua, terdiri dari 25 OAP dan 1 (satu) jurnalis berkebangsaan Polandia bernama Jakob Skrzypski. Kemudian, terjadi peningkatan tajam terjadi pada 2019, jumlah ‘tahanan politik’ (tapol) total 77 tapol baru, yang ditangkap berkaitan dalam demonstrasi sipil sepanjang Agustus dan September 2019. Peningkatan ini terjadi menyusul peristiwa Rasisme di Surabaya yang dialami oleh Mahasiswa Papua pada Senin 16 Agustus 2019.

Beberapa kasus terhadap aktivis politik Papua yang sekarang menyita perhatian, antara lain; Kasus yang menimpa Septi Meidogda (Ketua Gempar Papua) ditahan di Manokwari pada 18 September 2019 dijerat dengan pasal UU ITE karena dituduh melakukan penghasutan melalui media sosial Facebook tertanggal 17 September 2019 silam.

Kemudian, kasus Mispo Gwijangge merupakan tahanan yang dituduh melakukan pembunuhan di Nduga pada 2 Desember 2018 terhadap 30 orang pekerja bangunan di jalan Nduga. Ia memiliki keterbatasan kapasitas seperti tidak memahami bahasa indonesia dengan baik, hanya fasih menggunakan bahasa daerah. Ia juga tidak bisa baca tulis, hitung, tidak mengenal hari, tanggal, tidak mengetahui tanggal lahir, umur, dan saat pemeriksaan tidak mengerti pertanyaan kepolisian.

Selanjutnya kasus enam tapol di Rutan Salemba Jakarta yakni Surya Anta, Charles Kossay, Dano Tabuni, Issay Wenda, Ambrosiut Mulait, dan Arina Elopere. Mereka ditahan dengan tuduhan Makar karena karena mengibarkan bendera bintang kejora di depan Istana Negara 28 Agustus 2019 dan ditahan dua hari setelahnya. Saat ini para tapol sebagian besar sedang menjalani sedang menjalani masa persidangan di Pengadilan. Sedikit yang yang telah menjadi tahanan rumah, namun lebih banyak yang sampai saat ini masih dalam tahanan.

Penggunaan pasal makar dan UU ITE terhadap para tapol Papua merupakan hal yang berlebihan yang tidak perlu dilakukan. Oleh karenanya, setiap orang yang dianggap dan diajukan ke Pengadilan seyogyanya harus dibebaskan.

ELSAM memandang pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yang dikenakan Pasal makar tersebut melampaui pembatasan yang diizinkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Penahanan terhadap warga negara oleh negara karena ekspresi identitas politiknya juga telah melanggar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi dalam Pasal 28 UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. (G-2)

 

BACA JUGA: