JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) merilis realisasi produksi siap jual (lifting) gas tahun 2019 pada Januari 2020 ternyata hanya 84,7% dari target APBN 2019. Tak tercapainya target itu sangat disayangkan lantaran Presiden Joko Widodo sedang berupaya menekan laju defisit neraca berjalan.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menjelaskan produksi gas hanya mencapai 5934 MMSCFD dari target lifting APBN 2019 sebesar 7000 MMSCFD. Salah satu sumbangan penurunan lifting gas itu berasal dari tertundanya produksi gas dari lapangan MBA-MBD wilayah kerja migas Madura Strait yang dioperatori oleh Husky CNOOC Madura Limited (HCLM) sejak 1997.

"Seharusnya, awal Mei 2019, lapangan gas tersebut sudah komersial untuk memasok kebutuhan industri gas di Jawa Timur," kata Yusri kepada Gresnews.com, Senin (20/1).

Menurut Yusri, tertundanya produksi gas  Plan Of Development (POD) yang sudah disetujui oleh SKK Migas sejak Januari 2013, itu jadi berantakan ketika berawal dari tahap pengadaan Floating Production Unit (FPU) untuk kebutuhan produksi lapangan MBA-MBD. SKK Migas mengubah syarat bahwa pembangunan FPU itu harus dilakukan galangan kapal di dalam negeri.

Padahal, kenyataannya, belum ada galangan kapal dalam negeri sampai saat ini yang mampu membangun FPU dengan kapasitas sesuai kebutuhan produksi lapangan gas tersebut. Meskipun sudah banyak opsi dilakukan oleh HCML atas persetujuan SKK Migas, termasuk opsi mengubah ruang lingkup kerja FPU dengan menggunakan Mobile Oil/Gas Production Unit (MO/GFU) dan boleh dibangun di galangan kapal di luar negeri dan konsorsium boleh menambah pesertanya, ternyata masih belum jelas juga penyelesaiannya.

"Rumornya konsorsium pelaksana dirundung kesulitan modal kerjanya, tentu sangat ironis kalau info ini benar," ungkap Yusri. 

Karena tidak ada kejelasan sampai saat ini kapan FPU itu bisa tersedia, dan konon kabarnya konsorsium PT Anugrah Mulia Raya beserta Sadakan Offshore Sdn.Bhd, Emas Offshore Construction and Production Pte.Ltd dan PT Pelayaran Intilintas Tirtanusantara yang ditunjuk sebagai pelaksana kontrak pada 4 Mei 2017. Namun keduanya bisa dikatakan telah gagal menyediakan sesuai jadwal kontrak sudah harus on stream paling lambat pada 4 Mei 2019, akan tetapi kenyataannya sudah delapan bulan terlewati dari batas waktu masih belum jelas juga kapan FPU itu bisa tersedia untuk siap komersial.

"Sudah tentu kasus ini telah mencoreng dan akan berakibat buruk bagi image investor terhadap iklim investasi sektor migas di tanah air," ujarnya.

Yusri menambahkan selain itu bisa sebagai penyebab meningkatnya impor migas yang selalu dikeluhkan Presiden Jokowi di berbagai forum, karena telah menyumbang defisit transaksi berjalan.

Pemerintah juga dirugikan akibat tertundanya penerimaan negara dari bagi hasil produksi, sudah tentu operator HCML termasuk juga paling dirugikan, karena sudah banyak mengeluarkan biaya sejak awal eksplorasi sampai dengan pengembangan lapangan, akan tetapi belum bisa mengajukan penggantian pengeluaran sesuai skema Cost Recovery karena belum komersialnya lapangan ini.

Ia menambahkan karena sudah banyak pihak dirugikan dan belum ada solusi konkret dari SKK Migas dalam mengatasi pengadaan FPU ini maka seharusnya Presiden bisa menegur Menteri ESDM untuk mengevaluasi kinerja pimpinan SKK Migas. KPK juga diharapkan memantau proses pengadaan alat penunjang kegiatan eksplorasi dan produksi KKKS bernilai di atas US$20 juta yang harus terlebih dulu mendapat persetujuan dari pejabat SKK Migas, baru kemudian KKKS bisa menunjuk pemenang lelangnya.

"Rumor yang kuat kewenangan inilah yang berpotensi disalahgunakan oleh oknum pejabat SKK Migas dalam berkongkalikong dengan kontraktor pihak ketiga sebagai pelaksana," katanya. (G-2)

 

 

BACA JUGA: