JAKARTA - Pemerintah melakukan terobosan hukum dengan memberikan amnesti massal terhadap pengguna narkotika yang telah menjalani pidana selama waktu tertentu dan mengirimkan mereka ke pusat rehabilitasi. Langkah ini tepat mengingat kondisi lembaga pemasyarakatan (Lapas)) yang telah overcrowding, namun tentu saja dengan sejumlah catatan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mendukung gagasan Menteri Hukum dan HAM terkait amnesti massal terhadap pengguna narkotika. "Ini merupakan langkah maju pemerintah melihat masalah narkotika dengan pendekatan kesehatan," kata Anggara dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Rabu (04/12).

Namun, ICJR juga memberikan sejumlah catatan terkait dengan langkah yang akan diambil oleh Menteri Hukum dan HAM. Saat ini Indonesia mengalami situasi overcrowding. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per November 2019 menunjukkan bahwa jumlah orang yang terjerat perkara narkotika yang berada di Lapas saat ini adalah sebanyak 75.928 orang dari total penghuni Lapas sebanyak 201.435 orang.

Artinya, hampir 38% penghuni Lapas adalah mereka yang terjerat kasus narkotika. Belum lagi jumlah tahanan yang berjumlah 66.883 orang, yang dipastikan sebagian besar juga berasal dari tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana paling banyak dalam Klasifikasi Perkara Pidana Biasa pada Pengadilan Negeri sepanjang tahun 2018 berdasarkan Laporan Mahkamah Agung.  

Anggara berpendapat penjatuhan hukuman bagi pengguna narkotika merupakan kebijakan yang tidak tepat menangani masalah kesehatan mengenai akses narkotika. Pemenjaraan berdampak tak baik pada pengguna narkotika. Hal ini telah terbukti terjadi di belahan dunia mana pun, yang ada pemenjaraan memberi dampak yang lebih buruk, mulai dari masalah overcrowding yang terus meningkat dan tidak teratasi, hingga terjadinya peredaran gelap narkotika di dalam Lapas.

Menurutnya, kendati menyetujui usulan Menteri Hukum dan HAM, ada sejumlah catatan. Pertama, pemberian peringanan hukuman maupun penggantian jenis hukuman bagi pengguna narkotika dapat diberikan melalui mekanisme amnesti maupun grasi. Pemerintah tidak harus terpaku pada mekanisme amnesti untuk dapat mengubah jenis pidana yang dijatuhkan kepada pengguna dari penjara menjadi intervensi berbasis penilaian kesehatan, salah satunya dengan hasil rehabilitasi. 

Kedua, agar gagasan ini dapat dijalankan di lapangan, pemerintah harus membentuk tim khusus yang bertugas untuk melakukan assessment terhadap pengguna yang akan diberikan amnesti ataupun grasi nantinya. Assessment ini diperlukan untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari pengguna narkotika di dalam Lapas. Assesment harus dilakukan untuk semua kasus narkotika, tidak berdasarkan kualifikasi delik seperti dalam data Ditjen PAS soal klasifikasi pengedar dan pengguna narkotika.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh ICJR, EJA, dan RC pada 2016 di Surabaya menunjukkan bahwa dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna narkotika adalah pasal kepemilikan dan penguasaan (Pasal 111/112) dan pembelian narkotika (Pasal 114), yang diklasifikasikan "pengedar" dalam sistem database Ditjen PAS. Ditemukan 61% dakwaan yang diajukan Jaksa pada pengguna dan pecandu narkotika mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika. Sehingga, banyak juga pencandu narkotika dilabeli pengedar yang seharusnya diberikan intervensi berbasis kesehatan. Tim ini diperlukan untuk memastikan bandar besar yang berisiko tinggi tidak masuk dalam program ini. 

Ketiga, dengan menerapkan rehabilitasi kepada pengguna narkotika, artinya pemerintah mengharapkan bahwa program rehabilitasi yang diperoleh oleh pengguna dan pecandu narkotika dapat mengurangi angka peredaran gelap narkotika. Hal ini langkah maju untuk mempromosikan pendekatan kesehatan dengan menjamin adanya upaya pengurangan dampak buruk atau harm reduction bagi pengguna narkotika.

Reformasi pada kebijakan victimless crime lainnya harus juga didorong, seperti intervensi lain bagi tindak pidana perjudian sebagai kejahatan keempat paling banyak berdasarkan Laporan Mahkamah Agung. Program yang sama perlu juga dicetuskan bagi tindak pidana lain misalnya tindak pidana minor tanpa kekerasan yang seharusnya mampu diselesaikan dengan intervensi non-pemenjaraan dengan jalan restoratif. Pemenjaraan terbukti tidak efektif, dan malah membebani negara. (G-2)

BACA JUGA: