JAKARTA - Peningkatan konsumsi plastik sekali pakai menimbulkan permasalahan global. Timbunan sampah secara nasional mencapai angka 64 juta ton yang komposisinya terdiri dari sampah organik sebanyak 50%, sampah plastik sebesar 15%, sampah kertas sebesar 10% dan sisanya sampah logam, karet, kaca dan lain-lain. Penanganan terhadap 15% timbunan sampah plastik tersebut pun masih rendah, hanya 10-15% sampah plastik yang didaur ulang. Sisanya menjadi masalah: 60-70% sampah plastik ditimbun di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dan 15-30% mencemari lingkungan perairan karena tidak tertangani. Timbunan sampah plastik yang mencemari lingkungan menyimpan risiko yang signifikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Ada 100.000 biota laut terbunuh oleh plastik setiap tahunnya. Sekitar 90% air botol mengandung partikel plastik. Kerugian ekonomi dari sampah plastik terhadap ekosistem kelautan setidaknya mencapai angka US$13 triliun.

Di Indonesia, dengan skala permasalahan begitu besar, penyusunan dan implementasi kerangka hukum dan kebijakan untuk pengelolaan plastik sangat dibutuhkan. UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah memberikan kerangka dasar yang baik untuk mengelola plastik, yakni dengan penekanan pada pengurangan sampah sejak awal sebelum material menjadi sampah. Terdapat juga Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 mengenai Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang di dalamnya mengatur mengenai peranan industri manufaktur, perusahaan retail serta perusahaan makanan dan minuman dalam upaya pengurangan sampah.

"Ekonomi sirkular merupakan sebuah upaya kolaboratif, karenanya harus melibatkan peran dan fungsi setiap pemangku kepentingan di sepanjang rantai persampahan yaitu pemerintah, dunia usaha/industri, akademisi dan masyarakat pada setiap siklus tahapan pengelolaan sampah, dimulai dari pembatasan timbunan, pendauran ulang, pemanfaatan kembali, hingga ke upaya-upaya penanganan yang meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir," ujar Direktur Jendral Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Rosa Vivien Ratnawati, dalam sambutannya pada Seminar Kerangka Kebijakan Pendekatan Circular Economy Untuk Pengelolaan Sampah Plastik yang diadakan dari 13-14 November 2019 yang dilaksanakan oleh International Development Law Organization (IDLO) berkolaborasi dengan Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Seminar ini juga menjadi bagian dari program Rule of Law Fund (RoLF) yang didukung oleh Kedutaan Besar Belanda di Indonesia dan diimplementasikan oleh IDLO.

"Implementasi circular economy juga berkontribusi dalam implementasi pola produksi dan konsumsi berkelanjutan yang menjadi tujuan ke-12 Sustainable Development Goals (SDGs). Upaya mendaur ulang sampah kemasan yang selanjutnya dapat menggantikan sebagian bahan baku murni (virgin material) sebuah produk diharapkan dapat menciptakan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan," ujar Vivien seraya membuka secara resmi seminar ini.

Seminar ini dihadiri oleh berbagai lembaga seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kedutaan Besar Belanda di Indonesia, organisasi internasional, produsen, serta berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Ikatan Pedagang Pasar Indonesia, Gerakan Diet Kantong Plastik, dan sebagainya. Selain Rosa Vivien, perwakilan dari Kementerian Infrastruktur dan Pengelolaan Air Kerajaan Belanda Martin van Nieuwenhoven juga turut membuka rangkaian acara seminar ini.

Perwakilan Kementerian Infrastruktur dan Pengelolaan Air Kerajaan Belanda Martin van Nieuwuhoven dalam sambutannya mengatakan, "Mewakili negara Belanda, saya senang melihat Indonesia berjuang dalam dalam pengelolaan sampah plastik dengan cara pendekatan circular economy. Saya harap dengan adanya seminar dari program Rule of Law Fund membuktikan kancahnya dalam mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Saya harap peserta pada acara ini dapat memasuki proses Extended Producer Responsibility dengan pandangan terbuka dengan melihat keuntungan secara kolektif daripada keuntungan secara individu,".

Seminar ini bertujuan untuk membagi informasi mengenai penggunaan pendekatan circular economy dalam pengelolaan sampah plastik, di mana circular economy menjadi cara baru dalam dalam menciptakan nilai sampah dengan memperpanjang umur produk dan memindahkan sampah dari akhir rantai pasokan kembali ke awal. Dalam circular economy, bahan untuk produk baru berasal dari produk lama dan sebisa mungkin semuanya digunakan kembali, diproduksi ulang, atau sebagai upaya terakhir, didaur ulang kembali menjadi bahan mentah.

Hal-hal yang dibahas secara spesifik dari topik mengenai circular economy adalah usaha dari pemerintah Indonesia dalam menerapkan circular economy dalam mengelola sampah, memberikan contoh praktik terbaik mengenai circular economy yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, dan juga mengenai pendekatan Extended Producer Responsibility (EPR), di mana produsen diberi tanggung jawab yang signifikan, baik keuangan dan/atau secara fisik, untuk pengelolaan atau pembuangan produk pasca-pemakaian konsumen

Pemilahan sampah Kunci Circular Economy
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal dalam paparannya mengatakan bahwa usaha daur ulang merupakan salah satu model ekonomi sirkular terhadap sampah plastik. Daur ulang sampah plastik memiliki efek yang siginifikan dalam menggerakan perekonomian masyarakat karena rantai produksinya melibatkan banyak pihak, yakni pemulung, pelapak hingga industri besar. Memang betul apa yang disampaikan oleh Vivien tadi bahwa kunci dari circular economy ini adalah pemilahan sampah. Sampah yang bersih tentu akan meningkatkan nilai ekonominya.

"Circular Economy pengelolaan sampah bisa diselesaikan dengan menjadikan sampah sebagai sumber daya (sebagai nilai dasar). DNA yang pertama adalah memilah sampah dan perubahan perilaku. Konsep circular economy pasti dapat diterima oleh banyak pihak," ujar Novrizal

Perwakilan Kementerian Infrastruktur dan Pengelolaan Air, Belanda, Martin Van Nieuwenhoven menyatakan, "Saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait pengurangan sampah plastik di Belanda. Akan tetapi Pemerintah Belanda sudah memiliki framework terkait circular economy, yang di dalamnya mengajak aktor industri untuk mengubah desain industri agar selaras dengan prinsip-prinsip sirkular ekonomi, serta penerapan insentif dan insentifnya. Dalam rangka menyukseskan circular economy ini, Pemerintah Belanda bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, Industri, Konsumen dan serikat pekerja. Memang membutuhkan waktu yang lama agar sirkular ekonomi ini berjalan sukses dan melibatkan seluruh stakeholder."

"Di Belanda kami memiliki rencana jangka panjang hingga 2050, karena membutuhkan waktu lama untuk membawa sebuah perubahan," ujar Martin kembali.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ICEL Henri Subagiyo menuturkan bahwa sampah plastik merupakan permasalahan serius yang harus kita hadapi bersama, kesadaran dan aksi dari berbagai pihak (pemerintah; dunia usaha – industri, importir, retail dan jasa makanan; dan masyarakat) untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ada merupakan salah satu kunci, termasuk dalam menerapkan circular economy. Upaya pemerintah untuk mendorong peran para pihak (stakeholders) menjadi kunci penting yang selama ini telah coba dilakukan.

"Menyadari bahwa indeks ketidakpedulian terhadap lingkungan terutama di bidang pengelolaan sampah, masih sangat besar yaitu 74% maka circular economy merupakan cara pandang yang diharapkan mampu menjadi kunci mendasar dan langkah awal dari berbagai pihak. Dimulai dari prinsip untuk meminimalkan sampah (zero waste) hingga memperpanjang rantai penggunaan sampah sebelum ke media lingkungan sebagai alternatif paling akhir (recycling dan reuse). Kesadaran dan tanggung jawab pelaku usaha dalam menerapkan circular economy memiliki peran penting untuk pengelolaan sampah. Tentu ini perlu dikombinasikan juga dengan kesadaran konsumen," ujar Henri.

"Kita mengapresiasi dan menunggu agar Peraturan Menteri LHK tentang Peta Jalan sepuluh tahun Pengurangan Sampah oleh Produsen mudah-mudahan segera keluar. Kebijakan EPR perlu didorong dengan mengombinasikan pendekatan mandatory dengan voluntary, baik dari aspek pemilihan bahan baku, desain produk, dan pemanfaatan kembali oleh produsen. Peta jalan ini diharapkan dapat dihubungkan dengan mekanisme pasar/konsumen (image) untuk dapat memilih produk yang ramah termasuk sistem Monev," lanjut Henri. (G-2)

 

 

BACA JUGA: