JAKARTA - Bila tidak diatur minimal sama atau lebih baik daripada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pidana aborsi sebaiknya dihapuskan dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR.

Demikian pandangan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melalui pernyataan pers yang diterima oleh Gresnews.com, Kamis (5/9).

Dalam R-KUHP versi 28 Agustus 2019, terdapat empat pasal tentang kriminalisasi aborsi:

  1. Pasal 251 Ayat (1) tentang kriminalisasi memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan;
  2. Pasal 415 tentang kriminalisasi mempertunjukkan alat untuk menggugurkan kandungan;
  3. Pasal 470 Ayat (1) tentang kriminalisasi setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan;
  4. Pasal 471 Ayat (1) tentang kriminalisasi setiap orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya.

Bandingkan dengan pengaturan aborsi dalam Pasal 75 UU Kesehatan yang lebih progresif. Ada kondisi pengecualian yaitu apabila pada kehamilan terdapat:

  1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
  2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Dalam Pasal 77 UU Kesehatan juga telah dinyatakan bahwa Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab. UU Kesehatan juga telah mengatur ketentuan pidana bagi aborsi yang dilakukan di luar pengecualian yang diatur dalam Pasal 75 tersebut (dalam Pasal 194 UU Kesehatan). “UU Kesehatan di Indonesia telah menjamin bahwa korban perkosaan berhak untuk melakukan aborsi, sebagai bentuk pemulihan bagi dirinya,” demikian ICJR dan PKBI.

Keputusan Rapat Panitia Kerja (Panja) Terbuka DPR 27 Januari 2017, pembahasan pasal aborsi itu ditunda karena akan dikonsultasikan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “Pasal tentang pengguguran kandungan masih menyisakan masalah,” kata ICJR dan PKBI. (G-1)

BACA JUGA: