JAKARTA - Dalam hitungan minggu, kemungkinan besar pemerintah dan DPR akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kendati demikian, merujuk pada draf RKUHP versi terkini 28 Agustus 2019, terdapat pasal yang masih sangat bermasalah yakni pengaturan tentang tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court).

“Indikasi pasal karet. Pengaturan contempt of court dalam RKUHP justru menyasar pada tindakan-tindakan terkait isu integritas hakim yang tidak jelas batasannya sehingga mengancam reformasi peradilan dan demokrasi,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara kepada Gresnews.com, Kamis (29/8).

Dalam draf RKUHP per 28 Agustus 2019, khususnya pada Pasal 281, tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) diancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Adapun tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik contempt of court antara lain ditujukan bagi setiap orang yang:

a. tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

Menurut Anggara, tindakan yang dilarang dalam konteks contempt of court semestinya harus dibatasi hanya terhadap tindakan-tindakan yang bersifat menghalang-halangi dan mengakibatkan proses persidangan tidak berjalan. Beberapa bentuk tindakan tersebut misalnya intimidasi, ancaman kekerasan, atau tindakan kekerasan yang ditujukan kepada hakim oleh terkait penepatan dan putusan hakim, bukan soal isu integritasnya.

Selain itu, batasan-batasan terhadap yang dimaksud dengan “tidak hormat” dan “menyerang integritas” pada poin b dan c pun juga tidak jelas, apakah penilaian atau komentar-komentar kritis misalnya juga termasuk didalamnya. Lalu poin c pun juga tidak jelas memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan "segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim" dan siapa yang menentukan bahwa sesuatu itu bisa mempengaruhi hakim. Ketidakjelasan dalam mengatur batasan-batasan untuk menentukan sejauh mana tindakan seseorang memenuhi rumusan pasal tersebut pada undang-undang akan mengakibatkan delik contempt of court dalam RKUHP ini menjadi pasal karet.

“Proyeksi ICJR nanti dalam praktiknya, delik contempt of court tersebut rentan memicu banyak kasus-kasus yang semestinya tidak perlu masuk ranah pidana. Pasal tersebut akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial,” kata dia.

Padahal, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa. Antara pengkritik dan hakim atau pengadilan tersebut pun tidak ada relasi kuasa yang cukup kuat hingga mampu mengubah integritas hakim. Hakim yang secara independen mengadili perkara, tidak akan terganggu dengan kritikan yang sekeras apapun disuarakan, kecuali seperti telah disebutkan di atas dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau melawan hukum, yang mana sudah diatur dalam pidana lain dalam undang-undang di Indonesia. (G-1)

BACA JUGA: