JAKARTA - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang merupakan peninggalan kolonial 103 tahun lalu, terus dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Namun, sayangnya, draf RKUHP yang diharapkan ada pembaruan justru terjebak pada filosofi zaman kolonial.

"Filosofi kolonial dalam RKUHP nampak di dalam beberapa pasal yang merupakan hasil duplikasi besar-besaran dari KUHP," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara kepada gresnews.com, Kamis (15/8).

Anggara mencontohkan pasal mengenai larangan promosi alat kontrasepsi yang sejatinya sudah tidak pernah digunakan kembali dan dimatikan secara de facto melalui Surat Jaksa Agung 19 Mei 1978. RKUHP juga menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden yang sebelumnya telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pasal yang inkonstitusional dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Anggara melanjutkan, gaya kolonialisme juga menyasar kepada kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan. Misalnya, RKUHP dapat mengancam perempuan korban perkosaan yang ingin menggugurkan kandungannya.

Lainnnya, ancaman overcrowding akibat filosofi kolonial yang kental. Penggunaan pemenjaraan sebagai bentuk pidana yang utama di dalam RKUHP jelas adalah gaya kolonial. Perspektif pemenjaraan yang sangat kental dalam RKUHP, justru membuka ruang kriminalisasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan KUHP yang ada. "Alternatif pemidanaan non-pemenjaraan di dalam RKUHP juga sangat minim jumlahnya dan sangat sulit aplikasinya," imbuhnya.

ICJR berharap pemerintah dan DPR tak perlu terburu-buru mengesahkan RKUHP, tetapi kembali membahas serta menyisir pasal-pasal di dalam RKUHP dengan hati-hati. Selain itu juga menghapus pasal-pasal yang bernuansa kolonial dan berpotensi menyasar kelompok rentan dan program-program pembangunan serta mengurangi penggunaan pidana penjara serta besaran ancamannya dan menggantinya dengan bentuk pidana alternatif. (G-2)

BACA JUGA: