JAKARTA - Upaya pemerintah untuk merespons perubahan iklim terkait dengan penggunaan lahan sangat krusial untuk dievaluasi. Sejumlah kebijakan belum memiliki tujuan yang jelas dan terukur.

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagyo mencontohkan kebijakan moratorium hutan alam primer dan lahan gambut yang diteken langsung oleh Presiden Joko Widodo masih memberikan banyak pengecualian. “Belum terkonsolidasi dengan baik,” kata Henri kepada Gresnews.com, Minggu (11/8).

Konteks pernyataan Henri tersebut sehubungan dengan keluarnya Laporan Khusus Kedua Panel Antar Pemerintah terhadap Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) pada Kamis, 8 Agustus 2019 yang intinya menunjukkan penggunaan lahan oleh manusia menyumbang lebih dari 70% emisi gas rumah kaca global.

Menurut Henri, perbaikan tata kelola hutan dan lahan yang dilakukan Indonesia selama ini memang kaya inisiatif, mulai dari moratorium hutan alam primer dan lahan gambut, restorasi gambut pasca kebakaran hebat 2015, penyelesaian persoalan tanah di kawasan hutan, perhutanan sosial dan penyelesaian konflik, hingga moratorium dan evaluasi izin sawit. Tapi, belum ada gambaran besar soal ukuran keberhasilannya.

“Misalnya, kegiatan proyek strategis nasional maupun obyek vital kenapa tidak dari awal saja lokasi tersebut dikeluarkan dari areal moratorium. Dalam moratorium izin sawit, hingga saat ini publik belum memiliki kejelasan mekanisme evaluasi perizinan seperti apa yang diterapkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut,” kata Henri.

Jika tidak segera dikonsolidasikan, Henri khawatir keadaannya justru kontraproduktif seperti munculnya RUU Pertanahan dan RUU Perkelapasawitan yang memicu kritik luas. “RUU yang justru fundamen untuk segera disahkan justru tidak tergarap dengan baik, seperti RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Sumber Daya Air dan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” kata Henri. (G-1)

BACA JUGA: