JAKARTA - Pemerintah perlu mengkaji lebih jauh dampak dari perusahaan rintisan (start-up) yang berkembang di Indonesia agar tak salah arah dalam menetapkan kebijakan ekonomi.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan dari sisi neraca dagang keberadaan start-up yang didanai oleh investor asing justru memperparah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan sekaligus.

"Start-up, khususnya yang bergerak di bidang e-commerce, berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi. Tahun 2018, impor barang konsumsi naik 22% padahal konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5%. Ini anomali pertama," kata Bhima kepada Gresnews.com, Sabtu (10/8).

Ia menjelaskan, di sisi lain, manfaat keberadaan start-up bagi penyerapan tenaga kerja (semi skilled dan high skilled) masih terbatas. Kalau driver online itu jutaan orang yang terserap lebih masuk kategori low skilled atau mengerjakan pekerjaan yang sederhana.

Menurut Bhima, sumber daya high skilled start-up di Indonesia masih dipenuhi oleh tenaga kerja asing atau outsourcing negara lain. Contoh kasus adalah Gojek, di mana pengembangan teknologi-informasi (IT) justru sebagian dilakukan di Kota Bangalore, India.

Data Glassdoor (update per 26 Juli 2019) menunjukkan gaji Data Scientist di kantor Gojek Bangalore rata-rata 2.1 juta rupee per tahun atau dikonversi ke rupiah setara Rp35,7 juta per bulannya. Jadi penggunaan tenaga kerja IT dari India bukan masalah upah di India lebih murah dibandingkan dengan tenaga kerja Indonesia. Permasalahan utama adalah skill sumber daya manusia di Indonesia yang belum memenuhi syarat untuk berkompetisi di dunia ekonomi digital. (G-2)

BACA JUGA: