Bila diibaratkan penyakit kanker, tingkat kegawatan korupsi di Indonesia sudah dalam stadium empat. Ia teramat ganas telah menyebar ke mana-mana, dan harus cepat diobati pun tak cukup dengan cara biasa.

Korupsi sudah lama menjadi predator paling membahayakan bagi kelangsungan hidup negeri ini, bahkan sejak era kemerdekaan. Korupsi telah menjadi suguhan yang mengoyak rasa keadilan rakyat. Terlebih saat ini tiada hari tanpa berita korupsi. Terakhir tersiar penangkapan Bupati Katingan dan Bupati Malang yang terbelit kasus korupsi.

Dalam menghadapi kasus itu, Presiden Joko Widodo mengatasinya dengan politik tebar hadiah. Presiden mengeluarkan peraturan soal pemberian penghargaan dan hadiah bagi pelapor atau peniup peluit dalam kasus korupsi. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditandatangani Jokowi pada pertengahan September lalu.

Sebenarnya bukan kali ini saja adanya pemberian penghargaan, aturan ini pernah ada sebelumnya. Partisipasi masyarakat dalam pelaporan kasus korupsi ini sudah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun tentu saja kali ini lebih lengkap lantaran mencantumkan jumlah maksimal yang bisa diperoleh para pelapor kasus korupsi yakni maksimal Rp 200 juta. Aturan lainnya untuk menghindari laporan menumpuk ada ketentuan penegak hukum untuk memeriksa laporan secara administratif dan substantif setelah mendapat informasi maksimal 30 hari kerja.

Tata cara pelaporan kasus korupsi dalam aturan baru ini bisa tertulis ataupun lisan, baik melalui media elektronik maupun nonelektronik. Laporan mengenai dugaan korupsi harus memuat identitas pelapor dan uraian mengenai fakta dari indikasi korupsi yang ditemukan. Pelapor juga berhak mengajukan pertanyaan ke penegak hukum mengenai tindak lanjut laporannya. Selain itu, pelapor juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum bagi pelapor ini seharusnya menjadi isu utama. Selama ini, pelapor tak pernah diberi tahu haknya dan perkembangan dari kasus yang dilaporkan. Padahal, masyarakat sangat antusias mengadukan kasus-kasus dugaan korupsi. Pemberian perlindungan hukum ini dengan harapan masyarakat atau pelapor tak takut.

Tak sedikit pelapor mendapat ancaman atau dilaporkan balik dengan tuduhan mencemarkan nama. Bahkan saksi ahli yang memberatkan para koruptor pun sebaiknya dilindungi. Seperti kasus yang dialami Basuki Wasis seharusnya tak terulang. Basuki digugat Rp 3,01 triliun oleh terdakwa korupsi Nur Alam yang telah divonis 15 tahun penjara.

Hasil studi Lembaga Transparency International Indonesia perlu dipertimbangkan. Banyaknya para pengungkap korupsi malah diserang secara fisik, dipukuli, diteror, ditembak, bahkan ada juga yang dibunuh.hasil studi TII selama 2004 hingga 2017, terdapat 100 kasus ancaman atau serangan terhadap pengungkap kasus korupsi. Dari total kasus, jumlah terbanyak yaitu 35 kasus ancaman atau serangan terjadi kepada pelapor.

Ini menjadi pekerjaan rumah para penegak hukum untuk melindungi para peniup peluit ini. Jangan sampai para pelapor kasus korupsi ini mendapatkan uang namun nyawanya melayang. Perlu ada prosedur khusus pengamanan para peniup pluit ini. Termasuk juga jaminan bebas dari tuntutan balik dari para koruptor yang telah terbukti bersalah. Presiden Jokowi selayaknya memikirkan banyak aspek lainnya dalam pemberantasan korupsi. Urusan korupsi tak bisa diselesaikan dengan sekadar membagi "sepeda" atau hadiah.

 

 

BACA JUGA: