JAKARTA – Laporan baru Eyes on the Forest (EoF) menunjukkan kelapa sawit yang ditanam secara ilegal di dalam kawasan taman nasional di Sumatera dan area sekitarnya – yang juga merupakan habitat dari gajah dan harimau – dapat masuk ke rantai pasokan berbagai produsen dan pedagang kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia, melanggar perjanjian bebas deforestasi mereka dan bagi para pelanggannya. Di Taman Nasional Tesso Nilo dapat terlihat 75 persen dari area taman nasional telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal dan menghancurkan habitat terakhir yang tersisa bagi spesies yang terancam punah.

Rangkaian investigasi rahasia yang dilakukan oleh EoF sejak 2011 mengidentifikasi ada 22 pabrik yang membeli buah kelapa sawit – Tandan Buah Segar (TBS) – yang merupakan hasil penanaman illegal di dalam area hutan lindung dan kawasan hutan di Sumatera Tengah; Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh. Beberapa perusahaan ini adalah “pelanggar berulang” dan sifat pemeriksaan yang acak dan ber-skala kecil ini hanyalah menunjukkan “puncak dari gunung es.”

Berbagai rangkaian investigasi ini mengungkapkan bagaimana kelapa sawit dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dapat masuk sebagai rantai pasokan pada tahapan yang berbeda dari empat perusahaan kelapa sawit – Royal Golden Eagle (RGE) Apical, Wilmar, Musim Mas, dan Golden Agri Resources. Pada laporan terbaru, grup RGE tampaknya terlibat secara langsung, karena grup perusahaan Asian Agri beroperasi pada satu perusahaan yang ditemukan membeli TBS dari taman nasional. Sebagai tambahan, Wilmar terus membeli dari salah satu perusahaan tersebut; perusahaan yang mereka jual di tahun 2014 setelah laporan WWF pada tahun 2013, menemukan bahwa perusahaan tersebut membeli TBS dari Tesso Nilo.

Sejak lama, Sumatera telah menjadi pusat produksi utama bagi para pedagang kelapa sawit besar, termasuk “4 Besar” ini yang bertanggung jawab untuk lebih dari 75 persen perdagangan kelapa sawit global. Analisa gambar satelit dari EoF menemukan bahwa Sumatera kehilangan 56 persen dari 25 miliar hektar hutan dalam 30 tahun terakhir, dengan hanya 11 miliar hektar tersisa pada tahun 2016.

Laporan EoF mengungkap bahwa 21 dari 22 perusahaan tersebut dapat menjual kelapa sawit illegal secara tidak langsung, dan pada beberapa kasus, secara langsung, kepada pedagang dan merek global utama termasuk: AAK, ADM, Bunge, Cargill, Colgate-Palmolive, Fuji Oil, General Mills, IOI, Kellogg’s, Louis Dreyfus, Mars, Mondelēz, Neste, Nestlé, Olam, PepsiCo, Procter & Gamble, Reckitt Benckiser, Sime Darby Plantation, dan Unilever

EoF telah dapat membuat kaitannya kepada perusahaan hilir karena beberapa merek dagang ini baru saja menanggapi panggilan untuk lebih transparan dalam rantai pasokan mereka dengan menerbitkan detail perusahaan pemasok mereka. EoF dan WWF menghargai beberapa merek dagang ini atas transparansinya  dan untuk mengambil langkah pertama yang penting untuk menelusuri asal TBS, serta meminta semua perusahaan untuk melakukan hal yang sama. Tanpa penelusuran dan penerbitan pembelian kelapa sawit ke sumber perkebunan, perusahaan dan industri kelapa sawit tidak dapat memenuhi perjanjian bebas deforestasi. 

Merek dagang seharusnya meminta produsen dan pedagang untuk mengikuti contoh mereka dalam transparansi dan memenuhi 100 persen ketertelusuran ke perkebunan secepatnya, sambil memprioritaskan lanskap berisiko tinggi, seperti yang telah di monitor oleh investigasi EoF.

“Sangat mengecewakan bahwa meskipun mereka berkomitmen untuk menghentikan deforestasi, pedagang besar ditemukan menerima kelapa sawit yang tumbuh dengan mengorbankan hutan berharga, bahkan di dalam taman nasional, sehingga mencemari rantai pasokan global,” ungkap Elizabeth Clarke, Palm Oil Leader WWF Global. “Jelas, upaya penelusuran yang ada tidaklah cukup. Perusahaan harus berhenti mengambil dan berdagang kelapa sawit dari perkebunan yang tidak berkelanjutan dan membangun sistem yang ketat untuk mencapai rantai pasokan bebas deforestasi. 

Tanpa upaya seperti ini, kelapa sawit tercemar akan terus mengalir dalam rantai pasokan dan berakhir di keranjang belanja tanpa disadari konsumen.

“Menghentikan aliran kelapa sawit dari sumber ilegal dan tidak berkelanjutan memang dipenuhi dengan berbagai tantangan, namun itu bukanlah alasan bagi perusahaan untuk tidak bertindak. Bekerja secara kolektif, industri dapat mengatasi masalah yang jelas masih ada dan terus mencemari rantai pasokan global dengan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan yang mengancam masa depan taman nasional dan kawasan lindung,” tambah Elizabeth Clarke.

Laporan tersebut mendesak pemangku kepentingan industri – para pedagang dan pembeli – untuk mengambil tindakan tidak hanya untuk memastikan rantai pasokan kelapa sawit yang legal dan berkelanjutan, namun juga untuk mendukung upaya dalam melindungi dan memulihkan lanskap yang telah mereka ambil.

“WWF berkomitmen dalam membangun platform industri untuk menemukan cara menghilangkan pasokan TBS dari perkebunan illegal di lanskap-lanskap kritis,” ujar Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan, Keberlanjutan, dan Program Transformasi WWF-Indonesia. “Kita berharap laporan EoF ini dapat mengkatalisasi kolaborasi dan merangsang upaya nyata menuju solusi yang dapat melindungi hutan berharga dan satwa liar di dalamnya.”

Anda mempunyai ide dan karya yang orisinil, cerdas, dan mencerahkan yang senafas dengan misi kami untuk melakukan pembaharuan hukum-politik Indonesia, silakan kirimkan tulisan, foto, video atau segala bentuk ekspresi kreatif lainnya melalui email: [email protected].

BACA JUGA: