JAKARTA - Pada Senin hingga Selasa, 25-26 Juni 2018, Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) menyelenggarakan pertemuan tahunan yang ketiga di Mumbai, India. Pertemuan tahunan itu merupakan ajang berkumpulnya pemimpin dari negara anggota. Pertemuan tersebut juga diikuti peserta dari lembaga mitra, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil. AIIB tahun ini mengusung tema Mobilizing Finance for Infrastructure: Innovation and Collaboration.

Indonesia merupakan salah satu aktor penting dalam AIIB. Selain sebagai salah satu dari 57 negara pendiri, dan pemodal, Indonesia juga kini memiliki tiga proyek besar yang turut didanai oleh AIIB dengan total pinjaman sebesar USD616,5 juta. Ketiga proyek tersebut adalah:

1. National Slum Upgrading Project (NSUP), USD216,5 juta;
2. Regional Infrastructure Development Fund Project (RIDF), USD100 juta;
3. Dam Operational Improvement and Safety Project II, USD300 juta.

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur saat ini tengah memantau beberapa proyek yang ada di Indonesia. NSUP atau dalam pelaksanaan di Indonesia disebut program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Dari hasil pemantauan kami, proyek yang dibiayai AIIB dan Bank Dunia ini terdapat banyak permasalahan. Pertama, Laporan Bank Dunia menyatakan, terdapat 924 pengaduan tentang proyek, dan 99,56% (atau 923) telah "diselesaikan". 

Jumlah pengaduan yang tinggi ini tampaknya tidak menjelaskan keprihatinan yang dikemukakan organisasi masyarakat sipil selama dua tahun terakhir, yang tentunya belum terselesaikan. Jatuh tempo pengaduan terbuka membutuhkan penyediaan data tentang 924 pengaduan ini dan mengklaim bahwa 99,56% dari pengaduan entah bagaimana telah "diselesaikan".

Berdasarkan  situs resmi pemerintah, selama satu bulan saja (1-30 April 2018), khusus di Area II proyek, ada 1.243 pengaduan. Anehnya, selama periode tersebut, 1.225 pengaduan diklaim sudah "diselesaikan". Bagi kami ini sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu, tidak ada data yang tercatat mengenai jumlah pengaduan di Area 1 dari proyek (termasuk Jakarta, Sumatra, Riau, Jambi dan provinsi lainnya) untuk April 2018. Namun, selama November 2017, batas akhir untuk pengaduan terbuka untuk umum, dicatat untuk Area 1, ada 873 pengaduan, dan secara ajaib, 100% pengaduan tersebut telah diselesaikan di bulan yang sama. Sehingga kalau jumlah pengaduan di dua area proyek NSUP ini digabungkan, ada lebih dari 2.000 pengaduan per bulan. Lagi-lagi yang mengherankan, hampir semua pengaduan yang banyak itu dapat "terpecahkan" pada bulan yang sama. Bagi kami, klaim ini tidak kredibel, terutama mengingat fakta, bahwa hanya 22,7% dari semua kota dengan proyek NSUP telah dinilai oleh Bank Dunia untuk memiliki "gugus tugas". Dalam hal ini dapat disimpulkan pula bahwa klaim menyelesaikan pengaduan tidak menyentuh atau memperbaiki keadaan yang benar-benar terjadi di lapangan.

Kedua, Laporan Bank Dunia pada April 2018 juga mencatat, persentase penghuni permukiman kumuh yang puas dengan kualitas infrastruktur dan layanan perkotaan adalah 0. Bank Dunia pun mengklaim bahwa survei akan dilakukan kembali pada kuartal ketiga 2018. Jadi, data tersebut menunjukkan bahwa ada 917.690 yang tidak teridentifikasi "Penerima Manfaat" di lokasi proyek, serta mengindikasikan bahwa masyarakat tidak puas terhadap proyek NSUP. 

Bank Dunia juga mencatat bahwa dari 154 kota yang berpartisipasi, 121 kota (79%) telah membentuk gugus tugas. Namun hanya 28,8% dari gugus tugas lokal yang berfungsi efektif. Dengan kata lain, kurang dari 23% atau kurang dari 35 dari 154 kota yang telah membentuk gugus tugas lokal sekaligus berfungsi untuk program ini. Sisanya, yakni 77% dari 154 kota telah gagal membentuk gugus tugas lokal yang berfungsi untuk implementasi proyek. Sementara itu proyek tersebut telah berjalan selama dua setengah tahun dari target lima tahun. Yang lebih parahnya lagi, tidak ada definisi yang jelas mengenai apa gugus tugas tersebut dan berfungsi untuk apa? 

Mengingat tingkat pengaduan yang luar biasa tinggi dari masyarakat, dengan demikian kami secara tegas mengatakan bahwa ini merupakan kegagalan yang luar biasa dan risiko terhadap kredibilitas AIIB.

Proyek AIIB lain yang juga didanai bersama Bank Dunia adalah RIDF. Pada Februari 2018, 19 anggota parlemen daerah, pejabat lokal dan pengusaha dari Lampung, Sumatra, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia yang terkait dengan korupsi dan suap yang terkait dengan keputusan DPRD Lampung untuk menyetujui pinjaman Rp300 miliar (sekitar USD21,5 juta) dari PT. Sarana Multi Infrastruktur, badan pelaksana untuk RIDF. Pada 29 Mei 2018, Bank Dunia tiba-tiba menurunkan kembali "risiko politik dan pemerintahan" dari proyek dari "substansial" ke "tinggi" dan mencatat bahwa sejak awal proyek, "tiga pemerintah daerah” telah menerima surat penawaran pembiayaan RIDF. Dokumen Bank Dunia juga mencatat bahwa dua pemerintah daerah “menerima pinjaman RIDF” dan infrastruktur terencana proyek, termasuk empat proyek jalan. Namun, identitas Pemerintah Daerah yang menerima pendanaan tidak terbuka untuk publik, demikian juga proyek yang diusulkan. Ketidakterbukaan ini meningkatkan kekhawatiran terkait korupsi dana pinjaman RIDF.

Informasi yang diberikan oleh Bank Dunia terus menimbulkan kontradiksi. Misalnya, Bank Dunia menyatakan bahwa ukuran pinjaman rata-rata yang disetujui adalah USD115 juta dan bahwa ada dua pemerintah daerah saat ini yang "menerima pinjaman RIDF", namun dokumen yang sama juga menyatakan bahwa 100% dari Dana RIDF tetap tidak dicairkan. AIIB memilih untuk menyetujui proyek berdasarkan pada proyeksi bahwa dana RIDF akan digunakan mengumpulkan tambahan USD400 juta modal pada akhir proyek empat tahun ini, tetapi setelah lebih dari setahun operasi, hanya USD16,8 juta telah dinaikkan. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi USD115 juta rata-rata pinjaman yang sejauh ini diberikan kepada dua peminjam.

Laporan Bank Dunia juga mengklaim bahwa “tidak ada pengaduan khusus yang diterima subproyek”, yang tidak mengerikan, mengingat bahwa subproyek yang direncanakan, termasuk empat sistem jalan dengan kemungkinan signifikan dampak lingkungan dan sosial masih dirahasiakan dan tidak diungkapkan secara terbuka. Namun, laporan itu tidak menyebutkan atau memberikan analisis tentang penangkapan 18 pejabat dan pengusaha tuduhan korupsi, sesuatu yang kemungkinan menyebabkan peningkatan tiba-tiba dalam risiko "pemerintahan" yang dirasakan untuk proyeknya. Sementara Bank Dunia menunda dengan tingkat pencairan nol persen dari dana pinjaman setahun untuk keempat proyek ini - sebagai akibat dari dampak sosial dan lingkungan yang signifikan yang diidentifikasi oleh masyarakat sipil - tidak jelas berapa banyak dana AIIB yang benar-benar telah dicairkan.

Permasalahan lain dari RIDF yakni belum ada informasi dari AIIB tentang pencairan, dampak, atau kemajuan proyek. Bank Dunia tampaknya hanya memberikan informasi pencairan dari Bank Dunia, tetapi tidak pencairan dari AIIB. Minimnya data yang tersedia secara publik mengenai tingkat pengeluaran dana AIIB untuk proyek yang bermasalah ini tampaknya untuk mencegah segala ukuran uji tuntas atau pemantauan yang diperlukan sebagai bagian dari tanggung jawab dasar fidusia dari Dewan Direksi AIIB terkait penggunaan (atau penyalahgunaan) dana AIIB.

Hingga Juni 2018, situs AIIB terus menyediakan hanya dua proyek singkat yang sama dengan ringkasan yang di-posting online pada saat persetujuan pinjaman tahun 2017. Tidak ada kemajuan laporan atau laporan pencairan apa pun. Bank Dunia tidak memberikan informasi mengenai pencairan dana AIIB sehingga jumlah dana - dana publik - disalurkan oleh AIIB untuk proyek yang bermasalah ini hingga saat ini masih tetap menjadi misteri. Berdasarkan pertemuan perwakilan Koalisi di Mumbai dengan wakil para negara pemegang saham AIIB, ternyata Executive Director di AIIB pun tidak mengetahui mengenai besaran pencairan dana AIIB untuk proyek ini.

Lemahnya Kerangka Pertanggungjawaban (Accountability Framework) AIIB
Hal lain di luar konteks proyek, adalah terkait Accountability Framework AIIB yang baru akan diluncurkan, dimana akan ada  pembatasan terhadap proyek-proyek yang dapat diadukan ke AIIB berdasarkan besaran uang yang diberikan. Accountability Framework ini sangat lemah, karena:

1. Ruang lingkup komitmen publikasi proaktif (keterbukaan informasi) tertinggal jauh di belakang praktik International Financial Institutions (IFI’s) lainnya seperti Asia Development Bank (ADB);
2. Accountability Framework hanya akan berlaku untuk proyek-proyek yang bernilai lebih dari USD200 juta. Proyek pemerintah, seperti NSUP atau USD100 juta, seperti RIDF, atau penanaman modal USD35 juta, setelah Accountability Framework AIIB diresmikan, tidak bisa masuk atau tidak ada akses pemulihan melalui Accountability Framework;
3. Kecenderungan klausa pengecualian yang sangat luas, termasuk banyak pengecualian terbuka, tidak ada tes kerusakan dalam banyak kasus dan gagal memberikan pengesampingan kepentingan publik;
4. Kegagalan AIIB untuk mengadopsi pedoman pelaksanaan, berarti bahwa Kebijakan Interim tidak memiliki hampir semua aturan prosedural yang mengatur pemrosesan permintaan (Country Safeguards System);
5. Tidak seperti kebanyakan IFI’s, tidak ada ketentuan untuk banding ke badan pengawas independen dalam proses yang tersedia di Accountability Framework AIIB;
6. Sementara dalam praktiknya juga, AIIB setidaknya telah beberapa kali gagal memproses permintaan informasi. Sulit sekali mendapatkan informasi, apalagi mengingat tidak ada kantor pusat di satu tempat untuk Board.

Tuntutan Kepada AIIB
Berdasarkan uraian dan hasil pemantauan Koalisi di atas, AIIB dan Dewan Pengurusnya telah gagal memonitor proyeknya, baik proyek co-financed dengan Multidevelopment Bank’s lain, atau proyek yang 100% murni AIIB, sebagaimana proyek yang ada di RRC. Kegagalan ini membahayakan pemenuhan hak asasi manusia masyarakat dan Lingkungan Hidup di Indonesia secara skala besar. Mengingat, berbagai proyek tersebut erat kaitannya dengan peminggiran hak-hak asasi manusia, khususnya dalam hal tempat tinggal serta lingkungan hidup yang layak.

AIIB merupakan aktor keuangan yang baru, yang masih minim informasi dari berbagai pihak. Keterbukaan akan informasi di AIIB harus menjadi prioritas secara kelembagaan, termasuk informasi yang diperoleh dari NGO’s yang memantau proyek-proyek tersebut.

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur menuntut AIIB harus segera melakukan investigasi, dan merivew secara keseluruhan proyeknya di Indonesia (NSUP dan RIDF) serta menghentikan pembiayaan untuk proyek ini sampai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup diselesaikan secara tuntas.

AIIB harus segera menyusun ulang draft Kerangka Pertanggungjawaban (Accountability Framework), juga menyusun draft penilaian lingkungan dan masyarakat yang kuat, dan memastikan draft tersebut berlaku untuk semua proyek.

AIIB harus menerapkan keterbukaan informasi kepada publik terutama dalam merencanakan dan menjalankan seluruh proyek, demi menegakkan HAM serta melindungi masyarakat dan lingkungan.

AIIB juga harus memberikan perlindungan kepada para Pembela HAM dan Lingkungan yang terus melakukan pemantauan terhadap proyek-proyek AIIB.


Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur
WALHI – ELSAM – ILRC – WALHI Sulawesi Selatan – TuK Indonesia – DebtWATCH Indonesia – INDIES – WALHI Jawa Barat

Anda mempunyai ide dan karya yang orisinil, cerdas, dan mencerahkan yang senafas dengan misi kami untuk melakukan pembaharuan hukum-politik Indonesia, silakan kirimkan tulisan, foto, video atau segala bentuk ekspresi kreatif lainnya melalui email: [email protected].

BACA JUGA: