JAKARTA, GRESNEWS.COM - Merger antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Pertamina Gas (Pertagas) dinilai berpotensi merugikan negara. Untuk itu Menteri BUMN, Rini Soemarno diminta menghentikan rencana tersebut, apalagi jika rencana merger itu dilakukan dengan membubarkan Pertagas dan meleburnya ke PGN. Langkah tersebut hanya akan menjadi blunder dan tidak cermat.

Direktur Eksekutif, Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean mengatakan pemerintah harus pertimbangkan langkah merger antara PGN dan Pertagas karena berpotensi merugikan negara dan bertolak belakang dengan rencana penataan BUMN yang jumlahnya terlalu banyak.

Menurut Ferdinand patut diduga kebijakan ini didasari pada hasrat koruptif dan konspiratif antara Menteri BUMN dan Dirut PGN. "Justru PGN yang harus dievaluasi dan dibubarkan serta digabungkan dengan Pertagas  karena bisnis PGN semakin hari semakin tidak jelas, berpotensi merugi," kata Ferdinand kepada gresnews.com, Rabu (23/12).

Pengamat energi ini mencontohkan, kebijakan tidak visioner dari direksi PGN, terlihat dari kasus FSRU Lampung yang mangkrak tidak beroperasi dan akuisisi blok gas di Texas oleh anak usaha PGN yang terindikasi merugikan keuangan negara serta ternyata gagal menyediakan  infrastruktur gas kebutuhan hilir yang harusnya menjadi core bussines utama PGN.

Ferdinand mengatakan kegagalan-kegagalan ini tentu membawa PGN pada satu kondisi yang akan merugi dan terancam gulung tikar, akibat kebijakan ugal-ugalan dan sembrono.

Ia mengungkapkan sejumlah alasan yang mendasari rencana peleburan Pertagas ke PGN harus ditolak. Pertama, upaya perampingan dan pengurangan jumlah BUMN harus menghasilkan satu BUMN yang bermain di sektor migas. Artinya yang paling siap dan besar di sektor ini adalah Pertamina dan Pertamina 100 persen milik negara.

"Maka PGN harus dibubarkan dan dilebur ke Pertagas menjadi anak usaha Pertamina. Dengan demikian kebijakan akan sejalan dengan rencana penataan jumlah BUMN kita," tegasnya.

Kedua, saham PGN sebesar 43 persen sudah dikuasai oleh asing sementara Pertagas sahamnya adalah 100 persen milik negara dalam hal ini Pertamina.

"Maka bila Pertagas dilebur ke PGN artinya kita memperkaya 43 persen asing karena sahamnya akan melonjak harganya dan akan ada 43 persen milik Pertagas yang berpindah secara tidak langsung kepemilikannya kepada pihak asing," ungkapnya.

Tentu akan ada kerugian negara dalam hal ini, yang tadinya 100% milik negara menjadi tidak lagi 100 persen karena saham PGN sebesar 43 persen adalah milik asing.

"Yang ketiga, kita menduga bahwa sangat mungkin aset Pertagas yang besar akan dijadikan PGN sebagai jaminan mencari utang/pinjaman. Dengan demikian semakin gelaplah nasib aset Pertagas yang tadinya milik negara menjadi sempurna milik asing.

"Tiga alasan utama yang membuat kita tegas harus menolak pencaplokan Pertagas oleh PGN dan sederet alasan lainnya.

Maka, tidak boleh aset negara berpindah dengan mudah ke pihak asing hanya dengan modus merger. "Merger boleh saja tapi harus tepat dan menguntungkan negara, tidak malah merugikan. Rini Soemarno sebaiknya diresufle sebagaimana rekomendasi Pansus Pelindo sebelum aset negara ini semakin tergadai dan habis," pungkasnya.

DIBUY BACK SAHAM ASING - Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI dari  Fraksi Nasdem Kurtubi mengatakan,  sesuai dengan konstitusi dan untuk mempercepat kemakmuran maka tata kelola SDA Gas dikuasai negara. " Untuk itu saham asing dan swasta di PGN harus di buy back dulu sebelum digabung dengan Pertagas," kata Kurtubi kepada gresnews.com, Rabu (23/12).

Politisi Nasdem ini menjelaskan, bahwa buy back  perlu dilakukan  untuk menyederhanakan sistem guna mempercepat pembangunan infrastruktur gas dengan dana APBN dan dana BUMN

"Untuk keperluan energi rumah tangga (city gas), transportasi dan industri," ujar Kurtubi

Sebelumnya, penolakan terhadap rencana peleburan Pertagas ke dalam PGN juga ditentang Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). Mereka sempat mendatangi Kementerian BUMN dan berniat menemui menteri Rini Soemarno. Namun, ke-25 orang yang mewakili 18 serikat pekerja dan 14 ribu keryawan yang tergabung dalam sejumlah serikat pekerja itu, “Hanya” ditemui Edwin Hidayat Abdullah, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN.

Menurut Presiden FSPPB Eko Wahyu Laksmono kedatangan mereka antara lain ingin meminta Pemerintah Republik Indonesia (cq. Menteri BUMN), menghentikan upaya peleburan dan sikronisasi Pertagas ke dalam PGN. Sebaliknya, FSPPB meminta PGN yang dilebur ke dalam Pertamina, untuk penguatan gas nasional demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

"Tuntutan ini disampaikan demi kepentingan nasional dalam rangka membangun kedaulatan energi, yang pada gilirannya akan mampu memperkuat ketahanan nasional," kata Eko.

Eko mengatakan, sangat berbahaya jika PGN diberi kesempatan mengakuisisi Pertagas. Karena dengan demikian, praktis urusan gas dikuasai oleh PGN, dan PGN berpeluang menjadi agregator gas. Akibatnya, PGN berkesempatan terlibat di dalam UU Migas, mengingat perannya dalam urusan gas sudah dominan dan Pertamina sudah tidak terlibat lagi di bisnis gas.

Jika kondisi itu terjadi, tentu bencana bagi ketahanan energi nasional. Pasalnya, lanjut Eko, sejak awal didirikan, Pertamina telah membuktikan eksistensi dan dedikasinya dalam pengelolaan migas sebagai salah satu penyangga utama APBN dan sebagai bagian dari upaya menjaga kedaulatan energi nasional.

BELUM DIPUTUSKAN - Menyikapi hal itu, Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN, Edwin Hidayat Abdullah mengatakan, hingga saat ini belum ada keputusan mengenai bentuk sinergi antara Pertagas dan PGN.

Menurutnya yang jelas, sesuai pesan Presiden Jokowi, adalah membuat PGN dan Pertagas bisa bersinergi di dalam jaringan pipa gas dan optimalisasi resources gas domestik. Urgensinya, adalah pengembangan gas secara nasional.

Pemerintah terus menggenjot pasokan dan menurunkan harga energi. Misalnya, pada tahun depan pemerintah akan menerapkan sinergi operasional antara PGN dan Pertagas untuk menurunkan harga gas bumi. Saat ini, PGN memiliki pipa sepanjang 6.800 kilometer dan Pertagas sekitar 2.000 kilometer. Sementara itu, berdasarkan volume distribusi gas, PGN menyalurkan 700 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) dan Pertagas hanya 200 mmscfd.(Agus Irawan)

BACA JUGA: