JAKARTA, GRESNEWS.COM- Indonesia menuntut komitmen negara maju untuk menangani masalah perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan Rachmat Witoelar, Ketua Delegasi RI, dalam pertemuan para pihak (Conference Of The Party--COP), Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Warsawa, Selasa (12/11)."Salah satu tindakan nyata yang diperlukan adalah ratifikasi segera Doha Amendment untuk kekuatan hukum implementasi Protokol Kyoto periode komitmen kedua," kata Rachmat dalam pernyataan tertulisnya yang diterima redaksi Gresnews.com.

 
Pihak Delegasi RI (Delri) menekankan menekankan pentingnya peningkatan komitmen dan aksi negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di bawah Protokol Kyoto dalam periode komitmen kedua. Selain itu Delri juga menuntut negara maju yang tidak berada di bawah Protokol Koto untuk memastikan pencapaian target global, yaitu kenaikan suhu rata-rata global yang tidak melebihi 2 derajat Celcius pada tahun 2020 dibandingkan dari suhu rata-rata global sebelum Revolusi Industri.


Dalam COP19 Warsawa, Delri menuntut negara-negara maju untuk memenuhi tanggung jawabnya untuk secara bersama-sama menurunkan emisi GRK. Mengingat sebagian negara maju tidak berada di bawah Protokol Kyoto, maka Delri menuntut negara-negara tersebut untuk dapat menunjukkan komitmen dan aksi nyata mitigasi yang dapat disetarakan dengan komitmen dan aksi dari negara maju yang berada di bawah Protokol Kyoto dan melakukannya selama periode komitmen kedua.


UNFCCC sendiri telah meminta seluruh Negara Pihak untuk mempersiapkan dan menetapkan target mitigasi pasca 2020 pada COP20 di Peru tahun 2014. Implementasi komitmen penurunan emisi GRK dalam bentuk aksi nyata mitigasi negara-negara maju menjadi semakin penting bagi keadilan dalam upaya global pengendalian perubahan iklim. "Apalagi telah semakin banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang telah menunjukkan komitmen secara sukarela untuk menurunkan emisi GRK," ujar Rachmat.

Di sisi lain, negara-negara dunia ketiga dan negara kepulauan kecil juga memerlukan bantuan. Bantuan tersebut bukan hanya dalam bentuk pendanaan melainkan juga dalam pengembangan dan alih teknologi serta pengembangan kapasitas untuk menangani dampak perubahan iklim yang semakin nyata dirasakan.COP-19 Perubahan Iklim sendiri telah dibuka secara resmi sejak Senin (11/11) kemarin.


Perundingan COP-19 ini juga akan merupakan perundingan yang ke-9 dari Protokol Kyoto (CMP9). Di dalam pertemuan Warsawa pembahasan akan dilakukan dalam dua kerangka waktu penanganan perubahan iklim yaitu: Pertama, implementasi hingga 2020. Kedua, kesepakatan multilateral baru yang melibatkan semua negara Pihak (applicable to all parties) serta mengikat (legaly binding agreement) pasca 2020.

Kebutuhan adanya kesepakatan global yang mengikat untuk penanganan perubahan iklim makin mendesak. Sebab, dampak dari perubahan iklim makin nyata. Dalam pidato pembukaannya, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christian Figueres mengharapkan adanya hasil yang positif dari COP19. "Saya berharap ada kejelasan arah dan elemen bagi kesepakatan perubahan iklim yang berlaku secara universal pasca 2020 dan memberikan arah yang efektif untuk pencapaian target pra-2020," ujarnya.

Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, para Negara Pihak UNFCCC telah menyepakati bahwa pada COP-20 di Peru di akhir tahun 2014 nanti, akan dihasilkan draft teks kesepakatan untuk dapat difinalkan di pertengahan 2015. Selanjutnya kesepakatan ini dapat diadopsi pada akhir 2015 dalam COP21 di Paris, Perancis.

Menurut Rachmat Witoelar, berdasatkan timetable UNFCCC, perundingan di Warsawa dianggap sebagai dimulainya akhir dari perjalanan panjang negosiasi yang telah berjalan alot untuk memastikan keberlanjutan pengendalian perubahan iklim global. "Dalam COP19 ini ditargetkan dapat disepakati elemen-elemen dari kesepakatan di tahun 2015 yang akan dinegosiasikan hingga pertengahan 2015,” kata Rachmat
(GN-03)

BACA JUGA: