JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kedatangan perwakilan Hamas salah satu faksi perjuangan kemerdekaan Palestina menemui pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuka kantor perwakilan di Jakarta, menuai kritikan dari sejumlah pengamat. Pasalnya, Hamas dinilai tidak mewakili otoritas Palestina yang resmi. Jika pemerintah dan DPR memberikan izin tersebut, dikhawatirkan Indonesia hanya menjadi tidak produktif dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina.

Pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Alimun Hanif mengatakan permintaan dibukanya kantor Hamas di Jakarta dinilai tidak produktif. Karena Indonesia telah memiliki kantor perwakilan otoritas Palestina. Dalam pidato Pesiden Joko Widodo dalam forum APEC, ia mengatakan penyelesaian dua negara merupakan satu-satunya alternatif yang harus ditawarkan Indonesia untuk perdamaian Iseal dan Palestina.

"Jadi kita harus konsisten dengan dukungan kita terhadap Palestina. Kita harus berkomitmen mendukung Palestina dan bukan hanya Hamas," ujar Alimun pada Gresnews.com, Minggu (30/11).

Ia menilai masyarakat muslim di Indonesia seringkali hanya antusias jika terjadi sesuatu di Gaza. Sementara kalau sesuatu atau serangan terjadi ke Yerusalem atau Tepi Barat mereka tidak menampakkan antusiasme yang sama. Padahal baik Gaza, Yerusalem dan Tepi Barat merupakan wilayah yang menjadi bagian Palestina. "Dukungan masyarakat muslim harusnya menyeluruh ke tiga wilayah tersebut," ujarnya.

Alimun menilai, ada salah kaprah yang dipahami sebagian masyarakat di Indonesia. Persoalan Palestina ini seolah-olah menjadi mengerucut dan menyempit dari persoalan kemerdekaan sebuah bangsa ke kemerdekaan organisasi. Ia juga menilai ada pergeseran wacana Palestina dari persoalan pelanggaran hak asasi manusia ke persoalan agama.

Alimun menceritakan di Indonesia yang mengawali untuk membela habis-habisan Palestina adalah mantan Presiden Soekarno yang berasal dari partai nasionalis. Lebih lanjut, dewasa ini partai-partai nasionalis di Indonesia seakan absen terhadap isu kemerdekaan Palestina. "Sehingga isu tersebut dibajak dan diambil alih oleh gerakan Islam lalu menyempitkannya menjadi persoalan agama," ujarnya.

Dalam hal ini pemerintah Indonesia yang bisa dikatakan berasal dari partai yang nasionalis harus bisa mengambil alih kembali isu Palestina. Lalu mengembalikan isu tersebut bukan sebagai persoalan agama. Menurutnya, jika kita masih menganggap persoalan kemerdekaan Palestina dengan kacamata di atas, maka merupakan kekeliruan besar, khususnya bagi pemerintah yang menerima perwakilan Hamas.

"Permintaan untuk mendirikan kantor perwakilan Hamas itu harus ditolak. Bukan karena saya tidak setuju dengan Hamas, tapi jangan sampai mempersempit agenda kemerdekaan bangsa menjadi organisasi, Hamas hanya salah satu faksi, sekarang kita sudah punya otoritas Palestina," jelasnya.

Menurutnya, pemerintah khususnya kementerian luar negeri harus menunjukkan sikap yang lebih berani untuk menawarkan upaya damai antara Israel dan Palestina. Solusinya dengan kemerdekaan dua negara yang hidup berdampingan. Apalagi saat ini negara-negara di Eropa juga telah mendorong pengakuan terhadap kemerdekaan Palestina.

Ruang pengakuan terhadap Palestina di dunia internasional, kata Alimun, harusnya bisa dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk menekan dunia internasional agar memberikan kemerdekaan pada Palestina. Dengan begitu posisi Palestina akan semakin kuat di Persatuan Bangsa-Bangsa. "Jangan sampai pemerintah malah mengambil arus balik dengan memberikan pengakuan terhadap agenda Hamas," katanya.

Senada dengan Alimun, Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menegaskan prinsipnya Indonesia membangun hubungan baik dengan otoritas resmi Palestina pemenang pemilu tanpa melihat berasal dari Hamas ataupun Fatah.

"Tidak mungkin misalnya di Indonesia ada Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), KIH muncul sebagai pemenang pemilu, lalu KMP ingin membuka kantor di negara tertentu. Akan aneh," katanya pada Gresnews.com, Minggu (30/11).

Ia menambahkan setidaknya ada sejumlah hal yang harus dipertimbangkan pemerintah terkait permintaan Hamas membuka kantor perwakilannya di Jakarta. Pertama, perlu dipertanyakan apakah kantor perwakilan Hamas merupakan perwakilan Palestina. Pasalnya, saat ini Palestina memiliki perwakilan dalam bentuk kedutaan besar di Indonesia yang juga berkedudukan di Jakarta.

Kedua, Hikmahanto menilai Palestina terbagi ke dalam dua faksi yang kuat antara Hamas dan Fatah. Fatah memiliki kecenderungan untuk bisa menerima kemerdekaan Palestina berdampingan dengan kemerdekaan Israel. Sementara itu, Hamas cenderung tidak mengakui Israel. Sehingga Indonesia dinilai tidak perlu masuk terlalu dalam terhadap perpecahan di internal Palestina.

Terakhir, pemerintah Indonesia harus berkonsultasi dengan sejumlah pihak terkait seperti pemerintah resmi Palestina dan duta besar Palestina mengenai hal ini. "Indonesia harus memiliki kebijakan satu Palestina (One Palestine Policy-red) bahwa siapapun yang sah yang akan dianggap oleh pemerintah Indonesia," kata Hikmahanto.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini menteri luar negeri harus bisa memberikan penjelasan pada penyelenggara negara soal permasalahan di Palestina agar mempunyai satu sikap yang sama. "Kementerian luar negeri harus membuat kajian dan disampaikan juga pada masyarakat pertimbangan kenapa misalnya pemerintah menolak dibukanya perwakilan Hamas di Jakarta," ujarnya.

Sebelumnya, delegasi Hamas menemui pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meminta izin agar mereka bisa mendirikan kantor perwakilannya di Jakarta. Hamas merupakan salah satu partai di Palestina yang bersebrangan dengan partai otoritas Palestina yaitu Fatah. Secara teritori, Hamas memerintah wilayah Gaza, sementara Fatah memerintah wilayah Yerusalem dan Tepi Barat.

BACA JUGA: