JAKARTA, GRESNEWS.COM - Amnesty International dalam laporannya yang dirilis Senin (19/12) mengungkapkan, aparat keamanan Myanmar bertanggung jawab terhadap pembunuhan di luar hukum, perkosaan berkali-kali, dan pembakaran rumah dan keseluruhan kampung dalam suatu operasi kekerasan terhadap kaum Rohingya. Amnesty International menilai, kekejian militer Myanmar terhadap kaum Rohingya ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berdasarkan wawancara yang panjang dengan orang-orang Rohingya baik di Myanmar maupun Bangladesh, dan juga analisa gambar, foto, dan video satelit, laporan ini juga mendokumentasikan bagaimana belasan orang telah ditangkap secara semena-mena selama operasi keamanan militer yang tidak proporsional dan keji di negara bagian Rakhine selama dua bulan terakhir. Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik Rafendi Djamin mengatakan, militer Myanmar telah menyasar penduduk sipil Rohingya dalam sebuah operasi kekerasan yang sistematik dan kejam.

"Laki-laki, perempuan, anak-anak, seluruh keluarga, dan seluruh warga kampung telah diserang dan jadi korban kekerasan, sebagai sebuah bentuk penghukuman kolektif," kata Rafendi Djamin, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com.

Dia menegaskan, tindakan-tindakan yang tercela dari militer bisa menjadi bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil dan bisa merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. "Kami khawatir bahwa cerita-cerita mengerikan kekerasan yang kami ungkap tersebut hanya merupakan puncak dari gunung es yang tidak terlihat," ujarnya.

"Meski militer secara langsung bertanggung jawab terhadap kejahatan tersebut, Aung San Suu Kyi telah gagal memenuhi harapan terhadap tanggung jawab moral dan politiknya untuk mencoba menghentikan dan mengutuk apa yang terjadi di negara bagian Rakhine state," tegas Rafendi.

Laporan Amnesty International mengungkapkan, aparat keamanan Myanmar memulai operasi keamanan berskala besar di bagian utara negara bagian Rakhine menyusul sebuah serangan terhadap pos-pos polisi di perbatasan pada 9 Oktober. Serangan tersebut disalahkan kepada para militan dari etnik minoritas Rohingya, dimana sembilan aparat polisi tewas terbunuh.

Riset Amnesty International mengungkapkan bagaimana operasi militer telah melampaui jauh dari apa yang bisa dianggap sebagai sebuah respons yang proporsional terhadap suatu ancaman keamanan. Berbagai saksi mata menggambarkan bagaimana para serdadu memasuki kampung-kampung mereka, menembak secara membabi buta kepada–dan menewaskan– penduduk kampung, perempuan, laki-laki, dan anak-anak.

Dalam paling tidak satu kejadian, para serdadu menarik orang-orang keluar dari rumahnya dan menembak mati mereka. Amnesty International belum bisa memastikan jumlah korban tewas sebenarnya.

Dalam satu insiden pada 12 November, militer menurunkan dua helikopter dengan senjata api kepada satu kelompok orang kampung di utara Rakhine setelah terjadi pertempuran kecil dengan yang diduga pihak militan. Helikopter-helikopter tersebut menembak secara membabi buta kepada warga-warga kampung yang panik berlarian, menewaskan dalam jumlah yang tidak diketahui. Hari berikutnya, serdadu di lapangan membakar ratusan rumah.

Seorang laki-laki berusia 30 tahun berkata: "Kami ketakutan ketika kami mendengar suara bising dari helikopter… Serdadu-serdadu tersebut menembak secara membabi buta. Jika mereka melihat seseorang, helikopter itu menembak. Mereka menembak dalam waktu yang lama… Kami tidak bisa tidur malam itu. Pagi berikutnya, militer datang dan mulai menembak lagi."


PERKOSAAN DAN KEKERASAN SEKSUAL - Amnesty International juga mengungkapkan, serdadu-serdadu Myanmar telah memperkosa atau melakukan kekerasan seksual lainnya kepada para perempuan dan anak perempuan selama operasi. Biasanya kejahatan itu menjadi bagian dari serangan ketika para laki-laki di kampung tersebut telah melarikan diri.

Amnesty International telah mewawancarai beberapa perempuan Rohingya yang memberi tahu, bahwa mereka telah diperkosa oleh para serdadu tersebut, dan juga orang-orang lain yang melihat perkosaan-perkosaan tersebut. Para pekerja bantuan kemanusiaan di Bangladesh juga mengkonfirmasi, beberapa korban perkosaan yang telah melarikan diri di sepanjang perbatasaan dirawat karena luka-luka yang dialami mereka.

Fatimah, seorang perempuan Rohingya berusia 32 tahun yang telah melarikan diri ke Bangladesh berkata, militer memasuki kampungnya dan menarik dirinya keluar ke sawah di mana mereka memperkosanya. "Tiga pejabat militer memperkosa saya. Saya tidak ingat apa yang terjadi berikutnya karena saya pingsan tidak sadarkan diri. Saya bangun pagi hari berikutnya. Saya tidak bisa berdiri sehngga saya merangkak sepanjang sawah," ujarnya.

Selain perkosaan, militer dan polisi penjaga perbatasan juga telah menangkap ratusan sebagian besarnya laki-laki Rohingya, sering menyasar orang-orang lanjut usia di kampung, pedagang, dan pemimpin komunitas. Laporan ini telah mendokumentasikan paling tidak 23 kasus semacam itu, di mana orang-orang Rohingya telah diambil dari keluarga mereka oleh polisi tanpa ada informasi tentang keberadaan mereka atau mendapatkan ancaman pidana terhadap mereka.

Media pemerintah Myanmar telah melaporkan bahwa paling sedikit enam orang telah tewas di dalam tahanan sejak operasi militer dimulai, menimbukan kekhawatiran serius akan penyiksaan di dalam tahanan. Aparat keamanan seringkali memukuli orang-orang Rohingya selama penangkapan.

Seorang perempuan menggambarkan taktik-taktik brutal yang dilakukan oleh aparat keamanan ketika dua anak laki-lakinya diambil: "Dua anak laki-laki saya diikat–militer mengikat tangan mereka dibalik punggungnya– mereka dipukuli parah sekali. Militer menendang mereka di dada mereka. Saya melihatnya sendiri. Saya menangis begitu keras," ujarnya.


BUMI HANGUS - Lewat wawancara-wawancara dengan para korban dan analisa gambar satelit, Amnesty International telah mengkonfimasi bahwa pihak militer telah membumihanguskan lebih dari 1.200 rumah dan bangunan orang-orang Rohingya, dan kadang-kadang membakar habis seluruh kampung. Beberapa saksi mata juga menggambarkan bagaimana para serdadu menggunakan senjata, nampaknya granat pelontar roket (RPG), untuk menghancurkan rumah-rumah.

Penghancuran di kampung-kampung di mana militer dilaporkan bentrok dengan para militan secara khusus sangat besar, dan mengindikasikan serangan balas dendam oleh pihak militer.

Puluhan ribu nyawa sekarang ada dalam bahaya krisis kemanusiaan setelah pihak berwenang Myanmar menerapkan hampir larangan sapu rata terhadap bantuan kemanusiaan di utara negara bagian Rakhine. Bahkan sebelum 9 Oktober, tingkat kekurangan gizi sangat tinggi dan kritis di kawasan tersebut di mana 150.000 orang bergantung pada bantuan makanan demi keberlangsungan hidup mereka.

Penghentian pelayanan kesehatan juga secara khusus mengkhawatirkan bagi mereka yang sakit, dan juga para perempuan hamil dan ibu baru, banyak yang kini tidak punya cara mendapatkan perawatan medis. Paling tidak 30.000 orang yang dipaksa lari dari rumah-rumah mereka selama bulan-bulan belakangan ini secara umum dibiarkan untuk merawat diri mereka sendiri karena kelompok-kelompok pemberi bantuan kemanusiaan tidak memiliki akses kepada mereka.

Pihak berwenang Myanmar telah mengeluarkan penyangkalan, aparat militer telah melakukan pelanggaran HAM selama operasi, meski bukti-buktinya menggunung untuk menyatakan sebaliknya. Sejauh mana Aung San Suu Kyi, sebagai State Counsellor (Penasehat Negara) dan de facto kepala pemerintahan sipil Myanmar, bisa mempengaruhi kejadian-kejadian tersebut dipertanyakan mengingat, operasi militer bekerja secara independen dari pengawasan sipil, dan masih memegang kontrol bagian-bagian penting di pemerintahan.

Namun demikian, dia telah gagal untuk menyatakan ke publik menentang kekejaman-kekejaman tersebut, dan terlihat baik tidak mau maupun tidak mampu untuk melakukannya. "Para pihak berwenang Myanmar telah sengaja mengabaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yand dilakukan oleh pihak militer di negara bagian Rakhine. Hal yang sama sekali tidak bisa dibela ini harus diakhiri segera, dan investigasi yang independen harus dibuat untuk memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab bisa diadili," menurut Rafendi Djamin.


KEPUTUSASAAN PENGUNGSI - Menurut Laporan Amnesty International, puluhan ribu orang Rohingya telah memenuhi wilayah sepanjang perbatasan dengan Bangladesh selama dua bulan terakhir untuk mencari keselamatan. Jumlah pasti para pengungsi tidak mungkin bisa ditentukan, tetapi PBB mengestimasikan jumlah paling sedikit 27.000 orang.

Sebagai respons atas tumpah ruahnya pengungsi, Bangladesh telah memperkuat kebijakan lamanya untuk menutup perbatasannya dengan Myanmar, dan menahan dan mengusir balik ribuan mereka yang mencoba melarikan diri. Hal ini melanggar hukum internasional karena Bangladesh melanggar prinsip non-refoulement–yang secara absolut melarang pengusiran balik paksa orang-orang ke negeri atau tempat di mana mereka bisa ada dalam bahaya mengalami pelanggaran serius HAM.

Ancaman penangkapan dan deportasi berarti, orang-orang Rohingya yang telah melarikan diri, dipaksa bersembunyi dalam kamp-kamp, desa-desa, atau hutan di sepanjang bagian tenggara Bangladesh. Mereka hidup dalam kondisi yang menderita karena pemerintah Bangladesh telah menerapkan pembatasan yang besar terhadap bantuan kemanusiaan untuk menghidari suatu "faktor penarik".

Direktur Amnesty international untuk Asia Selatan Champa Patel mendesak pemerintah Bangladesh untuk membuka perbatasannya kepada para pencari suaka dan menghentikan perlakuan bahwa orang-orang Rohingya yang datang karena keputusasaan adalah para kriminal. "Kelompok-kelompok pemberi bantuan kemanusiaan harus diperbolehkan memiliki akses terbuka kepada puluhan ribu orang yang lari dari kondisi pelanggaran HAM yang mengerikan di Myanmar," kata Champa.

BACA JUGA: