JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembajakan kapal dan penyanderaan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina mengharuskan pemerintah bergerak cepat untuk membebaskan para sandera yang ditawan. Saat ini kelompok Abu Sayyaf sudah menyampaikan permintaan uang tebusan sebesar 50 juta Peso atau sekitar Rp15 miliar.

Dua kapal yang disandera adalah kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand dengan muatan 7.000 ton batubara dengan 10 orang awak WNI. Kapal Brahma 12 telah dibebaskan oleh penyandera dan saat ini kapal tersebut sudah berada di tangan otoritas Filipina. Sementara, kapal tongkang Anand dan 10 awak kapalnya masih disandera kelompok Abu Sayyaf.

Kabar terakhir menyebutkan, ke-10 WNI itu dibawa ke Pulau Jolo, Filipina Selatan. Pulau tersebut selama ini memang menjadi salah satu basis kelompok itu. Pulau Jolo berada di gugusan Kepulauan Sulu. Kawasan ini merupakan daerah otonomi khusus di mana sebagian besar penduduknya Muslim.

Pengamat terorisme Taufik Andre mengatakan, pemerintah tidak perlu bernegosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf apalagi sampai membayar tebusan sebesar Rp15 miliar. "Idealnya kita melakukan operasi militer untuk membebaskan para sandera," ujar Taufik kepada gresnews.com, Rabu (30/3).

Menurutnya, penyanderaan yang dilakukan oleh Abu Sayyaf merupakan suatu hal yang baru bagi Indonesia walaupun Abu Sayyaf sudah sering melakukan pembajakan serta penculikan. Akan tetapi biasanya yang disandera adalah kelompok misionaris atau pun turis yang berasal dari negara non-muslim.

"Jadi belum bisa diketahui pasti apakah Abu Sayyaf mempertimbangkan bahwa yang dibajak adalah kapal Indonesia yang notabene negara muslim," ungkap Taufik

Taufik melanjutkan, kemungkinan kelompok tersebut sudah kehabisan dana untuk membiayai logistik mereka. Jadi apa yang mereka lakukan murni kriminal dengan motif ekonomi dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama.

Fenomena ini disamakannya dengan bajak laut Somalia yang sering membajak dan menyandera untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan sebagai mata pencaharian. "Pembajakan ini sudah seperti bisnis bagi kelompok Abu Sayyaf," ujarnya.

Operasi militer sangat mungkin dilakukan mengingat kekuatan militer Indonesia yang cukup terlatih serta pengalaman melakukan operasi pembebasan pembajakan kapal oleh pembajak Somalia beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu pemerintah diminta sesegera mungkin melakukan koordinasi dengan Pemerintah Filipina atau Tentara Nasional Filipina terkait operasi militer yang mungkin dilakukan.

"Karena kita butuh informasi lebih detail tentang wilayah serta kekuatan tempur kelompok Abu Sayyaf ini," tutup Taufik.

TNI SIAP - Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) hingga hari ini masih terus melakukan lobi-lobi guna menyelamatkan 10 WNI tersebut. Pada Selasa (29/3), Menlu Retno Marsudi telah menghubungi Menlu Filipina, setelah diketahui kelompok penyandera meminta tebusan senilai Rp15 miliar kepada perusahaan pemilik kapal.

Kemenlu menegaskan, pemerintah memprioritaskan keselamatan 10 WNI yang disandera, sehingga belum bisa memberikan banyak penjelasan. "Saat ini belum tepat untuk berbicara banyak. Kami masih fokus menangani dulu ya," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal kepada gresnews.com, Rabu (30/3).

Sementara itu, untuk menjaga kemungkinan harus dilakukannya operasi militer pembebasan sandera, pihak TNI pun sudah mempersiapkan ratusan pasukan, terutama pasukan khusus antiteror. Pasukan tersebut sudah disiapkan di Tarakan, Kalimantan Utara, untuk menunggu perintah melakukan operasi pembebasan sandera.

Penempatan pasukan di Tarakan dipersiapkan karena perairan Filipina dekat dengan Kalimantan Utara. TNI Angkatan Laut telah mempersiapkan 5 KRI yakni KRI Surabaya, KRI Ajak, KRI Mandau, KRI Macan dan KRI Ahmad Yani. Selain itu juga akan dibantu antara lain dengan 1 unit helikopter, 2 pesawat fix Wing, serta Komando Pasukan Katak (Kopaska).

"Lima KRI dari Gugus Tempur Armada Timur (Guspurlatim) yang akan dilibatkan dari Tarakan untuk membantu melakukan operasi penyelamatan," ujar Komandan Lantamal XIII Tarakan, Laksamana Pertama TNI Wahyudi H. Dwiyono melalui rilis, Rabu, (30/3).

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan, pihaknya akan terus melakukan koordinasi dengan Filipina. TNI, kata Gatot, tidak bisa melakukan tindakan sepihak karena kasus ini melibatkan dua negara. Namun TNI siap memberikan apapun yang dibutuhkan Filipina untuk operasi pembebasan sandera.

Gatot menegaskan, prioritas pemerintah RI saat ini adalah menyelamatkan 10 WNI yang disandera. Dia juga dapat informasi dari militer Filipina yang mengabarkan pihak militer sudah mengetahui lokasi yang diduga jadi tempat penyanderaan.

"Berdasarkan monitor koordinasi militer Filipina, lokasi ada di negara Filipina, mereka sudah tahu tempat. Setiap saat koordinasi saya menyampaikan apa pun yang diperlukan kami siap, siap bagaimana pun ini urusan saya," ujarnya.

BATAS WAKTU - Terkait permintaan tebusan, kelompok Abu Sayyaf memberikan ultimatum pembayaran tebusan bagi 10 WNI yang disandera harus dibayarkan paling telat pada 8 April 2016. Dikutip dari media Filipina, Inquirer, Rabu (29/3), ada video yang diposting di akun Facebook yang memiliki koneksi dengan militan.

Dalam video tersebut, kelompok penyandera menyebutkan bila pembayaran itu tak dilakukan maka sandera akan dibunuh. Pemerintah Filipina sendiri sudah menegaskan pihaknya menganut no-ransom policy.

Kelompok Abu Sayyaf sendiri adalah kelompok separatis terkecil dan mungkin paling berbahaya di Mindanao. Kelompok Abu Sayyaf , juga dikenal sebagai Al Harrakat Al Islamiyya, terdiri dari milisi Islam yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Fillipina, antara lain Jolo, Basilan dan Mindanao.

Beberapa anggotanya pernah belajar dan bekerja di Arab Saudi dan menjalin hubungan dengan para Mujahidin ketika bertempur dan berlatih di Afghanistan dan Pakistan. Kabarnya kelompok ini sedang berusaha mengembangkan jaringannya ke Indonesia dan Malaysia.

Kelompok ini bertujuan untuk mendirikan negara Islam di sebelah selatan Mindanao. Serta berusaha menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya negara Islami di wilayah Semenanjung Melayu (Indonesia dan Malaysia).

Untuk mencapai tujuan tersebut Abu Sayyaf sering kali melakukan aksi penculikan, pengeboman, pembunuhan dan pemerasan, kebanyakan target operasinya adalah kelompok Misionaris yang cukup banyak di Filipina serta turis asing dari negara non-muslim. (Gresnews.com/Dimas Nurzaman/dtc)

BACA JUGA: